10 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Legalitas HPL Tanah PRPP

Legalitas HPL Tanah PRPP

Menurut perundang-undangan, HPL dapat dialihkan. Hal ini dapat dibaca dalam surat Mendagri c.q. Dirjen Agraria kepada semua gubernur pada 30 Maret 1977

MENARIK artikel Bambang Sadono berjudul ”Tanah PRPP: Politisasi Hukum Agraria” (SM, 07/05/10). Dalam artikel tersebut, ia berpendapat bahwa silang sengkarut masalah tanah PRPP ini kemungkinan besar dari statusnya sebagai tanah hak pengelolaan (HPL).

Dalam artikelnya ditulis bahwa HPL adalah hak atas tanah yang istimewa. Lebih menarik lagi disebutkan hak itu agak misterius karena tidak pernah disebut secara eksplisit dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA-UU Nomor 5 Tahun 1960), maupun undang-undang lain. Namun secara bertahap, HPL muncul dalam berbagai peraturan pelaksanaan, dan bentuknya makin kuat.


Dalam rangka memperkuat asumsi Bambang terhadap HPL, dia menyitir pandangan yang dikutip dari buku Boedi Harsono, yang masih menyebut bahwa dalam hukum tanah nasional, hak-hak atas tanah yang diatur dalam hukum tertulis akan tetap empat yaitu: hak milik (HM), hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), dan hak pakai.

Atas dasar pandangan Boedi, dia menegaskan pandangannya atas posisi —barangkali lebih afdol dalam jargon yuridis bila disebut sebagai legalitas— HPL dalam sistem hukum pertanahan sebagai suatu dengan tanda tanya besar.

Persoalan krusial di balik pandangan Bambang: HPL adalah hak atas tanah yang istimewa, HPL itu agak misterius karena tidak disebutkan secara eksplisit dalam UUPA maupun undang-undang lain, serta HPL dalam sistem hukum pertanahan sebagai suatu tanda tanya besar?

Untuk mencegah terbentuknya opini publik yang mungkin saja terdorong oleh kekurangpastian di balik tulisan itu, dan publik akan berpendapat bahwa HPL adalah suatu hak atas tanah yang ilegal, maka tanggapan terhadap artikel tersebut yang tujuannya untuk menjernihkan, atau lebih tepatnya memastikan legalitas atau keabsahan HPL sebagai sebuah hak atas tanah dalam sistem hukum nasional, sangat terasa urgensinya.
Amat Elementer Pertama, perlu ditegaskan bahwa pendapat yang menyatakan HPL tidak disebutkan secara eksplisit dalam UUPA adalah suatu kesalahan penarikan kesimpulan, bila tidak mau dikatakan sebagai suatu ketidakmampuan (incapax) membaca teks perundang-undangan yang amat elementer.

Yang benar adalah bahwa UUPA secara terang-benderang atau tersurat, mengatur keberadaan HPL. Hal ini dapat dibaca dalam penjelasan atas UUPA, huruf A, penjelasan umum, angka II dasar-dasar dari hukum agraria nasional butir (2).

Kedua, tanggapan yang lebih penting perlu diberikan terkait artikel tersebut adalah: tidak benar pula bila dikatakan bahwa HPL tidak disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang lain. Dalam hal ini, ternyata Bambang bertindak meninggalkan prudensialitasnya, sebagai ilmuan sekaligus seorang wakil rakyat.

Kalau saja dia mau sedikit lebih teliti dan berhati-hati, memahami konsep jurisprudence, ketika membaca buku Boedi Harsono sebagaimana dikutipnya, di dalam buku itu sebetulnya ditulis dengan sangat eksplisit bahwa eksistensi HPL dalam hukum tanah nasional dikukuhkan oleh UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (halaman 268).

Hal ini mengindikasikan bahwa eksistensi HPL bukan suatu tanda tanya besar, apalagi hak misterius. Lagi pula, amatlah tidak berkeadilan, pengukuhan yang demikian kuat kemudian dibongkar lagi oleh peraturan-perundang-undangan yang belakangan melakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap peraturan sebelumnya.

Tanggapan lain yang juga sangat penting dikemukakan  adalah persoalan bisa tidakkah ada peralihan hak atas tanah HPL. Dengan menyitir pandangan tertentu, Bambang berpendapat bahwa tanah HPL tidak dapat diperjualbelikan atau dialihkan, tetapi dilepaskan kembali oleh negara untuk kemudian diberikan kepada pihak lain, dengan sesuatu hak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Padahal menurut perundangan yang berlaku, HPL dapat dialihkan. Hal ini dapat dibaca dalam surat yang dikirimkan atas nama Mendagri c.q. Direktur Jenderal Agraria kepada semua gubernur kepala faerah tingkat I bertanggal Jakarta, 30 Maret 1977, bernomor Btu 3/629/3/77, perihal Penyampaian PMDN Nomor1 Tahun 1977 dengan pedoman pelaksanaannya.

Surat itu menegaskan bahwa bila oleh pemegang hak pengelolaan (HPL) diberikan dengan hak milik (HM) kepada pihak ketiga, maka dengan sendirinya (otomatis) bidang tanah HM tersebut menjadi lepas dari HPL, dan HPL atas bidang tanah tersebut menjadi hapus sejak didaftarkannya HM itu pada Kantor Sub Direktorat Agraria setempat. (10)

— Jeferson Kameo SH LLM PhD, dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga

Wacana Suara Merdeka 11 Mei 2010