04 Mei 2010

» Home » Kompas » Kebobrokan: Memulihkan Kredibilitas

Kebobrokan: Memulihkan Kredibilitas

Politik dan hukum Indonesia dalam beberapa bulan terakhir tampak penuh kekisruhan dan kebobrokan. Berbagai kasus kebobrokan muncul menyentakkan kesadaran publik, mulai dari skandal dana talangan Bank Century yang menimbulkan tarik-menarik politik di DPR, kasus megakorupsi Gayus HP Tambunan, Bahasyim Assifie, hingga drama Susno Duadji.
Masyarakat jelas merasa kian frustrasi atas berbagai kebobrokan tersebut. Semuanya mencerminkan bukan hanya tingkat korupsi yang begitu akut, melainkan juga rendahnya integritas pejabat dan pegawai pada instansi publik, seperti Direktorat Jenderal Pajak, kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman.
Padahal, instansi-instansi ini bertanggung jawab pada pengelolaan dana negara dan penegakan hukum. Tak heran kalau kepercayaan publik kepada instansi-instansi ini kian rendah dan sinisme masyarakat semakin meningkat. Pandangan pesimistis merupakan indikasi sangat parahnya kebobrokan di lembaga dan instansi publik; mereka gagal menjaga amanah yang ada di bahu mereka. Alih-alih memelihara amanah sebaik-baiknya, sebagian dari mereka justru menggunakan kesempatan untuk memperkaya diri.
Lebih jauh, dalam perspektif pesimistis, begitu membudayanya korupsi sehingga cara apa pun yang dilakukan untuk memberantas tetap tidak mempan. Ancaman hukuman berat dan remunerasi yang besar sama sekali tidak mampu mencegah orang- orang dalam instansi tertentu ataupun antarinstansi untuk tidak korupsi.
Di segi lain, kalangan masyarakat yang masih menyisakan optimisme memandang pengungkapan semua kasus dan skandal tersebut seyogianya dapat menjadi momentum bagi pemberantasan korupsi secara lebih sungguh-sungguh.
Mereka ini juga percaya masih banyak pegawai instansi yang, meski hidup dengan pendapatan pas-pasan untuk kebutuhan sehari-hari, tetap mempertahankan integritas mereka dengan tidak korupsi. Mereka ini potensial untuk membangun integritas instansi dan lembaga publik mana pun agar bersih dari korupsi dan berbagai bentuk penyelewengan lainnya.

 

”Survival of the fittest”
Akan tetapi, optimisme tersebut boleh jadi hanya tinggal semangat, yang bahkan bisa jadi angan-angan belaka. Hal ini tidak lain karena tidak atau belum terlihat tanda-tanda meyakinkan dalam upaya mewujudkan Indonesia yang bersih dari korupsi. Bahkan, KPK yang sengaja diciptakan untuk percepatan pemberantasan korupsi terlihat kian kehilangan gereget, baik karena usaha-usaha pelemahan dari luar maupun karena berkembangnya masalah internal di dalam KPK.
Di tengah berbagai kekisruhan dan kebobrokan itu, sebagian kalangan senang menghibur diri dengan menyatakan, Indonesia terus menampilkan berbagai tanda positif. Ketika skandal Century menimbulkan ”gonjang-ganjing” politik dan terungkapnya berbagai kasus penyelewengan pajak, para pejabat pemerintah dengan bangga menyatakan, indikator ekonomi makro, seperti IHSG dan nilai tukar rupiah, terus menunjukkan penguatan. Inti argumennya, korupsi tak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun, indikator dan argumen tersebut ”menyesatkan” karena pada level mikro tidak terjadi perbaikan berarti dalam kehidupan ekonomi rakyat. Sementara kekuatan ekonomi pasar bebas global terus memasuki Indonesia hampir tanpa usaha konkret untuk membendungnya, ekonomi rakyat kian tersingkir ke pinggir. Ekonomi Indonesia sungguh mencerminkan berlakunya prinsip survival of the fittest; hanya yang kuat saja yang mampu bertahan, yang lemah harus menyingkir.
Bukan itu saja, para buruh kita kian terhinakan di negerinya sendiri, seperti terlihat dalam kasus Drydocks Batam. Sangat boleh jadi, kasus ini hanya puncak gunung es lebih besar yang tersembunyi di bawah permukaan. Globalisasi pasar bebas membuat kian banyak buruh asing mengambil alih pekerjaan yang sebenarnya bisa ditangani para pekerja kita sendiri.
Celakanya para pekerja asing yang menerima gaji jauh lebih besar tidak memiliki sensitivitas sosiokultural terhadap lingkungan Indonesia. Jika di negerinya sendiri para buruh kita yang dihinakan tidak bisa dilindungi, apalagi jutaan TKI yang terpencar di mancanegara.
Oleh karena itu, semua akumulasi realitas pahit ini menyimpan bara kemarahan di masyarakat kita yang tersisihkan dan terhinakan. Kemarahan itu bisa meledak sewaktu-waktu, dipicu sebab-sebab yang sering bersifat remeh-temeh (trivial).
Kita bersyukur demo besar-besaran di berbagai penjuru Tanah Air pada peringatan Hari Buruh (May Day) kemarin berlangsung aman; tetapi bisa dipastikan, berbagai masalah yang dihadapi para buruh, petani, dan pekerja sektor-sektor informal lainnya tetap tidak terpecahkan, mengendap bersama kemarahan.
Kultur birokrasi
Memang tidak mudah memberikan solusi instan untuk memecahkan berbagai masalah yang sangat kompleks yang dihadapi negara-bangsa kita dewasa ini. Juga tidak bisa diharapkan berbagai masalah itu bakal berkurang—apalagi lenyap sama sekali—seiring perjalanan waktu tanpa langkah-langkah serius.
Oleh karena itu, berbagai upaya mesti segera ditingkatkan pemerintah yang memiliki perangkat guna melakukan berbagai kebijakan dan tindakan, baik dalam pemberantasan korupsi maupun penciptaan kehidupan ekonomi lebih adil. Tidak patut jika pemerintah justru mengharapkan masyarakat dapat menyelesaikan sendiri masalah-masalah berat yang mereka hadapi.
Hal paling urgen adalah memulihkan kembali kredibilitas birokrasi pemerintahan melalui langkah konkret penerapan good governance. Pembentukan tata kelola pemerintahan yang baik, akuntabel, kredibel, dan efektif mesti kembali mendapatkan prioritas pokok untuk dilaksanakan secara tegas dan konsisten.
Penciptaan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih terbukti tidak cukup dengan peningkatan pendapatan para pegawai lewat pemberian remunerasi.
Tujuan itu hanya bisa diwujudkan jika dibarengi dengan transformasi kultur birokrasi itu sendiri. Tidak terlalu banyak terjadi perubahan dalam kultur birokrasi ini meski telah lebih dari 10 tahun KKN ditetapkan sebagai ”penyakit” yang mesti segera diberantas. Birokrasi kita masih tetap menyimpan potensi laten menjerumuskan orang-orang di dalam birokrasi itu sendiri untuk melakukan korupsi dan tindakan-tindakan koruptif lainnya.
Tak kurang pentingnya adalah penegakan hukum yang tegas dan maksimum bagi para pelaku korupsi. Namun, ini harus bermula dari lembaga aparat penegak hukum sendiri untuk menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada mereka yang terlibat dalam korupsi dan tindakan-tindakan koruptif lain. Jika ini bisa dilakukan, barulah lembaga penegak hukum memiliki hak moral sepenuhnya untuk melangkah lebih jauh di luar dirinya sendiri.
Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Opini Kompas 5 Mei 2010