28 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Regenerasi Pemimpin Muda Politik

Regenerasi Pemimpin Muda Politik

SAAT menghadiri acara diskusi peluncuran buku Menjadi Pemimpin Politik karangan pengamat politik M Alfan Alfian di Universitas Paramadina, Jakarta , muncul pesan dan narasi yang kuat akan perlunya regenerasi kepemimpinan politik mendatang.

Pemimpin muda digadang-gadang untuk tampil dalam kontestasi kepemimpinan nasional. Semangat seperti itu memang kerap bergaung, apalagi menjelang kompetisi kepemimpinan nasional dihujat. Namun sampai sekarang belum kunjung juga kaum muda menjadi pemimpin nasional.
Dihadapkan pada konstitusi dengan masa tenggang lima tahunan, proses kompetisi (pilpres) untuk melahirkan seorang pemimpin nasional membutuhkan waktu tunggu yang tidak pendek.


Dalam ruang tunggu sejarah tersebut, hadirnya pemimpin tentu tidak melalui proses tiba-tiba tetapi akan melewati sederet adang uji yang tidak mudah. Bisa saja dalam proses itu terjadi seleksi alamiah antara tokoh muda dan tua. Pasalnya, demokrasi sendiri memberikan ruang kebebasan bagi setiap anak bangsa untuk berkiprah selama bermacam kriteria dan syaratnya memenuhi.

Maka, salah satu proyek kebangsaan yang mendesak untuk segera dikerjakan oleh republik saat ini adalah penyemaian bibit kepemimpinan muda. Proyek ini ditujukan sebagai kerja bersama bangsa untuk membentuk sebuah generasi persiapan yang nantinya diarahkan memegang tampuk kepemimpinan nasional.

Lima tahun ke depan dan seterusnya adalah masa di mana generasi pendahulu yang dalam sepuluh tahun terakhir ini mendominasi perhelatan kepemimpinan politik nasional akan berakhir. Generasi yang menyusulnya adalah generasi pengganti yang lebih baru dan lebih muda usia.

Proses menyemai pemimpin muda tidak mudah seperti membalikkan tangan. Pertama, menjadi seorang pemimpin tidak mewujud secara tiba-tiba. Ia butuh sebuah diklat perjuangan untuk memberikan bukti kinerja. Pada cakupan kerja ini, kaum muda sebelumnya harus meleburkan diri terlebih dahulu melalui pengabdian kepada bangsanya.

Seringkali jebakan untuk bergegas tampil dalam kontestasi kepemimpinan nasional membuat kaum muda jatuh pada pragmatisme politik yang gawat. Jebakan ini membuat kaum muda memilih jalan yang dirasa mudah untuk populer tanpa memberi ruang pengalaman yang penuh dengan kesulitan-kesulitan. Dengan kata lain, berjuang adalah syarat yang tidak bisa tidak harus dilewati.

Kedua, untuk tampil dalam kontestasi kepemimpinan nasional, kaum muda sudah saatnya mulai menawarkan kepada publik sejumlah alternatif gagasan, ide, ataupun pikiran baru yang berbeda dari tawaran pemimpin generasi sebelumnya. Kebaruan pesan yang disampaikan menjadi nilai tambah bagi dirinya untuk bisa menarik simpati publik terhadap apa yang sedang digagas. Angkatan ‘28 adalah contoh di mana letak gagasan, pikiran, mendapat daya gugahnya sehingga disambut gempita seluruh negeri.

Mereka menawarkan pikiran yang tidak saja berbeda dari alam pikiran bangsanya, tetapi juga menciptakan kesadaran baru: perlunya sebuah komitmen penggunaan identitas nasional untuk membedakan bangsanya dengan bangsa penjajah.

Angkatan 28 mencetuskan Sumpah Pemuda sebagai penegas identitas kebangsaan sekaligus pintu buka kesadaran nasional.

Di gedung Indonesische Clubgebouw, di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, waktu itu beragam identitas kedaerahan lebur dalam satu lanskap kebangsaan: Indonesia. Mulailah kata Indonesia dijadikan sebagai landas pacu (launchpad) untuk menciptakan republik.

Ketiga, proses regenerasi seringkali terhalang oleh seleksi dari sebuah sistem politik yang ada. Sistem politik terutama pada partai politik, umumnya tidak cukup memberi ruang yang terbuka bagi munculnya calon-calon tokoh muda untuk tampil ke depan.
Menghalangi Tokoh tua terlihat masih mencoba menghalangi munculnya sinar tokoh muda. Setiap upaya menghembuskan wacana kepemimpinan kaum muda, muncul beragam cara rasionalisasi yang menghambat dengan dalih tidak adanya perundangan maupun aturan baku batasan usia berapa seseorang boleh memimpin. Bahkan pada partai politik besar, ada semacam budaya politik yang tidak tertulis bahwa sang ketua umum atau ketua dewan pembinalah yang memiliki kesempatan besar untuk maju bersaing.

Persoalan bangsa ke depan selain garapan mengukuhkan bangunan demokrasi juga tantangan menyejahterakan rakyat. Panji reformasi dan demokrasi yang memberikan ekspektasi perbaikan nasib rakyat kian ditunggu pembuktiannya.

Reformasi sudah berusia lebih satu dekade namun keberkahan ekonominya dan kesejahteraan masih jauh dari yang diharapkan. Kaum muda juga ditunggu gebrakannya terkait reformasi birokrasi (good governance), persoalan hukum yang saat ini sedang mendera, dan melepaskan jeratan persoalan korupsi yang kian akut.

Regenerasi kepemimpinan politik nasional mutlak diperlukan untuk memberikan kepastian akan terus berdirinya republik. Kaum muda sudah saatnya mempersiapkan diri melalui semangat dan kerja keras, bukan dengan cara lekas gesa. Optimisme bangsa kepada kaum muda adalah sebuah keyakinan sejarah.

Sejarah-sejarah bangsa di Eropa, Afrika, Asia, Amerika Latin, dan juga Indonesia kaum mudanya muncul sebagai lokomotif perubahan. Dengan karakternya yang khas, gejolak hidup yang dinamis, keberanian mengambil risiko besar, dan visi jauh ke depan, sudah sepantasnya jika lima tahun ke depan republik ini dipimpin kaum muda. Seperti kata Soekarno: seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia.(10)

— Ridho Imawan Hanafi, peneliti pada Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) Jakarta
Wacana Suara Merdeka 29 Desember 2009