06 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Muktamar ke-32 NU

Muktamar ke-32 NU

M Ridwan Lubis
(Ketua PB NU)

Media massa telah ikut berjasa meramaikan rencana perhelatan Jam'iyah Nahdlatul Ulama yang insya Allah akan menyelenggarakan muktamarnya dari tanggal 22 sampai dengan 27 Maret 2010 di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan.

Sekalipun setiap penyelenggaraan muktamar memiliki makna yang penting, tetapi muktamar kali ini memiliki arti tersendiri, baik bagi umat Islam, nahdliyin, bangsa Indonesia, dan lebih khusus lagi terhadap posisi Makassar yang tergolong sebagai kawasan Indonesia Timur.

Bukankah gagasan untuk mengembangkan kawasan timur Indonesia menjadi suara yang selalu didengungkan pada setiap masa pemerintahan. Bagi umat Islam Indonesia, tentulah supaya menyadari bahwa mereka memiliki potensi yang amat besar untuk membawa perbaikan (islah) yang berdimensi kemajuan (tamaddun) umat Islam di kemudian hari. Sesungguhnya tantangan yang dihadapkan kepada umat Islam demikian rumit sehingga memerlukan penanganan yang sistematis, radikal, dan konstruktif.

Kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan tetap menjadi persoalan besar yang membentang di hadapan umat Islam. Akan tetapi, jumlah populasi umat Islam yang demikian besar, sekitar 87 persen, tetaplah baru sekadar potensi.

Nahdlatul Ulama sesungguhnya sudah ada sejak awal masuknya Islam ke Indonesia pada abad pertama hijriyah. Peristiwa 31 Januari 1926 dapat dilihat sekadar sebagai formalisasi komunitas umat Islam dalam bentuk pengorganisasian (tanzim) yang menetapkan jati dirinya dengan sebutan kebangkitan ulama (nahdlatul ulama). Kerangka berpikirnya jelas, yaitu ajaran Islam adalah pedoman hidup bagi orang yang memercayai Allah dan Rasul-Nya.

Pesan wahyu dari Allah (matluw) maupun rasul (gairu matluw) hanya akan bisa dipahami secara benar manakala memiliki alur transmisi (sanad) yang jelas dan kuat periwayatannya sehingga memenuhi ketentuan dalam ilmu sejarah yang disebut kritik intern dan kritik ekstern.

Atas dasar itu, penelusuran ajaran Islam harus melalui jalur yang memiliki otoritas untuk memberikan penafsiran berdasarkan mata rantai kesaksian yang kemudian disebut dengan syuhud ain al syari'at. Dalam kaitan itu, dalam kerangka berpikir NU setiap pemikiran yang dikembangkan umat manusia tentulah memiliki rumusan konsep masa lalu, baik yang masih relevan (al qadim al shalih) maupun yang tidak relevan (al qadim gairu al shalih).

Keabadian suatu ajaran hanyalah yang bersumber dari wahyu Allah kepada rasul-Nya. Lalu pada saat yang sama, dari sudut analisis sosiologis, tentulah dalam kehidupan manusia terikat pada perubahan sosial. Sepanjang perubahan menyangkut hal teknis, itu berpeluang menjadi positif dan untuk itu hendaklah bersikap responsif dan proaktif menerima perubahan itu.

Akan tetapi, apabila perubahan itu berkenaan dengan perombakan nilai, tentulah dalam pandangan NU hal itu harus ditolak karena nilai dalam ajaran Islam adalah berlaku sepanjang zaman (al islam shalihun li kulli zaman wa makan). Atas dasar itulah dalam pandangan NU, kesinambungan dan perubahan bukanlah yang harus dipertentangkan, namun keduanya saling melengkapi. Ketidakmampuan untuk berpegang pada nilai dasar ajaran Islam tentunya akan mengakibatkan terjadinya krisis jati diri pada umat Islam, sementara ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri serta mengakomodasi perubahan akan membuat umat Islam akan selalu dihadapkan kepada sikap yang selalu reaktif terhadap perubahan, padahal perubahan itu suatu keniscayaan.

Kaum nahdliyin memiliki keunggulan di bidang pendidikan masa lalu, yaitu pondok pesantren. Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang selain membekali para santri dengan ilmu agama bersumber dari kajian terhadap kitab kuning, juga sebagai upaya memelihara kesinambungan ilmu dari ulama-ulama terdahulu (ihya atsar al salaf). Di balik itu, pesantren juga memiliki prestasi lain, yaitu pembentukan kepribadian yang wara, zuhud, jihad, dan mujahadah sehingga para ulama selalu memiliki cara pandang jauh, bahkan terkadang mendahului sebelum terjadinya sebuah peristiwa.

Potensi lain lagi adalah dalam kalangan pesantren yang mayoritas dikelola warga NU menetapkan bahwa prinsip ahlusunah waljamaah di bidang akidah adalah berpegang pada akidah yang dirumuskan oleh Asy'ari dan Maturidi. Sementara, di bidang fikih bermazhab pada mazhab yang empat, yaitu Maliki, Hanafi, Syafii, dan Hambali; dan di bidang tasawuf berpedoman pada tarikah yang dirumuskan Imam Junaid dan kemudian dikembangkan Imam Al Gazali.

Dari kerangka berpikir tersebut di atas, sesungguhnya tidak ada alasan untuk mengatakan metode berpikir (manhaj al tafkir) yang dikembangkan di NU itu konservatif karena dari seluruh kerangka pemikiran yang dikembangkan itu adalah peluang untuk dilakukan studi perbandingan (muqaranat al mazahib) antara berbagai pemikiran.

Dalam pandangan NU, nilai absolut itu hanya ada dalam wahyu sementara hasil pemikiran itu akan bisa terus berkembang karena wahyu itu adalah kitab yang sama sekali tidak dapat dicapai secara paripurna oleh akal manusia. Secara ringkas, dapat disimpulkan bahwa jasa besar NU kepada bangsa ini adalah tiga hal, yaitu meneruskan kesinambungan tradisi keilmuan terdahulu, pembentukan kepribadian yang tahan uji, dan kesediaan untuk membuka ruang dialog terhadap perbedaan.

Atas dasar itu, wacana tentang kerukunan, baik internal umat Islam maupun dengan umat lainnya, bukanlah menjadi barang baru di kalangan nahdliyin karena memang kedatangan Islam dari Timur Tengah sampai ke Asia Tenggara telah melalui berbagai proses dialog, baik dengan berbagai agama maupun budaya.

Oleh karena itu, NU tidak pernah mengambil sikap hitam putih terhadap perbedaan budaya.

Bukankah perkembangan pemahaman terhadap ajaran Islam dalam berbagai kontak budaya dan agama, sebagaimana sering disinggung KH A Hasyim Muzadi, telah melalui tiga fase, yaitu fikih ibadah, fikih dakwah, dan fikih siyasah. Dalam hal ibadah tentunya tidak akan ada kompromi karena sudah ditegaskan dalam Alquran.

Oleh karena itu, tidak dimungkinkan merelatifkan kebenaran ajaran Islam sebagaimana yang sering muncul gagasan tentang pluralisme agama.

Prinsip itu sudah cukup indah dalam konstruksi sosial. Atas dasar itu, wacana pluralisme itu adalah dalam tataran sosial, bukan teologi.

Fikih dakwah adalah mengacu pada strategi dakwah yang dikembangkan oleh Rasulullah bersama sahabat-sahabatnya yang selalu berpedoman pada prinsip adaptasi, akomodasi, dan seleksi.

Atas dasar itu, Muktamar ke-32 di Makassar pada dasarnya bukan lagi untuk mencari format organisasi yang dicocokkan dengan seorang figur yang akan dipilih, tetapi adalah merumuskan kebijakan organisasi dan selanjutnya mencari figur yang sesuai dengan prinsip dan kebijakan jam'iyah yang akan mengemudikan NU selama lima tahun ke depan. Wallahu muwaffiq ila aqwamit thariiq.

Wacana Suara Merdeka 6 Februari 2010