12 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Merintis Lahirnya Johar Trade Center

Merintis Lahirnya Johar Trade Center

RASANYA tidak nyaman melihat suasana Pasar Johar Semarang. Sumpek dan pedagangnya meluber hingga badan jalan seperti sekarang terjadi. Sebagai salah satu ikon kota Semarang,

seharusnya pasar yang terletak di Jalan Agus Salim ini bisa tampil lebih cantik, bersih dan teratur. Pedagang dan pembeli pun bisa beraktivitas berjualan dan berbelanja dengan nyaman. Para pengguna jalan juga tidak merasa terganggu.


Barangkali ada baiknya konsep pasar yang dibangun tahun 1936 ini agak diperluas, menjadi pasar tradisional sekaligus modern. Kita bukan berbicara tentang renovasi bangunan.

Tapi lebih kepada penertiban tata letak kios, dan bagaimana caranya membuat Johar terlihat lebih cantik, bersih, dan rapi, seperti predikat yang pernah disandangnya, sebagai pasar tercantik se-Asia Tenggara.

Jadi tidak sekadar menjadi ikon, namun juga bisa menarik perhatian pengunjung luar kota, sebagai rujukan tempat wisata belanja murah meriah dan berkualitas di Semarang.

Sebagai pembanding barangkali kita boleh menilik pada Pasar Baru Bandung. Seperti halnya Johar, pasar yang terletak di jalan Otto Iskandardinata (Otista) ini juga dibangun pada masa kolonial Belanda, tahun 1896.


Pasar ini juga salah satu ikon kota Bandung. Awalnya pasar ini juga tradisional, namun dalam perkembangannya telah terjadi beberapa kali renovasi. Sejak tahun 2004, pasar ini berubah menjadi Pasar Baru Trade Center dengan konsep tradisional modern, modern namun tidak kehilangan nilai tradisionalnya.

Terdiri atas 12 lantai, lantai 1 - 5 untuk perniagaan sandang, lantai 6 untuk food court, basement 1 dan 2 untuk pasar tradisional.

Sedangkan lantai lainnya untuk mushala dan parkir. Ketika penulis menyambanginya, terlihat suasana teratur, rapi, tidak semrawut, tidak kumuh, tidak sumpek dan pedagangnya tidak menjorok ke badan jalan, namun ramai dan meriah layaknya pasar tradisional. 

Tak kurang 3.000 pedagang bernaung di Pasar Baru. Berbagai produk dijual dengan harga variatif, dari yang murah sampai mahal. Transaksi yang terjadi dalam satu hari bisa mencapai Rp 1 miliar. Rata - rata pedagang menghasilkan omzet Rp 3 juta - Rp 5 juta per hari.

Saat ini, Pasar Baru selalu menjadi tujuan sebagian pengunjung dari luar kota yang ingin berbelanja barang murah namun berkualitas bagus. Maka tidak heran jika pasar ini terlihat penuh sesak dan padat saat akhir pekan dan liburan.

Seperti halnya Johar, ketika Pemkot Bandung akan mengubah konsep Pasar Baru, banyak protes dilayangkan berbagai pihak, termasuk pedagang yang takut kehilangan pembeli. Namun semua itu bisa diselesaikan dengan baik. Kenyataannya, memang pasar ini sekarang telah kehilangan bentuk asli dan jiwa budayanya.

Tentunya kita tidak ingin itu terjadi pada pasar Johar. Maka, untuk Pasar Johar perlu diaplikasikan konsep yang agak berbeda. Yaitu dengan memanfaatkan bekas bangunan Matahari Department Store yang terletak di seberangnya.

Bangunan itu bisa dijadikan kepanjangan tangan, sebagai Johar Trade Center, dengan membangun jembatan penghubung agar lalu lintas di Jalan Agus Salim tidak terganggu.

Jadi, tercipta keterpaduan di antara dua bangunan ini dan nantinya akan dikenal dua macam Johar; Pasar Johar yang berkonsep tradisional dan Johar Trade Center (JTC) yang berkonsep tradisional modern. Dengan demikian, nilai budaya dan tradisional tetap terjaga, namun kerapihan dan keteraturan pun terwujud.

Tentunya ini bukan wacana yang mudah diimplementasikan, apalagi menyangkut biaya dan faktor pedagang yang takut kehilangan pembeli jika tempat usahanya dipindah. Namun tentunya bisa dilakukan kerja sama dengan investor, lewat pemaparan potensi besar yang dimiliki.

 Pedagang pun bisa diajak berdiskusi, bagaimana caranya bangunan JTC nantinya bisa lebih akomodatif, tanpa harus kehilangan pembeli.

Kawasan Johar, Masjid Agung Semarang dan pertokoan Kauman bagaikan macan yang perlu dibangunkan dari tidurnya: disadarkan dan dibukakan matanya, guna menggiatkan sektor pariwisata Semarang.

Karena sebenarnya kualitas, keindahan serta nilai historisnya sangat kental dan tidak kalah dengan kota - kota lain, namun sayangnya sekarang ini masih tertutup kekumuhan dan kesemrawutan yang semakin berlarut dan menumpuk, sehingga terkesan sulit diubah.

Padahal, jika kawasan ini maju, ujung - ujungnya akan mendongkrak pendapatan daerah dan pedagang juga.

Sesungguhnya, jika masyarakat Semarang memiliki semangat dan mau menerima perubahan ke arah lebih maju, segala perbedaan pendapat tentang pengelolaan kawasan ini dapat diselesaikan dengan cepat, dan segera bisa diambil keputusan langkah selanjutnya, sehingga kondisi bersih, nyaman dan rapi bisa segera diwujudkan. (10)

— Arswendo Wirawan, penulis cerpen dan novel, warga Semarang
Wacana Suara Merdeka 13 Januari 2010