06 Februari 2010

» Home » Solo Pos » Pecinan sebagai kawasan cagar budaya

Pecinan sebagai kawasan cagar budaya

Pemerintah Kota (Pemkot) Solo sedang menggalakkan revitalisasi bangunan kuno yang ada, seperti Masjid Agung, Stasiun KA Jebres, Gedung Bank Indonesia dan masih banyak lagi yang akan menjadi target pembangunan kota untuk menarik wisatawan.

Apalagi semboyan Solo’s Past as Solo’s Future telah seringkali disampaikan Walikota Solo dalam beberapa forum pertemuan nasional maupun internasional. Kawasan Pecinan di daerah Balong, merupakan salah satu kawasan cagar budaya yang perlu dilestarikan.



Orang-orang Tionghoa (China) diperkirakan sudah ada di Solo sejak 1746, tidak lama setelah kota itu dijadikan ibukota dinasti Mataram (Kasunanan Surakarta) oleh Pakubuwono II. Ketika hadir di Solo pada 1746, dalam perkembangannya masyarakat etnis Tionghoa harus tunduk kepada peraturan pemerintah kolonial yang diskriminatif. Masyarakat etnis tersebut ruang geraknya dibatasi dengan sistem surat jalan (passenstelsel).

Mereka dilarang memiliki tanah, sesuai UU Agraria 1870, bahkan tempat tinggalnya dilokalisasi di sebuah wilayah yang dikenal dengan nama wijk. Setiap kampung China atau wijk dikepalai oleh seorang Kapitan China yang dikenal dengan sebutan Babah Mayor. Pada sekitar 1911, atas desakan organisasi atau gerakan nasionalis di kalangan orang-orang etnis Tionghoa, pemerintah kolonial mengabulkan tuntutan penghapusan wijkenstelsel dan passenstelsel. Sejak itu permukiman masyarakat etnis Tionghoa tidak lagi mengelompok di daerah Balong, tapi menyebar ke lokasi yang lain, seperti Warung Pelem, Limalasan, Gandekan dan sekitar Lojiwetan. Menariknya, Kampung Balong masih tetap bertahan sebagai perkampungan Pecinan. Sebab mayoritas masyarakat yang tinggal di sana keturunan China.

Telah banyak bangunan yang bernilai sejarah dan budaya tinggi digerogoti oleh kepentingan komersial dan digantikan dengan bangunan berarsitektur modern. Untuk mengantisipasi semakin banyaknya sumberdaya budaya yang dihancurkan, diperlukan upaya konservasi untuk melestarikannya. Upaya konservasi tidak hanya terbatas pada penyelamatan bangunan berdasarkan nilai sejarah dan arsitekturnya saja, tetapi juga mencakup nilai sosial, ekonomi, dan politisnya. Dengan melihat semakin maraknya modernisasi bangunan yang berkembang di Kota Solo saat ini, perlu adanya upaya konservasi kawasan Pecinan, tetapi yang terpenting adalah sejauh mana upaya konservasinya.

Penuh warna

Menurut wacana pembangunan kota, pelestarian dibedakan menjadi dua yaitu preservasi dan konservasi. Definisi preservasi adalah upaya untuk mengembalikan suatu tempat, bangunan, atau lingkungan kepada kondisi asalnya, demi mencegah kerusakan yang disebabkan oleh tindakan manusia. Sedangkan konservasi adalah upaya untuk memelihara suatu tempat sedemikian rupa sehingga maknanya tetap terjaga. Konservasi bukan berarti membangun kembali kota lama dengan segala artefaknya, akan tetapi lebih bersifat untuk menemukan kembali unsur-unsur yang membentuk keunikan budayanya (Danisworo, 1999)

Berkaitan dengan wacana tersebut, bangunan-bangunan yang ada di kawasan Pecinan Solo perlu dipreservasi dan dikonservasi. Pemerintah sampai saat ini lebih banyak berkutat pada masalah teknis. Sedangkan pemaknaan terhadap benda cagar budaya tampaknya hanya dilakukan pada tingkat instansi masing-masing. Penggalian makna benda cagar budaya yang ada di lingkungan masyarakat belum maksimal dilakukan. Padahal benda cagar budaya yang ada di masyarakat adalah bagian dari perjalanan hidup masyarakat itu sendiri. Permasalahannya adalah bagaimana makna-makna atau nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tersebut dapat menjadi bagian dari hidup mereka, dengan memasukkan nilai-nilai yang dapat menumbuhkan rasa memiliki serta jiwa nasionalisme sehingga memperkaya ragam nilai budaya bangsa. Diharapkan dengan adanya rasa memiliki tersebut, masyarakat akan melestarikan warisan budaya dengan kesadaran sendiri.

Saat ini, banyak bangunan di kawasan Pecinan Solo yang tidak terawat dan rusak. Pemerintah harus menggandeng masyarakat untuk bahu-membahu melestarikan kawasan Pecinan. Perlu adanya guideline design bangunan untuk mengendalikan perkembangan pembangunan fisik bangunan yang termasuk dalam kriteria bangunan cagar budaya.

Demikian juga dengan ornamen, material, dan warna asli bangunan perlu diperhatikan. Sedapat mungkin untuk kawasan Pecinan menghindari warna-warna yang mencolok atau dikembalikan sesuai aslinya sehingga dapat dijadikan sebagai penanda budaya suatu komunitas. Misalnya toko barang kelontong berwarna putih sedangkan kios jasa pelayanan gigi berwarna krem. Beberapa rumah toko yang bagian depannya tertutup oleh reklame seharusnya ditampakkan fasadnya agar keindahan arsitektur bangunannya dapat dinikmati. Perkuatan dan penambahan struktur baru diperbolehkan untuk menjaga stabilitas bangunan. Pendaurulangan bangunan dapat dilakukan misalnya dengan perubahan tata ruang untuk fungsi yang berbeda.

Selain hal-hal yang berkaitan dengan fisik bangunan, tradisi dan budaya masyarakat Tionghoa di kawasan Pecinan juga harus dikonservasi. Antara lain dengan menyelenggarakan ekspo yang menampilkan kesenian barongsai dan Gerebeg Sudiro pada saat perayaan tahun baru Imlek serta berbagai kuliner maupun obat tradisional China untuk menumbuhkan kembali unsur-unsur yang membentuk keunikan budaya masyarakat Pecinan. Kegiatan tersebut dapat dilakukan rutin setiap tahun dan menjadi agenda pariwisata di kota Solo. Dalam hal ini, sejak beberapa tahun yang lalu, Kota Solo telah menyelenggarakan berbagai kegiatan berkaitan dengan tahun baru Imlek dengan menampilkan budaya China yang dilaksanakan di kawasan Pecinan. Dengan adanya kegiatan tersebut, diharapkan masyarakat akan semakin tergerak untuk melestarikan tinggalan budaya yang ada di kota Solo.

Kawasan Pecinan Balong merupakan salah satu kawasan cagar budaya tertua di Kota Solo. Kawasan cagar budaya telah dilindungi UU No 5/1992 dan Peraturan Daerah (Perda) Kota Solo tentang Bangunan. Satu hal yang perlu dipahami, kota bukan ciptaan satu generasi tetapi terus tumbuh dari satu generasi ke generasi yang lain. Karya suatu generasi patut mendapat tempat sebagai bagian dari suatu kota. Persinggungan dengan para pendatang (China) selama berabad-abad telah membawa pengaruh pada Kota Solo yang menghasilkan budaya kota campuran yang unik dan penuh warna. - Oleh : Himawan Prasetyo, Pegawai Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta

Opini Solo Pos 6 Februari 2010