13 Mei 2010

» Home » Media Indonesia » Ketika Iron Lady Pergi

Ketika Iron Lady Pergi

Seorang ekonom terkemuka UI menyebut Sri Mulyani Indrawati iron lady--atribut yang biasa dikenakan pada negarawan Inggris Margaret Thatcher, wanita baja yang berjuang gigih melawan komunisme dalam Perang Dingin yang lalu. Mengapa Sri Mulyani disebut iron lady, tentunya multiinterpretatif, seperti rencana kepergiannya yang juga multitafsir. Dari pemikiran sederhana, bisa saja dia dianggap putri besi karena prinsip dan sikapnya yang tak kenal kompromi dan ketegarannya menghadapi tekanan sekian lama oleh sejumlah anggota DPR, partai politik maupun publik. Anak-anak muda yang tidak tahu persoalannya pun ikut-ikut memasang taring di gambar wajahnya.


Sri Mulyani sedang menjadi bahan kontroversi. Kegagalan Bank Century telah menjadi casus belli. Selain mereka yang menggugat dan menghujat, ada kelompok-kelompok yang mendukung dan bersimpati. Antara lain, sekelompok perempuan elite Jakarta mengedarkan komentar bahwa seharusnya kaum perempuan memberikan pembelaan, sekalipun bukan dengan berdemo di jalan-jalan. Dia putri terbaik Indonesia, sesuai dengan cita-cita Kartini. Sri Mulyani telah dipojokkan lawan jenis. Yang lainnya menyampaikan asumsi, Sri Mulyani bukan meninggalkan, melainkan ditinggalkan. Dia profesional yang terjepit di tengah-tengah berbagai kepentingan politik praktis. Ada lagi yang berkomentar, Sri Mulyani iron lady, maka agar tidak disangka melarikan diri, hadapi saja KPK supaya segera tuntas perkaranya.

Bahwa Sri Mulyani terkesan tertekan terlihat ketika dia menggunakan tasbihnya sewaktu dilakukan interogasi kasar di DPR. Dia terhindar dari pengalaman serupa ketika memilih diperiksa KPK di kantornya. Menjadi haknya untuk memilih tempat pemeriksaan, selama pilihan masih dimungkinkan.

Mawas diri sebelum menghakimi

Sri Mulyani pergi dalam situasi yang menimbulkan tanda tanya. Berkembangnya kecurigaan membuat suasana tidak kondusif lagi untuk pengabdian yang bisa dia berikan. Walaupun, sebenarnya, sudah sejak tahun 70-an mulai menyebar benih-benih kecurigaan antarkita, ketika negeri ini mulai merasakan enaknya hidup berkecukupan akibat hasil pembangunan yang mulai marak waktu itu. Mungkin karena sebelum itu kita terlalu lama merasakan penindasan dan kemiskinan, kemerdekaan dan kebebasan untuk memilih yang terbaik demi kepentingan individu menjadi euforia. Korupsi mulai merebak dan menyusup ke dalam budaya. Secara berangsur, modal sosial, termasuk gotong royong dan saling percaya, yang kita bangun sejak sebelum kemerdekaan dan yang kemudian mampu mengentaskan kita dari penjajahan, berangsur kabur. Mungkin Orde Baru menggalakkan kembali ajaran Pancasila dan UUD 1945 untuk tujuan memelihara modal sosial. Namun, itu terlambat karena ramainya lalu lintas pemikiran baru yang dianggap menguntungkan kepentingan individu. Pengeroposan modal sosial terus berlangsung di tengah tarik ulur mazhab-mazhab ekonomi-politik yang mencari pijakan.

Bila kita simak lebih teliti, dunia sebenarnya tidak memiliki lagi ajaran-ajaran lama yang murni seperti dulu. Kegarangan komunisme telah berlalu. China telah membaurkan sistem sosialismenya dengan gelombang pemikiran baru dunia. Pasar bebas baginya bukan tabu. Namun, kapitalisme yang membiarkan pemupukan modal demi kepentingan pribadi para pengusaha dia tabukan. Maka meledaklah dia menjadi raksasa ekonomi generasi baru. Negara Amerika sebagai ikon kapitalisme pun tidak lagi mengunggulkan modal di atas segala-galanya. Eksploitasi terhadap kelas buruh tidak dimungkinkan sistemnya. Ajaran kapitalisme, yang didasari keyakinan akan sifat dasar manusia yang individualistis, tidak mungkin merajalela dalam demokrasi yang mengembangkan sikap egaliter. Alhasil, kapitalisme, sosialisme, dan komunisme saling mendekati. Keyakinan akan HAM melengkapi spirit dunia yang diharapkan lebih manusiawi demi kemaslahatan bersama.

Peran PR sebagai peredam kehebohan

Hilangnya saling percaya akibat perbuatan-perbuatan yang melanggar nilai dan norma telah menumbuhkembangkan rasa curiga. Akhir-akhir ini, hari demi hari kita diombang-ambingkan dan dibuat bingung oleh kasus-kasus mafia hukum, Susno Duadji dan Sri Mulyani. Media massa yang mengungkapkan fakta dipersalahkan. Itulah yang sedang terjadi di masyarakat kita. Begitu hiruk-pikuknya kasus-kasus korupsi dan kebohongan di tengah-tengah percaturan politik dan ekonomi sehingga pada dasarnya semua pihak bingung menentukan mana yang salah dan mana yang benar. Terlalu sederhana kalau kita menggambarkannya hanya dengan ungkapan 'maling teriak maling'. Faktanya jauh lebih rumit. Hitam-putih membaur. Untuk menjelaskannya perlu strategi dan waktu.

Sayangnya, konsep PR diabaikan. Banyak tugas PR diambil alih oleh kuasa hukum atau petugas kampanye yang, mau tak mau, bersikap memihak. Sementara itu, tugas PR pada hakikatnya didasarkan pada kejujuran, bukan sekadar membuat pencitraan serbapositif tanpa cela.

Barangkali kerelaan para pelaku mengungkap kebenaran dapat berangsur menghapus kecurigaan dan meredakan ketegangan. Rakyat pada asasnya bersikap sederhana dan berhati terbuka. Berikan kejujuran, maka rakyat akan mendukung siapa pun demi kelanjutan dan kemajuan bangsa ini. Lagi pula rakyat yakin tidak ada pemimpin yang dengan sengaja menjerumuskan rakyatnya. Dia hanya diminta bersikap jujur.

Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group
opini media indonesia 14 mei 2010