18 Desember 2009

» Home » Media Indonesia » Sosialisasi UMKM Setengah Hati

Sosialisasi UMKM Setengah Hati

Sektor UMKM, meskipun tahan terhadap krisis ekonomi, sampai sekarang belum menjadi primadona dalam pengembangan pilar ekonomi Indonesia. Padahal pemerintah sudah membentuk Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM). Sayangnya sektor UMKM ini belum kuat mengakar. Kesannya sektor usaha ini belum bisa diandalkan sebagai usaha penyerap tenaga kerja yang besar, berkelas, dan kompetitif.
Sebetulnya apa yang salah dengan UMKM di Indonesia? Benarkah karena gagalnya sosialisasi pentingnya UMKM sebagai salah satu kekuatan ekonomi di tengah badai krisis seperti sekarang ini?


Bila memang demikian, coba kita urai seberapa besar keberhasilan sosialisasi UMKM di dalam negeri. Ukuran untuk mengetahui keberhasilan dari sosialisasi UMKM itu cukup sederhana, hanya dua, yakni waktu dan jumlah. Berapa waktu yang diperlukan untuk melakukan sosialisasi dan berapa jumlah UMKM yang mengikuti pesan sosialisasi tersebut.
Kedua hal tersebut tergantung pula pada target dari pesan yang diinginkan. Jika targetnya hanya perubahan pengetahuan dari para pelaku UMKM atau targetnya sampai kepada perubahan sikap dan perubahan perilaku tentunya cara penyampaiannya akan berbeda. Misalnya target dari pesan sosialisasi itu hanya perubahan pengetahuan, biasanya yang diperlukan hanya alih informasi dari pesan yang akan disampaikan. Kalau targetnya sampai perubahan sikap, biasanya menyampaikan pengalaman dari para pelaku sendiri lebih baik. Jadi belajar dari pengalaman pelaku UMKM yang lain. Jika targetnya sampai perubahan perilaku, latihan keterampilan adalah kata kuncinya.
Strategi dan metode penyampaian pesan UMKM yang dikemas dengan kata sosialisasi tersebut karena pada umumnya sosialisasi atau bahkan program pemerintah itu pada awalnya saja dilakukan atau dijalankan. Setelah itu, tidak dilanjutkan apalagi dilakukan penelitian secara terukur. Lebih banyak yang tidak diikuti perkembangannya dan dibiarkan begitu saja.
Akhirnya, banyak program terbengkelai, tidak jalan alias gagal. Ini hampir terjadi di semua instansi pemerintah. Seperti dikemukakan Everett M Rogers dan F Floyd Shoemakers dalam buku Communication of Innovations, di negara-negara berkembang, suatu inovasi diperkenalkan ke masyarakat, hanya 10% yang mampu bertahan dan berkembang, selebihnya 90% akan mati layu sebelum berkembang.
Bila demikian adanya, bisa dibayangkan berapa dana yang berasal dari rakyat yang hanya dihambur-hamburkan, dan pada akhirnya tidak bermanfaat untuk pembangunan suatu bangsa. Sebutan lazimnya adalah pemborosan uang negara.
Penyebabnya sederhana, inovasi atau pesan-pesan program pembangunan itu tidak berorientasi pada kebutuhan rakyat. Hanya jargon-jargon yang mencuat ke permukaan yang sifatnya hangat-hangat tahi ayam. Inovasi dan pesan itu hanya berorientasi kepada inovasi atau pesan itu sendiri. Dampak atau perubahan pesan itu kurang diperhitungkan. Dengan kata lain, sosialisasi tidak dilakukan secara profesional.
Kita melupakan salah satu unsur penting UMKM, yakni makna subjektif bagi masyarakat. Makna subjektif bagi masyarakat adalah anggapan atau sikap masyarakat yang merupakan pengguna (klien) UMKM dalam menggunakan produk-produk yang dihasilkan. Dapat diibaratkan wanita itu dikatakan cantik, tergantung dari siapa yang melihatnya. Kalau yang melihatnya menilai cantik, masuklah wanita itu dalam kategori cantik. Sebaliknya, meskipun wanita itu dalam realitanya cantik, kalau yang melihatnya mengatakan jelek, wanita menjadi jelek. Kira-kira begitulah makna subjektif masyarakat.
Untuk itu, dalam sosialisasi pesan UMKM ini juga harus melibatkan para pelakunya, yakni masyarakat. Para pelaku UMKM ini yang tahu secara persis permasalahan yang dihadapi. Pelibatan para pelaku akan berdampak pada tanggung jawab keberhasilan mereka sendiri.
Untuk itu, di masa mendatang, perencanaan dari bawah sudah selayaknya diperhitungkan. Perubahan paradigma harus dilakukan. Pilih kebijakan perencanaan yang memerlukan top down dan perencanaan yang menggunakan bottom up.
Secara teoritis, sosialisasi mencakup komunikasi dan difusi. Di antara keduanya ada perbedaan arti dan peran. Komunikasi adalah proses pesan UMKM dioperkan dari sumber komunikan kepada penerima pesan. Sementara itu, difusi merupakan proses pesan tersebar kepada anggota penerima. Dengan demikian, dampak yang ditimbulkan berbeda.
Dalam komunikasi dampak yang muncul adalah sekadar perubahan pengetahuan. Lain halnya dengan difusi, dampak yang diharapkan muncul sudah mencakup perubahan perilaku.
Model tersebut perlu dikemukakan agar produk-produk UMKM bisa memberikan nilai tambah. Terlebih lagi UMKM saat ini sudah dianggap sebagai tulang punggung perekonomian nasional di tengah krisis ekonomi nasional.
Sayangnya, harapan menjadi tulang punggung tadi belum menjadi sebuah kebijakan nasional yang membumi. Ditambah lagi dengan sosialisasi yang belum profesional sehingga pesan-pesan yang seharusnya sampai ke pelaku usaha tidak pernah sampai. Antarinstansi pemerintah seharusnya sudah memikirkan lembaga mana saja yang pantas disandingkan untuk membantu perkembangan UMKM.

Oleh M Ansorudin, Peneliti bidang kebijakan BPP Teknologi
Opini Media Indonesia 17 Desember 2009