12 Januari 2010

» Home » Media Indonesia » AC-FTA dan Kesiapan Kita

AC-FTA dan Kesiapan Kita

Di tengah keraguan publik terhadap efek perdagangan bebas, pemerintah bersikukuh mengimplementasikan ASEAN-China Free Trade Agreement (AC-FTA). Proses panjang pengesahan yang terentang sejak 2001 diberlakukan pada 1 Januari 2010. Tak ada hiruk-pikuk perayaan atas pemberlakuan itu, selain kecemasan yang terus mengusik para pelaku dan asosiasi yang bergelut di bidang industri dan usaha kecil dan menengah.

Pemerintah cenderung menutup mata atas berbagai persoalan yang belum sepenuhnya terselesaikan. Persoalan internal terkait dengan kesiapan kualitas, daya saing, dukungan infrastruktur dan kemudahan pemasaran berbanding lurus dengan hambatan-hambatan eksternal. Liberalisasi pasar telanjur menjadi ideologi yang diserap secara bulat, tanpa menyisihkan filter sedikit pun. Pertumbuhan ekonomi 2009 yang mencapai 4,3% bersumber dari konsumsi domestik akan berhadapan dengan serbuan barang baku China yang lebih murah.


Resistensi

Tidak sulit untuk menakar sejauh mana manfaat sebuah kebijakan. Resistensi para pelaku UKM yang diwakili oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan lembaga parlemen adalah bukti betapa pemerintah mengabaikan daya kritis publik. Serangkaian dialog yang mengurai kesiapan dalam negeri belum juga usai. Sementara data-data publik tentang selisih untung-rugi keterlibatan Indonesia dalam AC-FTA terabaikan oleh prediksi, skenario sekaligus harapan yang tak berdasar. Pendeknya, bangsa ini akan lebih memosisikan diri sebagai objek (konsumen) daripada subjek (produsen).

Hal inilah yang tergambar dalam sikap pemerintah merespons pemberlakuan AC-FTA. Proses negosiasi yang diajukan kepada negara-negara ASEAN dan China pada bulan ini menunjukkan sikap yang reaktif. Mitigasi risiko perdagangan bebas dengan mengajukan penundaan industri besi dan baja (189 pos tarif), tekstil dan produk tekstil (87 pos tarif), kimia anorganik (7 pos tarif), elektronik (7 pos tarif), furnitur (5 pos tarif), alas kaki (5 pos tarif), petrokimia (2 pos tarif), serta industri makanan dan minuman (1 pos tarif), adalah dampak dari ketergesa-gesaan.

Payung hukum

Indonesia telah menjadi pasar terkemuka yang menjanjikan segudang harapan. Negara-negara ASEAN dan China tentu tidak pernah menutup mata atas kesempatan yang tercipta di hadapan mereka. Tidak ada pilihan lain kecuali memasuki alam perdagangan bebas dengan segala risiko dan konsekuensinya. Kemungkinan penurunan penerimaan negara dari bea masuk yang tak terelakkan menjadi tanggung jawab bersama seluruh pengambil kebijakan, pihak yang berkepentingan dan rakyat Indonesia secara keseluruhan.

Keraguan publik hanya dijawab dengan retorika dan janji manis pemerintah. Awal 2010 menjadi momen peraduan antara optimisme dan pesimisme. Optimisme bagi pihak yang diuntungkan, dan pesimisme bagi pihak yang sejak awal merasa terugikan. Ukuran keduanya tidaklah sebatas dampak psikologis, apalagi sekadar mengulang nyanyian lama tentang dampak sistemik. Jika ungkapan itu hendak dipakai kembali, keterlibatan AC-FTA inilah yang bisa menimbulkan dampak sistemik.

Gagasan tentang liberalisasi perdagangan bukan gagasan haram. Sikap responsif dengan ukuran kesiapan menjadi taruhan saat kebijakan tersebut hendak direalisasikan. Sebuah perjanjian kerja sama mengandung prinsip memberi dan menerima. Pihak yang menginginkan konsesi atau keuntungan harus memberikan penawaran yang sama.

Setiap hitungan untung-rugi yang diberi dan diperoleh harus dijelaskan dengan ukuran tertentu. Payung hukum berupa undang-undang sangat perlu dijabarkan dan ditetapkan terlebih dahulu untuk memproteksi berbagai kemungkinan yang terjadi, baik berupa kesuksesan maupun kegagalan. Oleh karena itu, hanya bersandar pada asumsi dan prediksi, tidak akan pernah menjelaskan persoalan dengan baik. Pada titik tertentu rakyatlah yang akan menanggung akibat dari sebuah kebijakan yang dipaksakan.

Berbagai perjanjian dan kerja sama perdagangan harus melalui mekanisme yang transparan dan bisa dipertanggungjawabkan di hadapan publik. Sebab manfaat dan kerugian tidak hanya menimpa segelintir orang, tapi seluruh komponen bangsa. Meski bukan lagi tindakan perventif, saat ini pemerintah harus lebih siap bereaksi atas berbagai dampak yang akan ditimbulkan oleh AC-FTA.

Pertama, ancaman terhadap pemutusan kerja massal harus diantisipasi dengan peningkatan kapasitas dan kemampuan tenaga kerja dalam negeri. Tidak hanya itu, diperlukan sikap afirmatif (affirmative action), di mana tenaga kerja dalam negeri memperoleh porsi lebih besar dan lebih dipentingkan dalam setiap pembukaan lahan kerja.

Kedua, kualitas produk nasional yang sebelumnya telah tergerus oleh produk-produk China harus memperoleh proteksi. Hal ini secara tidak langsung juga akan melindungi eksistensi industri dalam negeri. Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi setiap produk dalam negeri maupun impor yang beredar di pasaran harus diterapkan dengan pengawasan yang ketat. Penerapan SNI akan mencegah peredaran barang murah namun berkualitas rendah.

Bukan rahasia lagi, produk impor yang dipastikan akan lebih membanjiri pasar dalam negeri menjadi malapetaka bagi para pelaku usaha. Penerapan safeguard berupa instrumen pengenaan bea masuk tambahan yang ditetapkan jika pasar dalam negeri dibanjiri produk impor sehingga industri dalam negeri mengalami kerugian, harus direalisasikan lebih cepat. Instrumen ini juga mencegah penyelundupan yang bisa terjadi akibat pengawasan yang lemah. Safeguard adalah salah satu instrumen penting dari 5 (lima) instrumen lainnya (SNI, anti dumping, anti subsidi dan technical barriers to trade).

Ketiga, instrumen antisipasi yang tak kalah penting—meski seharusnya lebih didahulukan--adalah penyusunan aturan hukum yang bisa melindungi produksi nasional Indonesia. Mengingat dampak sistemik yang akan ditimbulkan oleh perjanjian ini, sepatutnya terlebih dahulu melalui berbagai arena konsultasi di ranah publik. Sebagai lembaga pengawasan, FTA tidak boleh luput dari perhatian DPR. Lembaga inilah yang akan meratifikasi perjanjian itu dan menyerahkannya kepada pemerintah. Jika perjanjian tersebut mengancam perekonomian, maka sangat memungkinkan untuk diuji, direvisi, bahkan dicabut.

Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar dan wilayah terluas di ASEAN, seharusnya Indonesia menjadi leader dalam setiap perjanjian kerjasama. Berperan sebagai subjek yang aktif, menentukan isi dan aturan main serta menyiapkan instrumen yang lebih baik dalam menyikapi berbagai kemungkinan dan ancaman dari pemberlakuan AC-FTA.

Globalisasi telah menghadirkan ancaman yang tidak semata berwajah fisik. Pemiskinan kedaulatan sangat nyata dalam serbuan produk, barang dan jasa impor yang lambat-laun melemahkan kekuatan ekonomi bangsa. Mungkin terlalu jauh berangan jika dampak sistemik berujung pada krisis. Paling tidak, tanpa antisipasi, jati diri ekonomi bangsa di masa mendatang akan semakin sulit kita definisikan.

Oleh Mukhamad Misbakhun Anggota Komisi VI DPR RI
Opini Media Indonesia 13 Januari 2010