06 Februari 2010

» Home » Kompas » Ancaman "Reshuffle" dan Pemberhalaan Negara

Ancaman "Reshuffle" dan Pemberhalaan Negara

Gertakan Partai Demokrat mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan evaluasi kabinet tampaknya bukan gertak sambal. Pernyataan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat menjadi pertanda serius mendekatnya ancaman perombakan (reshuffle) kabinet bagi anggota koalisi yang terus mengambil cara-cara kritis dan memojokkan pemerintah dalam isu Bank Century.
Seluruh aroma oposisi dalam tubuh koalisi harus ditekan ke titik nol; jika perlu, melalui ancaman reshuffle. Jika ingin lolos dari daftar nama yang dicoret, kesetiaan kepada kapal koalisi dengan nakhoda SBY-Boediono adalah harga mati yang harus ditaati.

 

Pemberhalaan negara
Kelompok oposisi adalah kelompok yang mengambil peran mirip peran devil’s advocate atau advocatus diaboli. Blok oposisi menempati fungsi yang menggoda, mengganggu, dan terus bersikap kritis kepada pemerintah, tetapi dengan tujuan akhir yang secara ideal diarahkan kepada kemaslahatan bersama.
Pertarungan versi kebenaran antara pemerintah dan oposisi selalu jadi penjumlahan akhir dengan hasil mana yang paling benar dan cocok dengan kepentingan rakyat luas. Oleh sebab itulah, sekalipun kedudukan dan sifatnya sangat diperlukan, devil’s advocate senantiasa dianggap mengganggu dan mengancam.
Namun, dengan meniadakan oposisi, bahaya lain sedang mengancam. Nicos Poulantzas (1970) pernah memperkenalkan istilah statolatry untuk menunjuk keadaan di mana seluruh komponen, faksi, dan kelompok rakyat sedang melakukan ritual ”pemberhalaan negara”. Dalam kondisi kekuasaan yang normal, ambisi untuk memberhalakan diri nyaris selalu ada, tetapi itu bergantung pada sampai seberapa kuat kedudukan kelompok oposisi dalam konstelasi kekuasaan.
Maka, pemberhalaan itu hanya mungkin terjadi manakala negara telah berhasil sepenuh-penuhnya menjinakkan oposisi. Tipikal negara semacam ini sangat khas menggunakan cara-cara otoritarian-fasistik, model yang sangat mirip telah dipraktikkan di Indonesia oleh Orde Baru.
Ancaman terhadap penumpang kapal koalisi karena sikap kritisnya mungkin masih jauh untuk disebut otoriter. Namun, menihilkan kritisisme politik dalam situasi di mana persoalan Century tak kunjung terang adalah tanda-tanda dari pemerintah untuk melakukan salah satu fase saja untuk menuju pada situasi statolatry. Ada kecenderungan untuk menjinakkan suara-suara nyaring dan mengancam agar kembali patuh kepada arah komitmen politik yang telah diteken. Dengan mematuhi komitmen itulah, statolatry tetap dapat dijamin, pemberhalaan negara tetap dapat dijaga keberlangsungannya.
Sebab itulah, begitu istilah pemakzulan memenuhi telinga publik, penguasa demikian gusarnya. Pemakzulan atau impeachment tidak lain adalah sinonim dari anti-statolatry yang memunculkan destabilitas di kalangan elite politik secara umum dan lingkaran penguasa secara khusus. Tentu saja isu pemakzulan harus ditebang demi kontinuitas kekuasaan, sekalipun untuk memastikannya harus diundang seluruh pimpinan lembaga tinggi negara guna mendiskusikan apa dan bagaimana pemakzulan itu dapat terjadi.
Logika dan langkah pemerintah belakangan ini yang sangat reaktif terhadap seluruh sikap kritis atas dirinya semakin tampak tatkala demonstrasi yang ”baik dan benar” dimasukkan dalam pokok bahasan evaluasi kebijakan seratus hari di Istana Cipanas.
”Statolatry” dua zaman
Dapatlah ditimbang betapa gundahnya Presiden terhadap pelbagai gerakan sosial ataupun gerakan politik yang memojokkan dirinya. Bagus Takwin dalam koran ini (Kompas, 05/02/10) telah mengkajinya dengan pendekatan psikologis terhadap apa yang hari-hari ini mengendap dan berkecamuk dalam diri personalitas Presiden.
Akan tetapi, justru inilah perbedaan ciri antara statolatry di era Orde Baru dengan pasca-Reformasi.
Pada era Orba, pemberhalaan kepada negara dikerucutkan sampai kepada Soeharto sebagai simbol dari negara itu sendiri. Oleh sebab itu, bukan saja kesempurnaan negara yang ditonjolkan dengan ciri yang selalu mengedepankan keamanan dan stabilitas nasional, tetapi juga kesempurnaan dalam diri Presiden Soeharto yang memerlukan lampu sorot agar terus dilihat sebagai berhala.
Kesempurnaan dan kharisma Soeharto harus terus-menerus dipancarkan, tanpa sekalipun melakukan keluhan atau mengumbar ”curahan hati” kepada rakyat. Dengan performa yang telah dipoles agar tampak paripurna itulah pemberhalaan kepada negara dapat juga diarahkan kepada dirinya sendiri.
Berbeda dengan Orde Baru dan Soeharto; SBY yang oleh ahli komunikasi politik dipandang terlampau rajin mengumbar keluhan justru menampakkan ketidaksiapannya dalam mewujudkan statolatry total kepada dirinya sendiri. Performa politiknya yang belakangan ini dipersoalkan telah menurunkan kepercayaan dirinya sehingga daftar keluhannya lebih berarti inferioritas di mata publik.
Maka, dengan gagalnya pemerintah mempertahankan performa dan kesempurnaannya di mata rakyat, jalan ancam-mengancam untuk menarik kembali jatah ”kue koalisi” adalah logika yang paling mungkin diambil untuk tetap mempertahankan statolatry.
Apabila evaluasi kabinet betul-betul menghasilkan reshuffle, kian terang-benderang pula ketakutan pemerintah terhadap peningkatan pembangkangan politik (political disobedience) dan melemahnya kharisma pemerintah agar pantas diberhalakan. Dalam beberapa hari ke depan, akan terlihat apakah keputusan politik reshuffle memang diambil sebagai jalan pintas untuk menegakkan kembali cita-cita menjadikan negara sebagai obyek pemberhalaan, ataukah keputusan lain yang lebih elegan dan menerima cara-cara baru dalam membina iklim demokrasi yang baik.
Rendy Pahrun Wadipalapa
Staf Peneliti pada
Lingkar Studi Media dan Budaya Surabaya
Opini Kompas 6 Februari 2010