12 Januari 2010

» Home » Republika » Outlook Ekonomi 2010

Outlook Ekonomi 2010

Oleh  Achmad Deni Daruri
President Director Center for
Banking Crisis


Arah pereko-nomian Indonesia ditentukan oleh dua hal pada tahun 2010 ini, yaitu tingkat produktivitas relatif dan sejauhmana Fed tetap mempertahankan fasilitas TARP. Tingkat produktivitas relatif antarbangsa ditentukan oleh produktivitas faktor produksi antarnegara yang memiliki hubungan mobilitas produksi dan keuangan.

Dalam kasus Indonesia, perekonomian Indonesia sangat ditentukan oleh liberalisasi parsial khususnya dengan dibukanya perdagangan bebas antara ASEAN dan Cina. Dengan dibukanya perdagangan bebas ASEAN dengan Cina pada tahun 2010, konstelasi produktivitas relatif akan mengalami shifting apalagi perekonomian dunia tampaknya belum mengalami perubahan konjungturnya.

Dalam kondisi seperti ini, strategi big push ala Rosenstein Rodan justru akan menyebabkan defisit pembayaran akut. Dengan tidak berubahnya konjungtur perekonomian dunia, sejauhmana Fed dan ECB mampu bermain dengan tingkat suku bunga rendah masih patut dipertanyakan.

Dengan demikian, outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia yang optimis untuk tahun 2010 adalah sebesar 4,6 persen dengan tingkat inflasi sembilan persen. Tingkat inflasi akan berada pada level sekitar 7,5 persen jika neraca pembayaran tetap mengalami surplus dengan dibukanya perdagangan bebas dengan Cina.

Namun demikian, jika neraca pembayaran mengalami defisit, inflasi akan membumbung hingga sembilan persen. Sementara itu, pengangguran akan mengalami tekanan yang cukup tinggi karena diperkirakan akan terjadi pengangguran terbuka hingga tambahan 10 juta penganggur, jika dibukanya perdagangan bebas dengan Cina. Di antara negara ASEAN adalah Indonesia yang paling dirugikan dengan dibukanya perdagangan bebas antara ASEAN dan Cina.

Selama ini, Indonesia mengandalkan sektor non tradable untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 4,3 persen. Sektor tradable tersebut didukung semata-mata oleh pertumbuhan konsumsi masyarakat. Perdagangan bebas menyebabkan lingkages dalam perekonomian nasional karena persamaan produk antara Cina dan Indonesia. Pertumbuhan ekonomi sebesar 4,6 persen di tahun 2010 akan sulit dicapai jika overheating dalam perekonomian ternyata sangat parah karena bottleneck condition. Perlu diingat bahwa pada masa lima tahun yang lalu dalam pemerintahan SBY dan JK telah gagal dalam membangun infrastruktur.

''Infratructure Summit'' hanya menjadi jargon yang terbukti gagal diimplementasikan. Saat ini, pemerintah juga membuat jargon yang sama, yaitu ''Road Map Summit'', namun seperti pada Summit yang lalu tidak memiliki kapasitas perencanaan yang mumpuni. ''Road Map Summit'' yang lalu tidak memasukkan unsur kebijakan moneter dan kebijakan produktivitas nasional dalam mendukung pembangunan infrastruktur sehingga model makroekonomi yang tercipta bersifat parsial. Rendahnya kontribusi sektor tradable tersebut, untuk jelasnya, menyebabkan penurunan rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi pada periode 2000-2009. Pada periode itu, rata-rata pertumbuhan sebesar lima persen atau turun jika dibandingkan periode 1990-1996, yang rata-rata pertumbuhannya sebesar tujuh persen.

Jika pemerintah Indonesia mampu membangun sektor infrastruktur di dalam negeri secara tepat sasaran, sektor pertanian akan kembali memiliki pertumbuhan positif pada tahun 2015. Namun demikian, sektor manufaktur tidak akan mampu mengikuti perbaikan seperti itu.

Sektor manufaktur memerlukan tambahan dukungan selain infrastruktur, yaitu bantuan kredit atau keuangan yang bersifat cepat dengan biaya bunga yang murah. Juga, pemerintah harus mengarahkan insentif kepada sector tradables di dalam negeri dengan mengurangi insentif kepada sector non tradables.

Untuk menjaga koridor positif bagi productivity swing, pemerintah harus menjaga stabilitas di pasar keuangan melalui penciptaan mekanisme deposit insurance yang efisien.

Tanpa dilakukannya langkah seperti ini, kasus Bank Century berpotensi akan terjadi lagi mengingat volatilitas perekonomian dunia masih akan tetap tinggi pada tahun 2010.

Namun, hal tersebut juga sangat tergantung kepada konstelasi moneter dunia. Jika Amerika Serikat dan Uni Eropa mampu mempertahankan pertumbuhan kredit pada tasing 50 persen (TARP), derajat kebebasan bagi perencanaan ekonomi nasional untuk menciptakan productivity swing akan semakin membesar karena Indonesia akan menjadi selang bagi produk-produk Cina menuju pasaran Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Konsekuensinya, pertumbuhan loan sindikasi perbankan menjadi terancam sehingga pertumbuhan kredit perbankan pada 2010 hanya berorientasi kepada kredit konsumsi. Apalagi, jika Bank Indonesia terus berupaya membuat tingkat suku bunga menjadi murah.

Ini justru akan membuat perekonomian Indonesia bertambah cepat kehancurannya karena kredit konsumsi akan meningkat untuk membeli produk-produk dari Cina.

Dengan demikian, pertumbuhan kredit pada tahun 2010 diperkirakan hanya mencapai 5,5 persen karena jika mencapai 17 persen seperti yang diinginkan oleh Bank Indonesia, instabilitas pada perekonomian nasional akan membengkak kembali. Perlu diingat bahwa kasus Dubai World belum dapat dianggap selesai sehingga CAR perbankan tahun 2010 diperkirakan akan berada pada tingkat 10 persen saja.

Dengan demikian, NPL diperkirakan akan mencapai delapan persen pada 2010 karena akan banyak usaha mengalami kesulitan operasional, dalam bersaing dengan produk impor dari Cina.

Opini Republika 12 Januari 2010