12 Januari 2010

» Home » Solo Pos » Antisipasi dampak FTA ASEAN-China

Antisipasi dampak FTA ASEAN-China

Mulai 1 Januari 2010, Indonesia memasuki babak baru dalam perdagangan internasional yaitu diberlakukannya perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement) dengan RRC atau China. Hal ini ditentang para pelaku industri nasional yang khawatir industri lokal akan mati menghadapi pesaing dari Negeri Tirai Bambu itu.

Kebangkitan perekonomian China rupanya mulai menyebabkan ketakutan berbagai negara di dunia. Hal ini karena sebagai sebuah kekuatan ekonomi, China mempunyai segalanya untuk bersaing di pasar global.
Sebuah industri yang kuat harus mempunyai dukungan sektor primer untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya, sumber daya manusia yang berkualitas dan dalam jumlah banyak juga diperlukan dan terakhir untuk menjadi sebuah industri yang kuat perlu dukungan teknologi. China mempunyai tiga aspek tersebut.

Dukungan sektor pertanian dan sektor primer lainnya serta sumber energi sudah dimiliki negeri ini sejak lama. Sumber daya manusia China berkualitas, mempunyai etos kerja tinggi sekaligus jumlahnya banyak. Terlepas dari beberapa masalah ketidakadilan dan angka pengangguran yang mulai meningkat, SDM China mampu mendukung proses industrialisasi di negeri mereka. Teknologi RRC dalam beberapa bidang ternyata lebih maju dari perkiraan negara maju. Kemampuan mereka mengirim astronot ke luar angkasa dan kemampuan membuat pesawat tempur menunjukkan hal itu.
Indonesia adalah negara yang juga merasakan dampak langsung dari perkembangan produk China. Kita merasakan dampak positif dan negatifnya secara bersamaan. Dampak negatifnya terasa pada saat serbuan produk tekstil China mematikan industri dalam negeri. Dampak positifnya adalah konsumen Indonesia berkesempatan menggunakan produk berkualitas dengan harga relatif terjangkau.

Peluang Indonesia
Para pelaku bisnis pasti memahami bahwa dalam dunia bisnis selalu ada peluang dalam kondisi seburuk apapun. Contohnya pada waktu negeri ini dilanda krisis ekonomi, ternyata ada banyak pengusaha yang berorientasi ekspor, misalnya pengusaha mebel dan kerajinan serta eksportir kelapa sawit, yang meraup keuntungan besar karena nilai rupiah yang merosot. Maka dalam menghadapi maraknya produk China, masih banyak peluang asalkan pengusaha Indonesia melakukan analisa industri untuk memilih strategi bisnis yang tepat.
Porter (1985) mengemukakan tentang perlunya melakukan analisis persaingan dalam industri. Hal ini bisa memberikan informasi penting bagi perusahaan untuk menentukan posisi dan kekuatannya dalam menghadapi persaingan dalam sebuah industri. Analisis ini disebut dengan The Five Competitive Forces of Industry (FCFI). Dalam analisa ini kekuatan kompetisi dari sebuah industri terdiri dari lima faktor yaitu persaingan dari industri tersebut, kekuatan pemasok, kekuatan pembeli, kekuatan barang substitusi dan kekuatan pemain baru.
Berdasarkan kerangka  ini kita bisa melakukan analisa persaingan industri Indonesia dengan China dan bagaimana menemukan kelemahan-kelemahan industri China untuk kita manfaatkan sebagai peluang bisnis. Analisa pertama adalah persaingan dalam industri. Dalam hal ini, Indonesia kalah karena China sedang mengalami sebuah kondisi skala ekonomis, yaitu kapasitas produksi penuh dengan permintaan tinggi sehinga mengakibatkan harga produknya menjadi murah.
Sebagai contoh, produk tekstil China yang masuk Indonesia sebenarnya adalah produk sisa ekspor, yaitu sisa produk yang dipasarkan di berbagai negara, sehingga harganya jauh lebih murah. Dukungan dari pemerintah dari sisi kebijakan moneter juga sangat kuat. China adalah negara dengan devisa terbesar di dunia, yaitu US$ 200 miliar, sehingga mereka mampu mempertahankan nilai tukar remimbi pada tingkat yang menguntungkan eksportir. Kondisi ini tidak terjadi di Indonesia.
Analisa kedua, adalah kekuatan pemasok. Berdasarkan analisa ini Indonesia bisa mengambil keuntungan dari kebangkitan ekonomi China. Industrialisasi di China memerlukan pasokan energi yang luar biasa. Dalam hal ini Indonesia bisa menjadi pemasok energi dengan potensi batubara dan gas Indonesia. Selain itu, jika pengusaha Indonesia mampu mengembangkan energi alternatif, maka peluang untuk menjadikan China sebagai konsumen utama sangat terbuka.
Analisa ketiga, adalah kekuatan pembeli. Dalam hal ini perusahaan Indonesia bisa mengambil keuntungan sebagai pembeli, yaitu dengan mengembangkan jaringan ritel atau penjualan eceran dari produk-produk China. Kelemahannya, industri ritel mempunyai nilai tambah ekonomi rendah. Faktor kekuatan pembeli yang bisa dimanfaatkan juga adalah kesepakatan untuk melakukan transfer teknologi. Pelaku bisnis bisa memaksa produsen China agar mereka memproduksi di Indonesia sehingga transfer teknologi bisa dilakukan.
Analisa keempat, kekuatan produk substitusi. Dalam analisa ini Indonesia belum mampu masuk dalam persaingan, karena China sedang mengalami fase skala ekonomis sehingga target produk yang lebih murah sulit dicapai. Analisa kelima, kekuatan pemain baru. Dalam analisis ini juga Indonesia sulit bersaing karena kondisi riil industri dalam negeri belum mampu menjadi pemain baru yang mampu bersaing dengan China.

Riset dan Pengembangan
China mampu menjadi penguasa baru dalam industri dunia tidak dalam semalam. Para pelaku industri di negeri itu bekerja keras untuk mencapainya, tidak ada usaha instan untuk menjadi pemain utama dalam bisnis. Hal yang sama juga dilakukan oleh India yang saat ini menjadi pemain utama dalam industri teknologi informasi di dunia. Kesuksesan kedua negara tersebut adalah mereka melakukan proses riset dan pengembangan dalam proses industri mereka. Berbagai riset empirik menyatakan bahwa keunggulan kompetitif bisa dicapai sebuah industri dengan memperkuat riset dan pengembangan mereka (Moitra, 2004).
Riset dan pengembangan adalah titik kelemahan industri di Indonesia. Para pelaku bisnis Indonesia biasanya memilih jalan instan dengan sekedar menjadi penjual produk impor dan tidak mau bersusah-susah melakukan riset dan pengembangan sebuah produk. China dan India sudah membuktikan keunggulan industri mereka dengan riset dan pengembangan, kapan pengusah Indonesia berani melakukan itu? - Oleh : Anton A Setyawan, Dosen FE dan Pascasarjana UMS
Opini Solo Pos 13 Januari 2010