23 Februari 2010

» Home » Solo Pos » Tanggapan untuk Drs Soedarmono SU Surakarta atau Sala?

Tanggapan untuk Drs Soedarmono SU Surakarta atau Sala?

Dengan tulisan kecil ini, bukan maksud saya untuk memihak pada salah satu di antara kedua kata “Surakarta” atau “Sala” – belum memikir kata “Solo” yang pancen datang di belakang. Apalagi kalau mengingat bahwa lebih dari dua ratus tahun masyarakat di sini bebas memilih yang mana yang tepat – tergantung konteks di mana dipakainya.


Misalnya, kalau menyebut “cengkok Sala” atau “nasi liwet Solo” cocok; sedangkan “praja Surakarta” atau “tangguh Surakarta” atau “naskah Surakarta” terdengar lebih tepat.

Kenapa belakangan ini baru dirisaukan dan diajukan supaya salah satu dari kedua kata ini harus dicopot dan disingkirkan?

Jadi, saya tidak memihak kepada salah satu dari kedua nama ini, tetapi saya merasa terpanggil untuk meluruskan sejarah dan menanggapi opini Drs Soedarmono SU yang dimuat di SOLOPOS, 22 Februari lalu. Selama tiga puluh tahun, saya bergelut dengan naskah kuno yang tersimpan di beberapa perpustakaan di Surakarta/Solo, yaitu di Keraton Surakarta, Pura Mangkunegaran dan Museum Radya Pustaka. Selama ini, dalam semua naskah kuno yang saya baca, yang isinya memaparkan sejarah lokal sesudah perpindahan Keraton pada tahun 1745 (atau tepatnya 1746), kata yang dipakai untuk kota ini adalah “Surakarta.”

Kalau kita baca di Babad Giyanti, Babad Prayut, Babad Pakepung, Babad Sangkala, Babad Itih atau Babad Surakarta, kata yang selalu kita temui adalah “Surakarta.” Meskipun begitu, saya tidak berani bilang bahwa kata “Salakarta” sebagai nama kota yang dipersoalkan ini tak pernah ada di dalam naskah-naskah ini; tersimpan di kota ini (Surakarta atau Solo) ada tujuh ratusan ribu halaman yang dihiasi dengan tulisan Jawa – tidak ada manusia yang dapat menguasai setiap halamannya.

Jadi, ada baiknya kita hati-hati menyatakan bahwa kata atau konsep ini dan itu tak ada dan tak pernah ada dalam tulisan atau naskah Jawa. Yang menurut saya baik, adalah kita mencoba menelusuri tulisan di kota ini untuk lebih mengerti sejarah Surakarta atau Solo. Membaca, mencatat dengan teliti apa yang kita baca dan menyiarkannya dengan jujur kepada masyarakat luas merupakan usaha yang sebaiknya kita lakukan.

Bersumber babad

Dalam tulisan kecil ini akan saya paparkan sekelumit sejarah menjadinya Surakarta yang tercantum dalam salah satu sumber ini. Naskah yang saya bicarakan adalah Babad Itih, yang disusun oleh R Ng Ranggawarsita, pujangga dalem Keraton Surakarta dan warga Solo. Babad Itih disusun pada pertengahan abad ke-19 (tahun 1860-an) dan susunannya berdasarkan pembacaannya naskah babad di Keraton dan Mangkunegaran ditambah pengetahuan yang didapat sang pujangga dari keluarga besarnya, khususnya kakeknya, R Ng Yasadipura II yang turut bersama ayahnya, yaitu Yasadipura I (kakek buyut Ranggawarsita), mengikat Babad Giyanti.

Naskah Babad Itih ini telah lapuk dimakan umur, tetapi masih dapat kita baca di perpustakaan Mangkunegaran (Rekso Pustaka naskah B 20 g); malah naskah ini telah ditransliterasi dalam huruf Latin meskipun kurang sempurna transliterasi itu.

Menurut babad ini, Kota Surakarta atau Solo mulai dibangun dalam bulan Ruwah tahun Jawa 1670 (September 1745) dan boyong keraton dari Kartasura ke Desa Sala dilaksanakan pada bulan Sura tahun Bé (sic) 1671 (Februari 1746). Kalau tanggal ini, serujuk dengan tanggal yang ada dibeberapa naskah Babad Giyanti (yaitu 17 Sura Dal 1761 atau 9 Februari 1746). Situs keraton baru itu dicarikan oleh sesepuh keraton, Pangeran Wijil Kadilangu, keturunan Sunan Kalijaga, yang pada waktu itu menjabat sebagai pujangga Paku Buwono II).

Hari baik untuk perpindahan juga dicarikan Pangeran Wijil bersama dengan para ulama Keraton Kartasura. Harinya datang dan pemboyongan dilaksanakan. Sesudah sampai di tempat baru, Sang Ratu mengadakan pisowanan (audiensi), di mana beliau menyatakan bahwa, “Sesuai dengan karsa (kemauan, ketentuan), Pangeran Wijil, pada hari itu Kota Sala diberi julukan negeri Surakarta Hadiningrat.” Pangeran Wijil langsung merestui pergantian nama ini dan berdiri dari tempatnya untuk membaca dua doa dalam bahasa Arab untuk keselamatan kota/negeri yang baru ini (Babad Itih, Jilid VIII, hal 1028–30).

Selanjutnya, di dalam sejarah lokal ini (dan yang lain), kata “Surakarta” dipakai untuk negeri dan masyarakat yang tinggal di kota ini. Meskipun begitu, tidak dapat dibantah bahwa kata “Sala” juga bertahan hidup di tengah masyarakat sebagai nama alternatif.

Lain halnya bahwa orang Belanda (VOC) turut campur tangan dalam berdirinya negeri Surakarta atau Kota Solo (sebagaimana juga adanya dengan negeri/kota Yogyakarta, tidak dapat dibantah. Tetapi ini bukan soal nama. Dan pergantian nama tidak dapat mengubah kenyataan itu. Mungkin sudah bukan zamannya untuk memboyong praja ke lain tempat, misalnya ke Alas Ketangga, untuk menghapus jejak penjajah.

Tetapi, sekali lagi harus saya luruskan sejarah dan menanggapi opini Soedarmono di dalam tulisan yang sama yang mengatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda mulai mengadakan semacam pemerintahan dobel di tanah kerajaan Jawa pada awal abad ke-18.

Pertama, belum ada Hindia Belanda pada abad ke-18. Kedua, penerapan sistem yang dapat dikatakan pemerintahan dobel di Hindia Belanda baru terjadi pada abad ke-19 (sesudah perang Diponegoro, yang berakhir pada tahun 1830). Ketiga, struktur itu hanya berlaku di daerah yang di luar kerajaan. Struktur pemerintahan yang dapat dikatakan dobel ini baru diperlakukan di Surakarta (Solo) pada akhir abad ke-19, kalau tidak salah pada tahun 1870-an. Kiranya pada waktu itu, kata “Solo” mulai jadi populer. - Oleh : Prof Dr Nancy K Florida Guru besar Kajian Indonesia dan Jawa University of Michigan Ann Arbor, Michigan USA

Gagasan Solo Pos 24 Februari 2010