27 April 2010

» Home » Suara Merdeka » Kerumitan Tanah PRPP

Kerumitan Tanah PRPP

”HILANGNYA” tanah seluas 186,74 hektare aset Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Pemprov Jateng) di kawasan Pusat Rekreasi dan Promosi Pembangunan (PRPP) nampaknya akan berlarut-larut. Butuh waktu panjang dan besar kemungkinan penyelesaiannya melalui jalur hukum mengingat untuk pelurusan hak atas tanahnya, Pemprov harus tunduk pada PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Hak Atas Tanah.

Para pemilik rumah, yang umumnya rumah mewah, gudang, dan tempat ibadah tentu tidak akan menyerahkan begitu saja tanah yang sudah mereka bangun itu kepada Pemprov. Yang mereka dapatkan tidak gratis. Setidaknya pemilik rumah di perumahan RF dan MR. Mereka telah membayar kepada pengembang RF dan MR. Kedua pengembang tersebut membeli tanah dari PT Indo Perkasa Usahatama (IPU) sebagai pemegang hak pengelolaan lahan (HPL) milik Pemprov.


IPU adalah perusahaan swasta yang diberi HPL selama 75 tahun berdasarkan persetujuan dengan Yayasan PRPP. Yayasan itu bentukan Gubernur Jawa Tengah berdasarkan SK Nomor 510.1/02439 tanggal 26 Januari 1985 yang bertugas antara lain mengamankan aset seluas 108 hektare di Tambakrejo, Tawangsari, Tawangrejosari, Tawangaglik Lor dan Tawangaglik Kecamatan Semarang Barat.

Tugas itu terasa janggal ketika Yayasan PRPP menggandeng swasta, yakni IPU, dengan surat perjanjian Nomor 03/Yay/1987. IPU dminta membangun sarana prasarana PRPP di atas tanah 45,6 hektare, membebaskan tanah 172,34 hektare dan IPU mendapat 14,4 hektare tanah di dalam lingkungan PRPP sebagai alat untuk membayar utang.

Kalau total tanah seluas 232,34 hektare tersebut saja ada yang patut ditanyakan, mana yang diamankan, mengapa ada pembayaran utang dan utang atas dasar apa?

Mengapa pula tanah yang disebut untuk membayar utang tersebut oleh IPU disetujui saja ketika masuk jadi satu bersama yang 172,34 hektare sebagai aset Pemprov dan IPU hanya diberi HPL? Apalagi HPL-nya 75 tahuni, sebuah jangka waktu yang tidak lazim.
Alihkan Hak Kejanggalan-kejanggalan tersebut adalah masalah hukum mengingat semua dituangkan dalam bentuk perjanjian antara PRPP dan IPU. Apalagi dalam perkembangannya IPU yang notabene hanya memiliki HPL, berani mengalihkan hak kepada pihak lain. Ironisnya, pengalihan itu diizinkan oleh PRPP.

HPL diperjualbelikan dan setidaknya sudah terpecah menjadi 1.200 lebih bidang tanah yang sudah terproses sebagai hak guna bangunan (HGB) dan 2 bidang tanah menjadi hak milik (HM). Kalau berdasarkan hasil penelusuran awal, hal itu dilakukan atas seizin PRPP. Ada apa dengan pihak PRPP, siapa yang mengeluarkan izin?

Terkait dengan proses tersebut, nampak sekali ada kekurangpasan yang dilakukan PRPP. Kalau tugasnya mengamankan aset, setidaknya 108 hektare, mengapa ada pemberian HPL dan izin pengalihan hak atas tanah?    

Apakah ada yang menyuruh melakukan dan kapan itu dilakukan? Mengapa pula selama ini saat HPL diberikan kepada IPU, tidak ada kompensasi ekonomi sedikit pun bagi daerah?

Itu sebabnya, pintu masuk pengusutan ada tidaknya unsur pidana dalam kasus ini sebenarnya lebih terletak pada berani tidaknya pihak-pihak terkait untuk mengungkap, apakah benar PRPP berhak mewakili Pemprov, dan bahkan melampaui tugasnya?

Tidak perlu khawatir pengusutan gagal atau susah karena para pihak yang bertanda tangan dalam perjanjian itu sudah meninggal dunia. Kalau dalam perjanjiannya tidak memenuhi persyaratan perdata, atau ada pelanggaran, bahkan ada unsur pidananya, tentu semua dapat diatasi bila semua serius menyelesaikannya dengan semangat berpihak pada kebenaran sejati. Bila perlu dengan kekuasaan hukum yang ada, audit pembukuan IPU. Coba telusuri, ada tidaknya pejabat atau mantan pejabat yang mendapat keuntungan di balik pemberian izin pengalihan HPL ke HGB, dan bahkan menjadi HM.

Pengalaman penulis melacak aset tanah milik Pemkot Semarang yang hilang beberapa tahun lalu, tidaklah mudah. Ada pihak-pihak yang berusaha menutupi-nutupi. Bahkan merobek berkas atau tidak memberi data. Syukur, Allah SWT memberi petunjuk dan data valid dapat diperoleh justru dari pihak Topografi Kodam IV/Diponegoro yang waktu itu berkantor di Yogyakarta.

Kembali ke soal tanah PRPP, bisa saja IPU memiliki hak murni di antara tanah 186,74 hektare yang dibebaskannya dan ada kewajiban dari Pemprov melalui PRPP yang belum dipenuhi?

Hanya yang perlu diingat dari kasus tanah PRPP ini adalah, ada kemungkinan waktu itu pemerintah membangun kawasan seperti Ancol namun tidak memiliki dana cukup. Digandenglah swasta dan di sinilah hak-hak IPU juga tidak boleh dikesampingkan di samping IPU sendiri harus memenuhi kewajiban-kewajibannya.

Bila memang kasus tanah PRPP dituntut dapat memberi manfaat besar bagi Pemprov, daerah, dan semua pihak terkait di balik lamanya HPL yang 75 tahun, sebaiknya dirumuskan bersama kompensasinya bagi daerah. Sedangkan yang sudah dialihkan haknya, harus diupayakan pembatalan secara perdata dan diproses terlebih dulu kasus pidananya.

Pemprov tidak perlu membongkar bangunan yang sudah di-HGB dan di-HM-kan, upaya pendekatan setelah pembatalan, IPU dan pemilik bangunan menyelesaikan masalahnya, untuk kemudian dirumuskan pemberian ganti rugi pada Pemprov, atau membayar kompensasi atas pemanfaatan tanah yang ada.

— M Issamsudin, PNS Pemkot Semarang, dosen STIK Semarang

Wacana Suara Merdeka 28 April 2010