12 Januari 2010

» Home » Kompas » Di Penjara, Sakit Pun Mewah

Di Penjara, Sakit Pun Mewah

Arthalyta Suryani terancam dipindah ke Nusakambangan. Benarkah? Entahlah. Kalaupun berita itu dilaksanakan, tak usah khawatir. Selama masih di Indonesia dan bukan di Guantanamo, penjara bukan menjadi penjera.
Di Nusakambangan juga ada peninggalan Tommy Soeharto atau Bob Hasan, yang kamarnya juga sudah apik. Tinggal menambah aksesori, termasuk ruangan untuk perawatan payudara, misalnya, atau penambahan helipad. Lebih aman karena jauh dari Jakarta dan rencana sidak ke sana biasanya bocor duluan. Bisa dipastikan, pesan tempat dapat dilakukan jauh sebelumnya.



Perpindahan napi, yang dalam bahasa bui disebut ”berlayar”, adalah peristiwa biasa, tetapi juga bernilai ekonomi. Ayin, yang sudah jelas status hukumnya, harusnya ”dilayarkan” ke penjara wanita di Tangerang atau Malang. Bahwa bisa bertahan, atau dipertahankan, tetap di rutan, pasti ada manfaatnya. Misalnya, alasan klasik, ia banyak membantu napi lain. Alasan yang sudah ada jauh sebelumnya.
Urusan ”pelayaran” inilah sebenarnya salah satu sebab adanya over capacity karena semua napi atau orang tahanan berjubel di tempat yang jelas bagaimana bertransaksi. Sebagaimana keberadaan Ayin di ruang bimbingan kerja atau ruang di rumah sakit. Dua tempat itu yang paling ideal bagi yang ”berdasi”—istilah bagi napi berduit—untuk beraktivitas meskipun selalu ada kamar biasa untuk jaga-jaga kalau ada kunjungan mendadak seperti yang dilakukan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Peradilan.
Remisi
Kasus fasilitas mewah, sama salahnya dengan, misalnya, bagaimana mendapatkan remisi—setiap 17 Agustus atau hari besar keagamaan—atau juga tambahan remisi sebesar sepertiga remisi yang diterima atau tambahan lagi ketika donor darah. Ini tata krama yang ada dan, untuk itu, ada syarat-syarat yang bisa menjadi luwes. Belum lagi kemudian berobat keluar penjara karena di penjara tak ada dokter jantung, paru-paru, ginjal, atau penyakit dalam atau yang lebih parah.
Napi yang sehat pun nyakit—pura-pura sakit atau dinyatakan sakit—lalu diantar ke luar penjara. Bahwa yang diperiksa sopirnya, bahwa pergi pagi pulang sore (sebelum pergantian regu jaga), itu soal kepintaran mengatur waktu dan membengkokkan aturan yang lurus, asal jangan patah. Yang terakhir inilah yang dilakukan Eddy Tanzil dengan kabur. Bahwa untuk nyakit pun termasuk kemewahan karena tak semua napi punya duit untuk melengkapi administrasi.
Dengan kata lain, yang bisa dimafiakan bukan hanya fasilitas, melainkan juga segala apa yang bisa ditafsirkan ganda. Bukan juga hanya di lapas atau rutan yang mudah disidaki. Namun, cobalah nanti-nanti ke rutan di Mabes Polri atau di kejaksaan, atau yang ada di Brimob Kelapa Dua. Ini supaya adil dan menyeluruh. Arti yang lain, ini semua masalah lama yang sudah ada sejak kelahirannya ketika kebutuhan bebas dan penyediaan kelonggaran menemukan nilai nominalnya.
Tak perlu kaget, kecuali pura-pura, tetapi juga tak perlu mengkeret atau kendur. Pak Menteri Hukum dan HAM beserta jajarannya tak perlu kebakaran jenggot karena memang tak berjenggot. Lebih penting menindaklanjuti, mengurai asal-usul pelanggaran, dan menindaki dengan tegas, jangan lemas di tengah jalan, juga jangan terlalu keras. Menindaklanjuti dalam artian terus dilaksanakan. Sebab, bukan baru kali ini saja tingkat menteri mengurusi penjara dan biasanya berhenti di tengah jalan.
Juga jangan lemas kalau seolah ini kesalahan dari satu kementerian yang mencanangkan program 100 hari karena kehi- dupan penjara sudah berlangsung selama 100 tahun. Jangan terlalu keras, dalam artian tak semuanya bisa dipilah hitam-putih. Asal tak sesuai peraturan disikat.
Seingat saya, yang sebenarnya pendek, penertiban yang keras hanya akan menimbulkan perla- wanan. Baik dengan diam-diam, atau program tidak jalan. Dalam bahasa sederhana, setelah ada perubahan prasarana dan sarana ke arah yang lebih baik, bisalah dituntut untuk ciamik. Atau dalam soal fasilitas mewah, setelah kasus ini terbongkar, masih ada yang nekat, baru disikat. Kalau yang lama, sudah terjadi, tak perlu terlalu diusut-usut. Ujung-ujungnya malah jadi kusut dan semua wajah yang berurusan dengan ini akan cemberut.
Contoh lain lagi, misalnya mengadakan razia total, habis-habisan untuk menggeledah adanya narkoba atau senjata. Ini baik dilakukan, tetapi jangan heran kalau misalnya kemudian masih diketemukan barang terlarang semacam ini. Sepandai-pandai sipir—apalagi kalau tidak pandai—para napi yang residivis sudah mempunyai pola. Mereka tahu pendahulunya menyimpan apa di balik batu apa, atau lantai mana untuk menyembunyikan apa. Kebiasaan ini sudah mekanis sifatnya atau bahkan terjadi sistemisasi di dunia ”warga binaan” dan bukan hanya terjadi di negeri ini.
Meskipun demikian, sesungguhnyalah napi jauh lebih mudah diatur dibandingkan yang seharusnya jadi napi, tetapi masih berkuasa. Dan, kalau upaya ini untuk kebaikan bersama, selain mengangkat citra, kita dukung. Kan, mendukung untuk kebaikan tidak salah, juga sangat mudah.


Arswendo Atmowiloto Budayawan
Opini Kompas 13 Januari 2010