06 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Gus Dur Tak Perlu Dibela

Gus Dur Tak Perlu Dibela

GELAR kehormatan sebagai pahlawan nasional, Guru Bangsa dan Bapak Pluralisme, sungguh layak diberikan kepada almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Berbagai dukungan pemberian gelar pahlawan itu terus mengalir dan patut diapresiasi. Tapi persoalan itu sangat disayangkan jika, masalah gelar menenggelamkan cita-cita Gus Dur.

Beliau tidak ingin dibela dan diperdebatkan untuk mendapatkan gelar tersebut.  Menghormati beliau tak harus dengan menempelkan gelar pahlawan. Penulis meminjam pemikiran Beliau, sehingga berani mengungkapkan ‘’Gus Dur tak perlu dibela’’.


Mendengar kalimat itu mungkin Gus Dur akan tersenyum bangga, karena masyarakat sudah memahami falsafah yang pernah diajarkannya ‘’Tuhan dan Nabi tak perlu dibela”. Bisa ditafsirkan bahwa setiap manusia memiliki tanggung jawab membela nilai-nilai kemanusiaan sebagai wujud keberserahdiriannya kepada Tuhan, ini mengandung makna pikiran dan perjuangan.Jadi apalah arti sebuah simbol dan gelar kepahlawanan itu jika bangsa ini tak mengamalkan nilai-nilai dan falsafah yang pernah diajarkan Beliau dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Secara garis besar, ada beberapa gerakan Gus Dur yang harus tetap diperjuangkan. Demokrasi inklusif, pembelaan kaum minoritas, pluralisme, dan multikulturalisme. Gerakan itu diperankannya ketika Beliau tampil sebagai kiai, filsuf, aktivis HAM, budayawan, presiden, atau politikus.

Apapun jabatan yang menempel pada Gus Dur, tetaplah menjadi figur yang sederhana dan sebagai pelindung kaum lemah, minoritas, atau terpinggirkan. Setelah Gus Dur wafat, apakah nilai-nilai itu, gerakan itu, dan perjuangan itu berhenti?

Kecintaan kepada Gus Dur haruslah diterjemahkan menerapkan nilai-nilai yang pernah diajarkan dan diperjuangkan oleh Beliau. Contoh sederhana, keluarga besar santri API Tegalrejo menggelar acara ”Doa untuk Guru Bangsa” memperingati tujuh hari meninggalnya KH Abdurrahman Wahid.

Kiai dan santri membaca Yasin dan Tahlil. Di tempat yang sama, umat tri dharma dari Kelenteng Liong Hok Bio Magelang, melakukan puja bakti doa untuk Gus Dur. Tokoh-tokoh lintas agama dari Kristen, Katolik, dan Buddha hadir turut berdoa. Tanpa disadari, kegiatan itu turut meneruskan perjuangan pluralisme yang pernah diajarkan Gus Dur. Doa lintas agama terasa luwes diselenggarakan di API, karena pendiri (muasis) API almarhum almagfurlah KH Chudlori, memahami perbedaan dan menjunjung tinggi kearifan lokal.

KH Chudlori adalah guru Gus Dur, dan mantan presiden itu pernah nyantri di Tegalrejo. Sang kiai mengajarkan kepada santrinya untuk tetap memahami perbedaan dan menjunjung tinggi kearifan lokal.

Kecintaan Gus Dur kepada sang kiai, warisan pemikiran itu tak bosan-bosannya diceritakan kembali oleh Gus Dur, dalam berbagai kesempatan pengajian, forum seminar, baik di dalam maupun luar negeri. Salah satunya cerita yang dipopulerkan oleh Gus Dur itu adalah ’’Kiai Chudlori dan Gamelan’’.

Singkat kata, ceritanya begini, pada suatu hari datang serombongan warga desa menghadap KH Chudlori. Mereka membawa persoalan, ada dua kelompok yang berseteru di tengah masyarakat. Kelompok pertama setuju menggunakan kas desa untuk membangun masjid, kemudian kelompok kedua setuju membeli gamelan.

Pemersatu

KH Chudlori menyarankan untuk membeli gamelan lebih dulu. Membangun masjid bisa kapan saja, selama umat Islam meyakini Allah, maka masjid akan terbangun. Sementara gamelan berharga murah tidak setiap saat ada. Dan gamelan itu menjadi pemersatu warga dan menjalani kehidupan damai penuh cinta. Dalam hal ini Gus Dur konsisten melihat agama sebagai substansi, tidak terjebak simbol. Selalu tepat dalam penerapan Islam rahmatan lil alamin.

Pandangan dan pemikiran almagfurlah KH Chudlori yang dipopulerkan oleh Gus Dur itu bisa ditafsirkan, bahwa Islam datang ke Jawa tak memaksa masyarakat untuk meninggalkan kearifan lokal. Islam tak memaksa orang berjenggot dan bercadar. Buat apa membangun masjid yang megah, tapi jamaahnya memendam kebencian kepada umat yang beda pandangan dan beda agama.

Gus Dur memegang teguh nilai-nilai itu tak hanya sebatas menceritakan kepada orang lain. Tapi diterapkan dalam perjuangan-perjuangannya dalam gerakan-gerakan pluralisme dan humanisme.

Pandangan dan sikap humanisme Gus Dur yang cukup fenomenal adalah ketika Beliau menjadi Presiden meminta maaf atas nama NU yang telah terlibat dalam pembantaian orang-orang yang dianggap PKI. Kemudian Beliau juga mencabut Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966, yang menyangkut pelarangan PKI serta penyebaran ajaran Marxisme-Leninisme dan komunisme. Kebijakan itu mengundang kontroversi.

Setelah ramai perdebatan soal tersebut, dalam sebuah kesempatan ketika hadir dalam khataman API Tegalrejo, Gus Dur mengatakan tak seharusnya orang bingung meributkan itu semua. Dahulu KH Chudlori melindungi mereka yang dianggap terlibat PKI. Mereka mengungsi di Tegalrejo ikut nyantri. Jadi kebijakan Gus Dur itu tak jauh dari pengalaman yang diajarkan kiainya.

Penulis teringat pesan KH Chudlori, bahwa api itu tak bisa dilawan menggunakan api, tapi dilawan dengan air. Karena jika ikut memusuhi mereka tak akan menyelesaikan masalah dan menjadi dendam turun-temurun.

Keberpihakan kepada kaum minoritas tetap bagian dari perjuangan Gus Dur. Beliau adalah pejuang HAM sejati, Bapak Pluralisme, sudah selayaknya gelar pahlawan nasional itu menempel secara otomatis. Tapi apalah arti sebuah gelar dan simbol, jika nilai-nilai perjuangan Gus Dur tidak ada yang melanjutkan.

Membela Gus Dur tak harus memperjuangkan gelar pahlawan nasional. Mereka yang cinta KH Abdurrahman Wahid, adalah orang yang berani membela dan memperjuang kaum minoritas terpinggirkan.

Jika dikembalikan lagi ke pertanyaan, apakah Gus Dur membutuhkan gelar dan simbol pahlawan? Gus Gur yang penulis kenal adalah tokoh yang tak formal dan bukan penggemar gelar.
Ketika menjadi presiden tak serta merta jaga gengsi mengagungkan pencitraan. Tetap sebagai sosok sederhana dan tak terlepas dari budaya pesantri.

Sarung, peci, dan tradisi pesantren lain melekat di Istana Negara. Dia saat itu memang menjadi simbol negara, tapi tetap dekat dengan rakyatnya. Pintu rumahnya dan istana setiap hari terbuka untuk seluruh lapisan masyarakat. Hampir tak ada batasan antara simbol kenegaraan dan rakyatnya.

Bagi penulis, Gus Dur yang telah membumikan Islam tak hanya di Indonesia tapi seluruh penjuru dunia. Beliau menerjemahkan Islam rahmatan lil alamin yang sesungguhnya tak hanya sekadar teks tapi diterapkan dalam kehidupan dan pemikiran-pemikirannya.

Beliau lama belajar di Irak tapi ketika pulang ke Indonesia tak kehilangan lokalitasnya, karakter santri Jawanya. Pandangan dan pemikirannya tentang Islam yang sampaikan Gus Dur, begitu damai dan rahmat bagi semua umat, tak ada kesan radikal. (10)

— KH Muhammad Yusuf Chudlori, pengasuh Pondok Pesantren API Tegalrejo Magelang
Wacana Suara Merdeka 6 Desember 2010