12 Januari 2010

» Home » Kompas » Gus Dur dan Rekonsiliasi Bangsa

Gus Dur dan Rekonsiliasi Bangsa

Setelah meninggal pun, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ternyata masih memicu pro-kontra. Kini, berbagai kalangan harus ”repot” mendiskusikan apakah Gus Dur layak mendapat gelar pahlawan nasional karena berbagai jasa, pengabdian, dan pemikirannya, atau sebaliknya, tidak layak karena kesalahan di masa lalu, terutama yang berkaitan dengan pemberhentiannya sebagai presiden.
Dari sisi jasa, tidak ada satu pun kalangan yang membantah bahwa Gus Dur layak menjadi pahlawan nasional. Hanya saja ada sedikit ”ganjalan”, yaitu adanya Ketetapan (TAP) MPR Nomor II/MPR/2001 yang memberhentikan Gus Dur sebagai presiden.


TAP MPR No II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden RI KH Abdurrahman Wahid, sesuai dengan TAP MPR No I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPR Tahun 1960 sampai Tahun 2002, masuk dalam kategori TAP MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan.
Jadi kurang relevan
Permintaan sebagian kalangan untuk mencabut TAP MPR tentang pemberhentian itu menjadi kurang relevan karena dengan sendirinya TAP MPR itu sekarang tidak bermakna apa-apa lagi secara hukum dan politik. Tap MPR yang telah masuk dalam kategori tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, dengan sendirinya tidak bisa digunakan sebagai alat untuk menghambat Gus Dur dalam meraih gelar pahlawan nasional.
Dari sisi perundang-undangan, tidak ada satu pasal pun dalam UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang bisa menghalangi Gus Dur menjadi pahlawan. Ada yang berpendapat bahwa Gus Dur tidak memenuhi syarat umum seorang pahlawan sebagaimana yang tertera dalam Pasal 25 huruf (e) UU tersebut karena ia dinilai tidak setia dan mengkhianati bangsa dan negara, dan karena itu diberhentikan sebagai presiden.
TAP MPR No II/MPR/2001 itu memberhentikan Gus Dur sebagai presiden karena yang bersangkutan tidak hadir dalam Sidang Istimewa MPR untuk menyampaikan pertanggungjawaban serta karena kebijakannya mengeluarkan Maklumat Presiden, 23 Juli 2001, yang antara lain berisi pembekuan MPR dan DPR. Jadi, dalam TAP MPR itu tidak ada pernyataan bahwa Gus Dur mengkhianati bangsa dan negara.
Pengertian dari ”setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara” menurut penjelasan UU No 20/2009 adalah ”konsisten memperjuangkan dan membela kepentingan bangsa dan negara”. Gus Dur telah membuktikan konsistensinya dalam memperjuangkan agar bangsa dan negara Indonesia menjadi demokratis, menjunjung tinggi HAM, dan lain sebagainya. Ringkasnya, ketentuan Pasal 25 huruf (e) dan ketentuan lainnya dalam UU No 20/2009 tidak dapat menghalangi Gus Dur dalam memperoleh gelar pahlawan nasional.
Kita mempunyai preseden baik bagaimana bangsa ini pada akhirnya memperlakukan mantan Perdana Menteri M Natsir yang pernah dipenjara dari tahun 1961 hingga 1966 karena sikap kritisnya terhadap Demokrasi Terpimpin dan tidak meminta maaf atas keterlibatannya dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Presiden Soekarno memenjarakan M Natsir tanpa proses peradilan dengan menggunakan UU No 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
Kalau M Natsir saja yang pernah dipenjara karena sikap politiknya sudah menjadi pahlawan nasional sejak 7 November 2008, maka Gus Dur pun layak menjadi pahlawan nasional karena Gus Dur diberhentikan sebagai presiden oleh MPR karena sikap politiknya.
Setelah mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional, sikap politik M Natsir yang dianggap ”salah” atau minimal diperdebatkan antara salah dan benar seperti keterlibatannya dalam gerakan PRRI, dengan sendirinya telah direhabilitasi, sehingga pePerintah sekarang tidak perlu lagi mengeluarkan keputusan resmi untuk menganulir keputusan Presiden Soekarno yang memenjarakan M Natsir.
Hal yang sama juga berlaku bagi Gus Dur. Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Gus Dur secara langsung atau tidak langsung merupakan pernyataan kenegaraan bahwa nama baik Gus Dur telah dipulihkan dan jasa-jasanya terhadap bangsa dan negara telah mendapatkan tempat yang sangat mulia. Dengan begitu, setelah Pemerintah memberikan gelar nasional kepada Gus Dur, perdebatan mengenai pemulihan nama baik Gus Dur menjadi tidak diperlukan lagi.
Tentang Soeharto
Bagaimana jika pendukung tokoh lain, seperti mantan Presiden Soeharto, yang minta agar Presiden ke-2 RI ini diperlakukan sama seperti M Natsir dan Gus Dur, apalagi sampai sekarang tak ada satu pun keputusan lembaga negara yang menyatakan bahwa dia bersalah? Mantan Presiden Soeharto tidak pernah dipenjara seperti M Natsir sebagaimana juga tidak pernah diberhentikan sebagai presiden oleh MPR seperti Gus Dur. Jadi, kabulkan saja permohonan agar Bapak Pembangunan itu dikukuhkan sebagai pahlawan nasional.
Jika kita ingin melakukan rekonsiliasi terhadap persoalan masa lalu, semua tokoh yang telah meninggal dunia dan telah membuktikan jasa-jasa serta sumbangsihnya kepada bangsa dan negara layak untuk mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional. Negara perlu mengapresiasi tokoh-tokoh nasional di era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi yang telah benar-benar berjasa bagi negeri ini tanpa harus disibukkan dengan persoalan khilaf yang sempat mereka lakukan. Terhadap tokoh-tokoh yang telah meninggal itu, kita cukup mengingat jasa-jasanya sebagai sumber inspirasi ke depan, lalu mengambil hikmah dari kesalahan-kesalahannya agar tidak terulang kembali di masa mendatang.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu memanfaatkan momentum pemberian gelar pahlawan nasional sebagai upaya rekonsiliasi bangsa. Dengan demikian, pada era ini lembaran sejarah kelam masa lalu segera dibalik agar kita dapat membuka lembaran baru dan mengisinya dengan catatan-catatan perjuangan di bidang kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan, lingkungan hidup, dan seterusnya.
Semoga sebagai bangsa kita mau dan mampu berjiwa besar mengubur dalam-dalam dendam sejarah masa lalu agar tak terwa- riskan ke generasi mendatang.
Lukman H Saifuddin Wakil Ketua MPR Periode 2009-2014; Pandangan Ini Bersifat Pribadi dan Tidak Mewakili MPR
Opini Kompas 13 Januari 2010