06 Februari 2010

» Home » Kompas » Etika Demonstrasi

Etika Demonstrasi

Apakah ada etika berdemonstrasi? Persoalan tindakan etis telah dipersoalkan oleh Aristoteles (384-322 SM) yang menempatkan ”etis” sama dengan ”politis” dan ”praktis”. Menurut Aristoteles, manusia bertindak etis melalui segala tindakan dalam rangka kesosialannya, terutama berpartisipasi dalam pemajuan negara kota (polis). Aristoteles melihat bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara etika dan politik.
Apa bedanya membawa kerbau dalam demonstrasi yang ditulisi kata-kata celaan terhadap pribadi seorang presiden dengan mengucapkan kata-kata kasar dalam rapat Pansus DPR soal Bank Century di Senayan? Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum hanya berhenti pada ranah prosedur berdemonstrasi dan tidak berkutik menjawab soal batas etis berdemonstrasi.

 

Dekriminalisasi pasal-pasal haatzaai artikelen dalam KUHP sebagai konsekuensi dari watak inheren yang melekat pada aturan itu yang memerkosa hak-hak dasar manusia telah membuka ruang bagi persoalan batas etis dalam berdemonstrasi dan berdemokrasi.
Jika Senayan ditampilkan sebagai representasi kegagalan membangun etika berdemokrasi, mengajak kerbau bertuliskan celaan terhadap pribadi seorang penguasa berdemonstrasi perlu ditelisik dari sudut analisis motif (motive) dan penyebab (cause).
Manusia adalah makhluk berasio dan akibatnya ia akan berucap dan bertindak menurut motif-motif. Dari hal itu seharusnya dilakukan perenungan (theoria) untuk mengetahui motif dan kemudian berefleksi. Tidaklah pada tempatnya membangun ontologi citra di atas penderitaan kerbau yang dipanggang di panas terik Ibu Kota oleh sang demonstran. Kerbau adalah pesan moral untuk merenungkan jarak antara etika dan politik yang terkesan kian menjauh akibat perilaku elite yang lebih suka memikirkan kenaikan gaji jabatan dan political cost demi sebuah citra.
Ontologi citraan
Cristopher Lasch dalam bukunya, The Minimal Self, membicarakan mengenai patologis eksistensial di dalam masyarakat konsumer kapitalistik yang didominasi oleh ontologi citraan tersebut, yang di dalamnya wacana sosial harian yang dikonstruksi berdasarkan model produksi massa dan konsumsi massa kapitalistik telah mengarahkan perhatian massa yang luas pada kesan dan citra-citra dangkal.
Hal itu menggiring pada sebuah situasi yang di dalamnya diri (self) tidak dapat dibedakan dari kulit permukaannya. Penampakan dangkal dan banal kini telah dijadikan model diri dalam kaitannya dengan relasi eksistensial yang lebih luas. Dunia yang dijajah oleh citra telah mensubordinasikan ekonomi, politik, hukum, sosial, dan budaya di bawah ontologi citra. Menemukan etika berdemonstrasi harus ditelusuri dari kesadaran sosial yang memiliki determinasi kuat terhadap keteladanan elite.
Etos disifatkan sebagai characteristic spirit of community, people or system, suasa khas yang menandai suatu kelompok, bangsa atau sistem. Bantuan akal budi sangat penting untuk menemukan kode etik berdemonstrasi dan berdemokrasi. Akal budi adalah kemampuan mengatasi medan pancaindra yang merupakan medan alam. Ontologi citraan yang berada di ranah praksis-empiris dapat mengganggu kerja akal budi karena akal budi adalah murni jika ia bekerja tanpa intervensi unsur- unsur praksis-empiris. Menemukan batas etis berdemonstrasi dan berdemokrasi harus dikonstruksi oleh kesadaran akal budi untuk mewujudkan bonnum commune.
Determinasi tindakan terhadap motif harus dimurnikan untuk mencari pesan moral sebuah fenomena. Dari sini, sang penguasa akan menemukan pengertian melalui perenungan (theoria) untuk kemudian bertindak sesuai dengan suara hati agar tidak terjadi defisit dalam rasionalitas.
W RIAWAN TJANDRA Direktur Pascasarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta 
Opini Kompas 6 Februari 2010