18 Desember 2009

» Home » Republika » Pemuda Al-Irsyad dan Tantangan Zaman

Pemuda Al-Irsyad dan Tantangan Zaman

Oleh: Geisz Chalifah
(Ketua Umum PB Pemuda Al-Irsyad)

Seorang ibu menasihati anaknya yang mulai senang shalat berjamaah di masjid. "Nak, kalau di masjid jangan lama-lama, ya. Kalau ada orang berjenggot mendekati kamu, jangan kamu layani, ya, nak," pesan si ibu. Ibu ini adalah seorang teman yang khawatir bila anaknya terpengaruh oleh ideologi radikal. Ironisnya, si ibu adalah mantan aktivis mahasiswa Islam sewaktu kuliah.

Di tempat yang berbeda, ada sebuah SMA yang membiasakan murid-muridnya untuk melakukan shalat dhuha. Tapi, salah satu orang tua murid justru mengeluarkan anaknya dari sekolah itu dengan alasan, "Saya tidak ingin anak saya menjadi teroris." Pemberitaan tentang terorisme dan tertangkapnya para pelaku pengeboman yang mengatasnamakan Islam di negeri ini rupanya telah memberikan pesan ketakutan kepada para orang tua.

Kekhawatiran yang mendalam pada terjadinya penyusupan ideologi radikal kepada anak-anak mereka akhirnya menciptakan Islamofobia di negeri yang mayoritas penduduknya memeluk Islam ini. Kekhawatiran seperti itu memang belum bersifat masif. Namun, bila tidak diantisipasi sedini mungkin, bisa menjadi bola salju yang makin membesar. Dan, itu jelas membahayakan dakwah Islam itu sendiri, yang sejatinya menyerukan Islam yang hanif dan menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin ).

Karena yang menjadi korban degradasi pemahaman keislaman ini adalah kaum muda yang tengah berkembang, fenomena ini tentu saja menjadi tantangan berat bagi kelompok-kelompok muda Islam. Di sisi lain, kalangan muda Islam juga menghadapi tantangan yang tidak kalah besar secara sosial, yaitu maraknya penggunaan dan peredaran narkotika di kalangan muda. Banyak anak muda mati sia-sia karenaya.

Mawar dan melati harus layu sebelum berkembang karena suntikan mematikan yang menghanyutkan alam sadar. Harapan berubah menjadi mimpi buruk bagi para orang tua. Menurut catatan Badan Narkotika Nasional (BNN), dalam sehari, terdapat 41 orang Indonesia yang meninggal dunia karena narkoba. Ini berarti tak kurang dari 15.000 anak muda mati dalam setahun karena konsumsi barang laknat ini. Sungguh jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan korban aksi terorisme.

Luasnya jaringan peredaran narkoba dengan pangsa pasar sebagian besar kalangan muda usia sekolah adalah hantu tersendiri bagi para orang tua. Di sini, sebetulnya, pendidikan agama yang baik dipercaya memegang peranan besar untuk menangkal keterlibatan remaja dalam menggunakan narkotika. Namun, apa jadinya kalau para orang tua justru takut anaknya belajar agama secara serius akibat tumbuhnya Islamofobia.

Mereka takut si anak terjerat narkoba, tapi mereka juga takut kalau anak mereka belajar agama hingga jatuh pada pemahaman agama yang sempit dan radikal. Dua tantangan yang bersifat ideologis dan sosiologis ini menjadi PR besar bagi gerakan kaum muda nasional, terutama ormas kepemudaan Islam. Maka, tidaklah salah kalau musyawarah besar ke-9 Pemuda Al-Irsyad yang berlangsung di Cirebon pada 17-19 Desember memberi tempat khusus pada pembahasan kedua tantangan berat kaum muda tersebut, di samping agenda-agenda rutin sebuah musyawarah besar (mubes) atau kongres.

Mubes ini diharapkan bisa melahirkan keputusan untuk membenahi  training di lingkungan Pemuda Al-Irsyad agar bisa menjawab tantangan baru bagi umat ini, khususnya bagi kalangan mudanya, termasuk pelatihan untuk memberi pemahaman agama yang benar dan sesuai misi Islam yang sejati, yaitu menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta. Islam yang menarik bagi umat lain untuk memasukinya, bukan Islam yang angker, yang menciptakan ketakutan di sana-sini hingga membuat umat lain atau malah kalangan Islam sendiri lari darinya.

Pemahaman keliru yang menghinggapi sebagian kecil anak muda Islam, yang menjadikan perilaku menebar bom seolah menjadi 'tujuan' hidup mereka, kemudian diperparah oleh liputan pemberitaan media massa yang tidak diimbangi oleh  cover both sides . Media hanya menonjolkan sisi kontroversial hingga melahirkan kecurigaan tak beralasan kepada apa yang berbau Islam oleh aparatur negara ataupun masyarakat sendiri.

Radikalisasi pemahaman Islam ini tidak hanya berujung pada aksi-aksi kekerasan, namun juga dalam bentuk yang paling lunak, yaitu membuat sekat-sekat ideologis dan benih permusuhan sesama umat Islam. Pemuda Al-Irsyad sebagai salah satu ormas pemuda nasional amat  concern dengan bahaya konflik ini. Karena, konflik seperti itu tidak berefek positif bagi pertumbuhan bangsa, tapi justru memecah konsentrasi umat dalam menghadapi berbagai persoalan mendasar, berupa kemiskinan, kebodohan, dan sebagainya, yang harus segera mendapat jawaban menyeluruh dan mendasar.

Dua masalah besar ini, yaitu merebaknya narkoba di satu sisi dan radikalisasi pemahaman Islam di sisi lainnya, adalah tanggung jawab seluruh umat. Karena yang menjadi korban utama dari keduanya adalah kalangan muda, sudah semestinya hal itu menjadi perhatian seluruh ormas pemuda. Pemerintah, para ulama, cendekiawan, pemimpin umat, dan seluruh unsur bangsa ini semestinya juga mendukung penuh gerakan positif anak muda memerangi dua tantangan besar mereka itu.

Selain dua tantangan besar di atas, Mubes ke-9 Pemuda Al-Irsyad ini juga mengagendakan pemilihan ketuanya yang baru, menetapkan AD-ART dan menyusun GBHO (garis-garis besar haluan organisasi). Ormas pemuda yang didirikan ulama besar progresif Syekh Ahmad Surkati di tahun 1930 ini (lalu menjadi organisasi otonom di lingkungan Al-Irsyad Al-Islamiyyah pada tahun 1939) juga akan membahas berbagai persoalan umat internal dan eksternal serta nasional dan internasional, dengan  output berbagai macam rekomendasi kepada pengurus baru, lembaga-lembaga umat, dan pemerintah. Misalnya, soal pemberantasan korupsi, skandal Bank Century, pembelaan terhadap kaum lemah, penyakit sosial di kalangan anak muda, sampai solidaritas bagi perjuangan bangsa Palestina, Kosovo, Xinjiang, dan lainnya.

Opini Kompas 19 Desember 2009