04 Mei 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Mengurai Problem Kemadrasahan

Mengurai Problem Kemadrasahan

Oleh Ki Supriyoko

Bahwasanya madrasah itu bukan mutlak milik Nahdlatul Ulama (NU) rasanya memang benar; nyatanya ada madrasah negeri dan ada pula madrasah swasta non-NU, seperti madrasah Muhammadiyah yang tersebar di berbagai daerah. Meskipun demikian, secara statistik mayoritas madrasah di Indonesia memang diselenggarakan NU; karenanya tidaklah berlebihan kalau dalam kesempatan memperingati hari lahir NU dipikirkan jalan keluar atas problem mendasar yang tengah dihadapi dunia madrasah di Indonesia. Ada pun yang dimaksud madrasah dalam tulisan ini adalah madrasah ibtidaiah (MI) yang setara SD, madrasah tsanawiah (MTs.) yang setara SMP, madrasah aliyah (MA) yang setara SMA, serta madrasah aliyah kejuruan (MAK) yang setara SMK.


Berapakah jumlah madrasah di Indonesia? Menurut catatan Departemen Agama (2007), sekarang Kementerian Agama, jumlah MI sebesar 23.517 lembaga, 93 persen di antaranya swasta; MTs. 12.054 lembaga, 90 persen di antaranya swasta; dan MA sebesar 4.687 lembaga, 86 persen di antaranya swasta. Dari angka-angka ini diinterpretasi bahwa eksistensi madrasah di Indonesia sangat menentukan ”merah-putihnya” pendidikan nasional.

Salah satu problem besar yang dihadapi madrasah di Indonesia ialah belum optimalnya favoritas masyarakat terhadap lembaga madrasah itu sendiri. Jangankan menjadi pilihan utama bagi masyarakat untuk ”memadrasahkan” (menyekolahkan) putra-putrinya atau istilahnya menjadi ”institution of choice”, sedangkan anggota masyarakat yang sama sekali belum mengenal madrasah pun masih banyak. Ini lucu, karena eksistensi madrasah di Indonesia sudah puluhan tahun; jadi tidak dapat disebut ”bayi kemarin sore”.

Memang benar, di kalangan tertentu, utamanya kalangan pesantren, minat masyarakat terhadap madrasah sangat tinggi. Angka statistiknya pun telah menunjukkan tingginya jumlah madrasah di Indonesia. Namun demikian, secara nasional tingkat favoritas masyarakat kita terhadap madrasah lebih rendah dibandingkan dengan sekolah. Inilah problem pertama yang dihadapi oleh NU sekarang ini.

Problem kedua menyangkut lebih rendahnya prestasi akademis ”ilmu umum” siswa madrasah dibandingkan dengan sekolah. Sependapat atau tidak, banyak warga nahdliyin yang membedakan pengetahuan, ilmu, dan keterampilan menjadi dua; yaitu ”ilmu umum” seperti matematika, kimia, dan teknologi informasi (TI) serta ”ilmu agama” seperti membaca Alquran, memahami hadist, dan tarikh. Secara hipotesis, lebih rendahnya prestasi akademis ”ilmu umum” siswa madrasah dibandingkan dengan sekolah inilah yang menyebabkan lebih rendahnya tingkat favoritas masyarakat terhadap madrasah dibandingkan dengan terhadap sekolah.

Kenapa hal itu bisa terjadi? Jawabnya sederhana saja. Karena kurikulum madrasah hanya berisikan 70 persen ”ilmu umum”, sedangkan kurikulum sekolah berisikan 100 persen ”ilmu umum” dengan asumsi mata pelajaran pendidikan agama tidak diperhitungkan.

Sebenarnya pencapaian nilai Ujian Nasional  madrasah cukup membanggakan. Pencapaian rata-rata nilai UN siswa madrasah memang lebih rendah dibandingkan dengan siswa sekolah, tetapi terpautnya relatif kecil. Sebenarnya hal ini membanggakan bagi madrasah mengingat substansi ”ilmu umum” di dalam kurikulum madrasah hanya 70 persen.  

Apakah masyarakat kita dapat memahami ”kebanggaan” tersebut? Pada umumnya tidak! Mereka tahunya pencapaian prestasi akademis siswa madrasah lebih rendah daripada siswa sekolah. Bagi insan madrasah hal ini terasa pahit namun harus dapat diterima.

Solusi kreatif

Bagaimana memecahkan problemkemadrasahan tersebut? Hal ini memang memerlukan solusi kreatif warga nahdliyin yang notabene identik dengan pesantren dan madrasah. Apalagi mereka memiliki komandan baru yang masih fresh, yaitu K.H. Said Aqiel Siradj sebagai Ketua Umum PBNU dan K.H. Sahal Mahfudz sebagai Ketua Dewan Syuriah PBNU. 

Ada beberapa cara yang perlu dipertimbangkan. Cara yang paling konvensional adalah memberikan ”ilmu umum” yang porsinya sama dengan yang diberikan di sekolah, kemudian ditambah dengan ”ilmu agama”. Cara ini bagus akan tetapi hanya efektif dijalankan madrasah dengan siswa yang di asrama alias dipondokkan. Madrasah yang eksistensinya di tengah pesantren biasanya bisa menjalankan cara ini secara produktif; namun pada madrasah nonpesantren yang siswanya tidak menginap, cara ini sangat berat dijalankan.

Cara modern yang bisa dijalankan adalah membenahi metode pembelajaran (learning method), meningkatkan mutu guru, dan atau melengkapi sarana dan fasilitas belajar. Ketiga pembenahan ini bisa dilakukan secara sendiri-sendiri tetapi lebih produktif dijalankan secara terintegrasi. Lebih daripada itu bahkan di antara cara konvensional dengan cara modern tersebut pun bisa dipadukan secara produktif.

Itulah tantangan awal yang dihadapi Pak Said Aqiel. Semoga beliau dan para pimpinan NU mampu memecahkan solusi problem kemadrasahan secara kreatif dan produktif!!!***

 Penulis, pengasuh Pesantren ”Ar-Raudhah” Yogyakarta; Guru Besar UST Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UNU Surakarta, Unsuri Surabaya, Unisma Malang.
opini pikiran rakyat 05 mei 2010