31 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Mereka Menguji Kesabaran Pansus

Mereka Menguji Kesabaran Pansus

Wacana pemakzulan atau mosi tidak percaya bukan  diembuskan oleh Pansus melainkan justru oleh orang-orang di luar. Logikanya tidak ada

RAKYAT terpaksa harus ekstrasabar sebab jalan untuk menemukan kebenaran dari megaskandal Bank Century amat berliku. Seandainya semua pelaksana undang-undang (UU) punya iktikad baik dan memihak kebenaran, prosesnya bisa lebih sederhana dan tetap legal.


Tetapi proses sederhana itu tidak dikehendaki. Kecenderungan itu bisa terbaca dari jalannya rapat konsultasi pimpinan DPR dengan pimpinan sejumlah lembaga tinggi negara dan badan-badan kenegaraan lainnya, Jumat (29/1). Rapat itu hanya dihadiri pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pimpinan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan unsur pimpinan Bank Indonesia (BI). Pimpinan Mahkamah Agung (MA) dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak hadir.

Tak pelak, berbagai kalangan langsung membandingkan jalannya rapat konsultasi itu dengan pertemuan Presiden dan para pimpinan lembaga tinggi negara di Istana Bogor, beberapa hari sebelumnya. Pertemuan Bogor itu dihadiri semua pimpinan lembaga tinggi negara.

Muncul asumsi DPR telah dideligitimasi oleh ketidakhadiran unsur pimpinan MA dan KPK. Ada juga yang bertanya, apakah DPR tidak merasa didegradasi oleh ketidakhadiran MA dan KPK? Menanggapi asumsi atau pertanyaan seperti itu, beberapa anggota Pansus memilih berpikir positif, tetap berkepala dingin, karena tak ingin membuat suasana kenegaraan kita makin gaduh.

Skenario rapat konsultasi itu dibuat sedemikian rupa karena Pansus sudah mendekati tahap membuat kesimpulan. Kehadiran MA dan KPK diperlukan, karena fungsi kedua lembaga itu bisa memuluskan kerja Pansus. Apalagi, Pansus harus bekerja cepat memanfaatkan sisa waktu.

Karena skandal Century sudah menjadi persoalan terbuka, suka tak suka, independensi semua institusi sangat diharapkan masyarakat. Kita renungkan kembali bagaimana persepsi masyarakat menanggapi kasus cicak versus buaya. Jangan sampai dalam proses pengungkapan skandal bank itu, masyarakat kembali harus membuat dugaan institusi A pro-DPR, sementara institusi B memihak pemerintah. Demi kebenaran, independensi harus dikedepankan.

Dari rapat konsultasi itu, DPR gagal mencapai target. Pansus butuh data tentang aliran dana fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP) sekitar Rp 682 miliar yang diterima Century pada periode 14-18 November 2008. Intinya, Pansus ingin tahu lewat rekening apa dana FPJP dan penyertaan modal sementara (PMS) masuk ke Bank Century, serta setelah itu masuk ke mana lagi.

Hal ini sangat relevan diperjelas karena setelah menerima dana FPJP itu Century justru kolaps, sehingga pada 21 November 2008 Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) harus memberi dana penyelamatan hingga mencapai total Rp 6,7 triliun, dalam periode 24 November 2008 hingga Juli 2009. Otomatis, Pansus juga butuh data soal aliran dana talangan dari keseluruhan jumlah itu

DPR tak bisa mendapatkan itu. Intinya adalah Pansus Hak Angket DPR tak bisa menembus aturan tentang kerahasiaan bank. Kalau Pansus ingin mendapatkan data itu, harus ada penetapan pengadilan yang memerintahkan penyerahan data dimaksud.

BPK mengaku mendapatkan data itu berkat berkat dukungan surat dari BI. Bersifat sangat rahasia, BPK hanya wajib menyerahkan kepada polisi dan KPK untuk kepentingan pemeriksaan perkara.

Di sinilah masalah mulai rumit, karena mekanisme itu dirasakan janggal. Orang mulai melihat ada tendensi mendegradasi hak angket DPR. Hak angket itu secara konstitusional melekat pada DPR. Dengan demikian, kewenanangannya diasumsikan lebih tinggi dari polisi, KPK, atau PPATK sekalipun. Karena besar kekuasaan dan kewenangannya itu, dalam skandal Century Pansus sudah dua kali memanggil Wakil Presiden untuk didengarkan keterangan dan kesaksiannya. Juga telah memanggil Menteri Keuangan untuk tujuan yang sama, tanpa harus menunggu persetujuan Presiden. Adapun kewenangan polisi, ia harus menunggu persetujuan Presiden untuk memanggil dan mendengarkan kesaksian dari seorang menteri.

Kalau polisi dan KPK punya akses menembus kerahasiaan bank, akses bagi Pansus mestinya lebih dari itu. Begitu pun, kalau BPK bisa otomatis memberi data kepada polisi dan KPK untuk kepentingan pemeriksaan perkara, Pansus pun idealnya memperoleh akses sama.

Kalau Pansus boleh mendapatkan keterangan langsung dari Presiden, mengapa harus meminta akses dari pengadilan untuk bisa mendapatkan data dari BPK atau BI? Bukankah Pansus pun tengah menyelidiki suatu perkara yang timbul karena kebijakan pemerintah yang diduga keliru? Apakah data rahasia bank yang dibutuhkan Pansus lebih tinggi klasifikasinya dari keterangan dan kesaksian Presiden tentang kasus kebijakan yang sama?

Dengan mengadopsi mekanisme seperti itu, bukan hanya memunculkan asumsi adanya keinginan mendegradasi hak angket, melainkan bisa melahirkan dugaan adanya upaya menghambat atau menutup-nutupi data bermasalah dalam kasus Century. Menyembunyikan data di balik UU Kerahasiaan Bank. Bisa saja DPR berkesimpulan ada pihak yang coba menentang hak konstitusional angket DPR.

Agar suasana tidak semakin gaduh, Pansus akan coba mendapatkan akses itu dari pengadilan. Itu sebabnya, rakyat harus ekstrasabar menunggu dan mengikuti proses berliku ini. Barangkali, itulah harga yang harus kita bayar untuk mendapatkan kebenaran.

Berbagai hambatan itu memang menghadirkan fakta masalah yang tidak ringan. Kalau tidak dijelaskan duduk soalnya, rakyat mungkin akan menyalahkan Pansus karena bekerja lamban. Apalagi, Pansus belum memberi kesimpulan apapun. Memang, Pansus bahkan belum bisa membuat kesimpulan sementara atau kesimpulan awal. Masalahnya bersumber dari minimnya data dan dokumen resmi tadi.

Untuk membuat kesimpulan, Pansus harus punya 97 dokumen resmi. Semuanya telah diminta Pansus, dan telah dijanjikan oleh insitusi masing-masing. Namun, hingga pekan terakhir Januari 2010, Pansus baru memperoleh 27 dokumen. Sebagian besar dokumen yang masih ditunggu berasal dari BI.

Rinciannya, dari 29 dokumen tentang proses merger, baru diperoleh 3. Tentang aspek pengawasan bank oleh BI, Pansus butuh 20 dokumen tetapi baru diperoleh 1. Dari 26 dokumen tentang pemberian FPJP, Pansus baru menerima 7. Pertimbangan yang menetapkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik termuat dalam 22 dokumen, tetapi Pansus baru menerima 16 dokumen.

Jelas bahwa signifikansi data yang belum diperoleh Pansus tak bisa diabaikan begitu saja. Bahkan bisa disebut sebagai salah satu faktor kunci yang dapat menggambarkan keseluruhan skandal ini. Lagi pula, sudah barang tentu bahwa kesimpulan Pansus Hak Angket harus berdasarkan data dan dokumen resmi yang bisa dipertanggungjawabkan.

Oleh karena kesimpulan awal sekalipun gagal disepakati Pansus, fraksi-fraksi akhirnya harus berusaha sebisa mungkin memenuhi janjinya kepada masyarakat. Fraksi Partai Golkar telah membuat kesimpulan awal. Setidaknya, untuk sementara ini telah ditemukan 54 pelanggaran dalam proses pemberian dana talangan ke Bank Century, yang kemudian berganti nama jadi Bank Mutiara.

Pelanggaran dimulai sejak proses persetujuan merger, pemberian FPJP, hingga keputusan bailout. Dalam proses akuisisi dan merger, terdapat 12 pelanggaran. Pada saat pengucuran FPJP, ada 18 pelanggaran, dan dalam proses bailout terdapat 24 pelanggaran. Dari semua pelanggaran itu, masih ada sekitar 10 keganjilan yang bisa didalami.

Salah satu keganjilan itu adalah rekayasa merger tiga bank menjadi Bank Century untuk menutupi lemahnya pengawasan BI. Kesimpulan sementara FPG ini diharapkan bisa menjawab harapan rakyat yang intens mengikuti jalannya rapat-rapat Pansus. Memang, masih jauh dari selesai, tetapi kesimpulan sementara itu setidaknya menjadi bukti bahwa sebagian besar anggota Pansus terus bekerja.

Wacana pemakzulan Presiden sekalipun tak akan menyurutkan semangat anggota Pansus.  Dengan mengembuskan wacana pemakzulan yang menaikkan suhu politik di dalam negeri, Pansus bisa saja dijadikan kambing hitam. Apalagi di internal Pansus sedang diperdebatkan urgensi pemanggilan Presiden.

Wacana pemakzulan atau mosi tidak percaya tidak diembuskan oleh Pansus, tetapi justru oleh orang-orang di luar. Logikanya tidak ada. Pansus hanya memberi rekomendasi, sementara sikap final DPR ditetapkan oleh paripurna, dan dalam sidang paripurna tersebut semua orang tahu siapa yang mengontrol suara mayoritas.

Akhirnya, wacana pemakzulan itu tak lebih dari skenario men-degradasi Pansus Hak Angket DPR. Publik didorong-dorong untuk mencurigai Pansus membawa kepentingan kelompok, bukan kepentingan rakyat.

Bahwa dari proses merger, pemberian FPJP hingga PMS dana Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) harus ada yang bertanggung jawab, ya. Karena semua proses itu penuh keganjilah dan rekayasa yang patut diduga merupakan kejahatan perbankan berkelanjutan yang melibatkan pemilik/pengelola bank, otoritas moneter, dan otoritas fiskal (KSSK), dan berpotensi merugikan keuangan negara. (10)

— Bambang Soesatyo, anggota Pansus Hak Angket DPR Kasus Bank Century
Wacana Suara Merdeka 01 Februari 2010