13 Mei 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Melindungi Psikologis Petani

Melindungi Psikologis Petani

Oleh Iwan Setiawan

Bagi petani Jawa Barat, berusaha tani padi bukan sekadar padat modal, tetapi juga padat risiko. Dikatakan demikian karena risiko hampir ditemui dalam setiap tahapan kegiatan, mulai dari pengadaan benih, pengolahan lahan, penanaman, pengairan, penyiangan, pengendalian hama penyakit tanaman, panen, penanganan pascapanen, hingga pemasaran hasil.


Konkretnya, benih bermutu semakin mahal dan susah didapat. Harga pupuk terus meningkat, subsidi semakin sulit menepi ke petani. Tenaga kerja semakin sukar didapat, gelagat ongkosnya bakal terus melonjak. Pasokan air semakin tidak menentu seiring rusaknya lingkungan dan berubahnya iklim. Pada musim hujan, air berlebih (banjir) hingga merusak tanaman, jaringan irigasi, dan menggagalkan panen (puso).

Memasuki musim kemarau, pasokan air langsung anjlok, kasus gagal penen (puso) berlanjut. Kalaupun bertahan atau memaksakan, petani terpaksa harus membeli air (sewa pompa), terjebak dalam konflik air dan berhadapan dengan premanisme air. Perubahan iklim juga telah berdampak pada meningkatnya intensitas dan ragam serangan hama penyakit tanaman. Akibatnya, sistem produksi terganggu, biaya melonjak atau gagal panen. Memasuki masa panen, risiko yang kian signifikan adalah pencurian, premanisme beras, dan fluktuasi harga hasil usaha tani. Bahkan, sekarang petani harus berhadapan dengan produk impor.      

Ironisnya, jika meminjam istilah Thomas Malthus, risiko berusaha tani bergerak mengikuti deret ukur, sementara kenaikan harga hasil usaha tani bergerak mengikuti deret hitung. Boleh jadi, bagi sebagian besar petani kecil, mencapai titik impas saja sudah untung. Akan tetapi, dengan kondisi iklim yang ekstrem, semakin banyak petani yang gagal panen, musim hujan lahannya kebanjiran dan musim kemarau kekeringan. Dengan demikian, jangankan dapat untung, jerami pun tidak. Bukan isapan jempol apabila banyak petani tinggal utang (kari utang) dan petani tinggal daki (kari daki).

Banyak dan beragamnya risiko yang harus ditanggung petani jelas tidak hanya berdampak pada kondisi sosial, ekonomi, teknis, dan kelembagaan petani, tetapi juga terhadap kondisi psikologisnya. Para petani memang cerdas beradaptasi, berdaya juang tinggi, dan berani menanggung risiko. Akan tetapi, jika risiko dibiarkan terus mengimpit, tidak menutup kemungkinan mereka akan menjadi frustrasi. Kalaupun tidak sampai bunuh diri, minimal mereka akan meninggalkan usaha tani atau bereaksi dengan cara mereka sendiri.

Tekanan psikologis berbagai risiko usaha tani terhadap para petani sejatinya sudah mulai memasuki tahap kritis. Meski kasusnya belum sampai bunuh diri, menurut beberapa informasi sudah banyak petani yang terganggu jiwanya (stres). Jika dibiarkan terus berjalan, tidak menutup kemungkinan stadiumnya akan terus meningkat. Ini tidak berlebihan, karena fenomenanya ditemukan di beberapa negara lain, misalnya di India atau Bangladesh. Apalagi jika kondisi sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan dibiarkan terus tidak bersahabat (abnormal) atau jika eksistensi para pelaku usaha tani dibiarkan teralienasi dari kolektivitas dan norma-norma (anomi).

Meski fenomena bunuh diri tidak diharapkan terjadi pada petani di negeri lumbung padi ini, jika impitan risiko, tren frustrasi, dan anomi terus berjalan, maka perilaku menyimpang (deviant behavior) atau penyelesaian masalah secara ilegal (illegitimate solutions) tersebut tak mustahil menjadi kenyataan. Ditegaskan oleh Robert Merton, anomi terjadi karena adanya ketidakseimbangan (disequilibrium) dalam relasi antara sarana-sarana (means) dengan tujuan-tujuan (ends) yang disebabkan oleh pengaturan-pengaturan normatif atau kebijakan (regulation) yang tidak memadai.

Oleh karena itu, dalam menyelesaikan persoalan risiko usaha tani padi yang semakin kompleks, harus sampai menyentuh psikologis petani. Tindakannya, tentu tidak cukup dengan hanya pemberian bantuan benih, pompa, atau traktor. Akan tetapi, harus dengan kebijakan yang memadai, pemihakan yang berwujud tindakan sosial ekonomi kolektif, perlindungan sosial/jaminan usaha tani (coping and crop insurance), dan pemberdayaan (enabling, strengthening, dan protecting) yang membangun kultur kreatif, komprehensif, berkeadilan, berkelanjutan, dan menyejahterakan. Jaminan usaha tani layak disematkan kepada petani padi karena mereka juga menjamin ketersediaan pangan dan stabilitas politik.

Semua pihak harus memahami bahwa persoalan risiko usaha tani yang semakin kompleks (bahkan total loss) tidak mungkin diselesaikan secara mandiri oleh petani atau dengan pendekatan parsial. Akan tetapi, harus dilakukan secara bersama (collectivity) dengan pendekatan terintegrasi (ecological approach), pendekatan yang menyertakan modal (kecerdasan) sosial, modal (kecerdasan) intelektual, modal kebijakan, modal teknologi, modal ekonomi, modal alami, dan modal (kecerdasan) ekologis.

Jika tidak, implikasinya bukan hanya akan mengancam ketahanan pangan dalam jangka panjang, tetapi dapat mengganggu stabilitas sosial dan politik karena proses regenerasi (suksesi) petani bakal terhambat, bahkan tidak akan berjalan. Pelepasan dan alih fungsi lahan akan berjalan semakin cepat. Penilaian rendah (undervalue) terhadap sektor pertanian (terutama dari kaum muda) akan semakin akut dan sulit direhabilitasi. Pelarian  tenaga kerja (migrasi dan urbanisasi) sulit dikendalikan. Lebih jauh, jangan salahkan bila produk pertanian impor leluasa menguasai dan merajai pasar dalam negeri.***

Penulis, dosen Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Unpad.
opini pikiran rakyat 14 mei 2010