10 Mei 2010

» Home » Solo Pos » Aneka wajah demokrasi kita...

Aneka wajah demokrasi kita...

Demokrasi bisa mempunyai banyak wajah. Demokrasi bisa berwatak mulia, karena demokrasi memberikan kesempatan yang sama kepada siapa saja untuk menjadi penguasa.

Tak peduli dia pengusaha, artis, teknokrat atau orang nekat, semuanya mempunyai pintu yang sama untuk menikmati demokrasi.

Jadi kalau Julie Perez ingin menjadi bupati, secara teori dan hak asasi sebenarnya tidak salah. Toh cita-citanya juga mulia, yakni ingin mewujudkan Pacitan menjadi lebih maju dan lebih sejahtera.

Kelak kalau Jupe menang, dia dianggap sebagai pengejawantahan kuasa Tuhan, karena kredo demokrasi yang lumayan keren berbunyi, vox populi vox dei—suara rakyat adalah suara Tuhan. Kredo ini konon sebenarnya berasal dari ranah hukum, agar para hakim menegakkan keadilan berdasarkan asas Ketuhanan. Tetapi dalam demokrasi, para pelakunya sah-sah saja mengatasnamakan rakyat, bahkan biasa mengatasnamakan kebenaran yang turun dari suara suci Tuhan Yang Maha Esa.

Demokrasi sesekali juga terlihat mirip-mirip monarki konstitusional atau semacam itu. Misalnya, sekarang ini lumrah jika anak politisi mengikuti jejak orang tuanya menjadi politisi. Puan Maharani kini di barisan terdepan penerus trah Bung Karno. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyiapkan anaknya, Edi Baskoro Yudhoyono.

Di daerah, putri Bupati Sragen Untung Wiyono, Kusdinar Untung Yuni Sukowati aktif menjadi anggota DPRD Sragen. Di Sukoharjo, Bupati Sukoharjo Bambang Riyanto kini mengader istrinya Titik Suprapti untuk menggantikan posisinya. Titik kini punya nama politik yang dianggap lebih menjual, Titik Bambang Riyanto (TBR).

Di Indonesia, mengader istri atau anak sendiri ini malah menjadi tren. Di Kediri, dua istri Bupati Sutrisno, yakni Haryanti dan Nurlaila, sama-sama mencalonkan diri di ajang Pilkada.

Yang lucu, di Kabupaten Bone Bolango (Bonbol) Provinsi Gorontalo, Ruaida Mile, siap mengalahkan suaminya, Ismet Mile, yang sama-sama maju dalam Pilkada. Ruaida lantas dituding sebagai calon boneka rekaan sang suami. Calon boneka atau bukan, toh sah dan boleh asal sesuai aturan main demokrasi di Indonesia. Kadang-kadang calon boneka diperlukan agar Pilkada tetap berlangsung.

Salah satu pasangan calon yang sempat mendaftar dalam Pilkada Kota Solo beberapa saat lalu, yakni duet Pifik Muchtar dan Swatinawati, juga sempat dituding sebagai calon boneka. Memang, demokrasi juga bisa menampilkan wajah calon boneka, nyalon tetapi tidak untuk menang, dan sekali lagi, semua itu sah-sah saja dilakukan.

 Transaksional

Apapun caranya dan apapun jalannya, asal jabatan yang diemban kelak tidak digunakan untuk memperkaya diri sendiri, dan berjuang untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka artis, pengusaha atau kerabat kepala daerah boleh dan sah bertarung dalam Pilkada. Tetapi menjadi runyam kalau jabatan tersebut kelak digunakan untuk memperkaya diri, menutup borok korupsi dan mengkhianati kepentingan rakyat sendiri.

Demokrasi kita kadang-kadang juga berwajah mirip perdagangan, ada transaksi, ada jual beli. Cukup dengan Rp 50.000 per kepala, atau bahkan lebih murah lagi, cukup dengan Rp 20.000 per kepala, satu suara sudah bisa dijagakne. Rakyat senang, para kandidat pun lega. Bagi rakyat, uang tersebut, meski tak seberapa, bisa menyambung kebutuhan hidup beberapa hari. Toh siapapun yang kelak menang, nasib mereka belum tentu akan terangkat. Toh siapapun yang berkuasa, mereka tetap begitu-begitu juga.

Transaksi itu sering kali tidak langsung berupa uang, bisa saja berupa paket Sembako, aspal, gedung pertemuan, sumur dalam dan lain-lainnya. Jadi kalau ada pesta demokrasi, maka kesempatan bagi rakyat untuk mempunyai lapangan bulutangkis atau gedung pertemuan yang baru. Kadang rakyat sekarang juga cerdik, mau pemberiannya tapi soal memilih urusan nanti.

Di kalangan elite kekuasaan, aksi transaksi itu konon lebih heboh lagi. Mundurnya Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan, ramai diperbincangkan sebagai transaksi politik antara sejumlah pihak. Indikasinya, setelah Sri Mulyani mundur, Partai Golkar melepas sinyal akan menutup kasus skandal Bank Century. Lalu, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie kini menjabat sebagai Ketua Harian Sekretariat Bersama Koalisi Pendukung SBY.

Skandal Century juga disebut-sebut menjadi koin barter untuk ditukar dengan kasus hukum yang melilit elite politik dari kekuatan yang merongrong pemerintah. Sampai-sampai seorang teman bilang, yang paling berbakat bermain dalam demokrasi di Indonesia adalah kalangan pedagang, karena mereka biasa bertransaksi. Benar atau salah, entahlah.

Satu hal yang pasti, sebagian dari wajah demokrasi kita masih menyimpan misteri. Orang sanggup menghabiskan miliaran rupiah untuk menjadi anggota DPR/DPRD/DPD atau menjadi kepala daerah, padahal dalam logika matematika paling sederhana sekalipun, gaji dan tunjangan mereka dalam lima tahun tidak akan cukup untuk balik modal.

Kita hanya tahu wajah-wajah kudus para pemimpin, tidak mengetahui kudis apa yang mereka sembunyikan dari pandangan mata rakyat. Kita hanya tahu kegagahan kekuasaan mereka, tanpa mengetahui apa yang tersembunyi di balik tembok tebal kekuasaan mereka.

Tetapi apapun, dimanapun, gelap atau terang, terbuka atau dirahasiakan, selalu berlaku adagium Gusti Allah ora sare.... - Oleh : Suwarmin


Opini Solo Pos 10 Mei 2010