12 Januari 2010

» Home » Solo Pos » Intervensi seni di ranah publik

Intervensi seni di ranah publik

Beberapa waktu lalu, di Ngarsopuro telah dipasang kurang lebih 20 karya pelukis Surakarta. Konon, kemunculan karya tersebut melalui proses yang panjang. Ada proses seleksi yang cukup ketat, dan diseleksi oleh dua orang ”kurator” yang ditunjuk oleh Pemkot Solo. Dengan kata lain, karya yang dipasang di Ngarsopuro adalah karya pelukis terbaik di Solo.
Pemkot Solo dan “kurator” yang bertanggung jawab atas keberadaan lukisan ini membayangkan Ngarsopuro adalah sebuah galeri di ruang publik. Tapi apakah sesederhana itu persoalannya? Apakah itu bukan hanya sebuah penyederhanaan persoalan (kalau tidak mau dikatakan ketidaktahuan) yang dilakukan oleh Pemkot dan “kurator”?


Padahal karakter dan konsep seni lukis berbeda sekali dengan konsep dan karakter seni rupa publik. Jadi, kalau membayangkan lukisan itu sebagai seni publik seperti kasus Ngarsopuro ini, menjadi sangat aneh dan menyedihkan.

Seni rupa publik
Menurut FX Harsono (2000), mengurai seni rupa publik tidak hanya sekadar mengidentifikasi fisik, tetapi juga mengkritisi konsep penciptaan yang menuntut keberadaan seni rupa yang direpresentasikan dalam ruang publik.
Dua pengertian yang berbeda antara seni rupa dan publik, yaitu seni rupa sebagai media ekspresi dari para seniman yang saat ini sering disebut sebagai perupa, dan publik yaitu suatu kelompok masyarakat.
Karena karakter ruang publik sangat berbeda dengan kanvas sebagai media konvensional, tentu saja hal ini akan membawa konsekuensi tersendiri yang tidak hanya berhubungan dengan media, materi, dan ukuran. Dalam seni rupa publik, interaksi tidak hanya dilakukan secara visual yang menganut pandangan “seni adalah seni” tanpa pertanggungjawaban yang pasti, namun juga mampu mendekatkan dirinya sebagai seni yang berinteraksi juga secara verbal.
Melukis adalah memvisualkan atau mengeksekusi secara estetik kaidah-kaidah dalam seni rupa. Melukis di dinding (mural) sebagai seni publik, secara prinsip berbeda halnya dengan melukis di kanvas. Ada beberapa karakter seni lukis yang tidak memungkinkannya menjadi seni rupa publik.
Pertama, lukisan di atas kanvas sejak pertama mulai dipraktikkan pada masa Renaisans dianggap membawa serta semangat pembaruan dan cita-cita modern. Hal ini tentu saja berbeda dengan karakter seni rupa publik yang sarat dengan pesan dan nilai keyakinan adat bersama maupun pemahaman karakteristik sosial di mana karya itu diletakkan.
Kedua, melukis pada kanvas lebih mencirikan semangat individual. Sejak saat itu pula nama pembuatnya (sang pelukis) jadi dikenal, nama itu dianggap penting, sebagai pencipta. Hal inilah yang juga terbukti di Ngarsopuro, hanya karya seni lukis (lukisan) yang mencantumkan judul karya dan nama penciptanya.
Ketiga, lukisan tercipta mandiri. Maka arti yang bisa dikandung sebuah lukisan pun dianggap mandiri, berhubungan dengan kebebasan sang senimannya (Zaelani, 2004). Realitanya, praktik seni lukis yang ada di Ngarsopuro ini sedikit berbeda.
Kemandirian karya seni lukis yang berhubungan dengan kebebasan berkarya senimannya, dalam konteks Ngarsopuro ini adalah pseudo kebebasan atau kebebasan berekspresi yang semu. Karena, karya tersebut tercipta dari pesanan (create by order). Dengan begitu, sebetulnya, karya lukis yang ada di Ngarsopuro, tidak jauh berbeda dengan patung atau topeng yang ada di sana, karena sama-sama pesanan, tetapi kenapa perlakuannya dibedakan?
Keempat, lukisan punya “tempat” khusus dan mandiri (yaitu bidang dua dimensi; kanvas, kertas, kaca dan lainnya), jadi objek hingga bisa bergerak dipindahkan dari satu tempat ketempat lain; lukisan tak lagi terikat pada tempat yang sudah punya cerita dan pesan (misalnya, gereja). Tetapi yang terjadi di Ngarsopuro berbeda, tema lukisan coba diikat pada tempat yang sudah mempunyai cerita dan pesannya sendiri. Dipaksa didisplay di ruang publik yang sebetulnya bukan peruntukannya.
Displaynya sendiri juga tidak mencerminkan keinginan untuk membuat lukisan yang ada di Ngarsopuro tersebut menjadi bagian dari publik (seni publik). Memasang lukisan dengan ketinggian kurang lebih dua meter, membuat masyarakat yang ingin menikmati karya tersebut menjadi agak susah.
Bahkan hanya sekadar untuk merespons karya tersebut dengan berfoto bersama lukisan harus dari jarak yang jauh, karena kalau dari dekat, lukisan tersebut hanya terlihat bagian bawahnya saja. Dengan begitu, secara tidak langsung, lukisan di Ngarsopuro telah membuat jarak dengan publik (masyarakatnya).
Lantas, kalau ada persoalan seperti ini, siapa yang paling bertanggung jawab atas kekarut-marutan persoalan ini? Apakah seniman/ pelukis, Pemkot, atau kuratornya?

Pengrajin
Sudah disinggung di atas bahwa pelukis dalam kasus Ngarsopuro ini, bisa dikatakan hanya sebagai “pengrajin”, karena mereka menciptakan karya karena dipesan, dan mereka telah menyelesaikan pesanan tersebut dengan baik (secara kualitas teknik dan batas waktu order yang telah ditentukan). Oleh karena itu, pelukis dalam kasus ini tidak bersalah.
Pemkot dalam hal ini adalah Dinas Tata Kota juga tidak bersalah, karena menurut saya mereka telah tahu diri merasa tidak mampu atau paham dengan dunia seni rupa, sehingga mereka mengangkat “kurator” sebagai dewan penasihat/konsultan artistiknya.
Jadi, dapat ditarik kesimpulan yang paling bertanggung jawab adalah konsultannya. Karena konsultan tersebut seharusnya memposisikan diri sebagai kurator, tidak hanya sebagai selektor yang hanya bertanggung jawab menyeleksi kualitas karya yang terbaca dari sket karya pada saat usulan awal. Oleh karena itu, saya menjadi heran kenapa konsultan yang diangkat oleh Pemkot tidak menyarankan karya seni rupa publik yang dihadirkan di Ngarsopuro?
Kenapa justru lukisan yang punya karakter sangat indivisualistik sehingga tidak bisa menyatu dengan ruang publik Ngarsopura? Bahkan cara meletakkan atau mendisplay karyanyapun sangat terlihat kalau para konsultan ini tidak punya kepekaan ruang.
Kehadiran lukisan di Ngarsopuro menjadi lepas dan terasingkan dengan aksentuasi lainnya, bahkan dengan masayarakat penggunanya (publik). Lukisan tersebut justru terasa mengintervensi ruang publik Ngarsopura. Kalau begitu, apa bedanya lukisan tersebut dengan poster atau baliho iklan produk komersial yang ada di sana. -
Oleh : Satriana Didiek, Perupa dan Dosen Seni Rupa ISI Surakarta
Opini SOlo Pos 12 Januari 2010