18 Desember 2009

» Home » Pikiran Rakyat » Mengerem Pornografi

Mengerem Pornografi

Oleh eriyanti nurmala
MENURUT salah satu survei, pengguna handphone (HP) terbesar di Indonesia adalah remaja berusia 16-22 tahun. Remaja juga pengguna HP paling antusias rasa ingin tahunya terhadap perkembangan teknologi HP. Bahkan, mereka sering membicarakan teknologi HP terbaru yang belum muncul di Indonesia.
Dari hampir sebagian besar SMP di Bandung, 75 persen siswanya pengguna HP. Dari jumlah itu, sebanyak 70 persen HP yang digunakan berupa HP berteknologi tinggi dengan fitur lengkap dan mudah terakses ke internet.


Namun ironis, hanya 3 dari 10 orang tua yang mengaku tahu dan bisa mengoperasikan HP berbasis multimedia. Kondisi ini juga dialami para guru. Mereka mengaku sering kelabakan saat mengadakan razia HP di sekolah. "Karena kami tidak bisa membukanya, kami tidak tahu apa saja isi HP anak-anak," ujar Miftahuddin Martha, Wakil Kepala Sekolah Kesiswaan SMPN 11 Bandung.
Dari temuan razia, kata Miftah, banyak ditemukan gambar-gambar porno. Tidak hanya di HP murid-murid kelas III, tetapi juga di HP murid kelas satu yang rata-rata berusia 11-12 tahun.
Marti (42), orang tua Diwan (18), mengaku kaget dan shock luar biasa saat ia menemukan kartun-kartun porno di USB anaknya. Kartun yang diunduh dari situs-situs komik porno ini langsung dihapus, tanpa ia berani menegur kesalahan si anak.
Pengalaman serupa dialami, Dina (43), ibu dua anak ini shock berat saat meminta bantuan putrinya, Andra (11) untuk mengunduh video. Saat ia mencoba membuka fitur video, tampilan yang muncul adalah gambar pornografi. Kontan, Dina terperanjat. "Kalau gambar itu di-klik, langsung akan muncul video porno itu kan," ujarnya masih terengah-engah saat bercerita.
Dilema
Penggunaan HP berbasis multimedia di kalangan anak-anak dan remaja menjadi dilema bagi guru dan orang tua. Awalnya, sekolah melarang siswa membawa HP ke sekolah. Akan tetapi, karena banyak permintaan orang tua agar mengizinkan siswa membawa HP, sekolah melonggarkan peraturan.
Siswa boleh membawa HP dengan syarat HP yang digunakannya standar, yang hanya dapat berfungsi untuk menelefon atau mengirim pesan pendek. Namun, banyak orang tua yang memberikan HP canggih sehingga fungsinya tidak sebatas alat untuk menelefon/menerima telefon dan SMS, tetapi dapat juga mengakses internet dengan fitur-fitur lebih lengkap.
Didik (14), siswa SMP di Bandung mengaku, aplikasi HP paling sering digunakannya adalah pesan singkat (SMS), disusul pemakaian akses internet, mengunduh lagu, download game, dan lain-lain. "Akses internet paling sering digunakan setelah SMS karena sekarang lagi tren Facebook. Seru-seruan," ujarnya santai.
Efek dari semua itu, anak dapat mengakses apa pun dari internet melalui telefon genggam, termasuk tayangan porno berupa gambar, cerita, video porno, dan lain-lain, yang pemantauannya sulit sekali dilakukan.
Risiko lain, bila HP canggih itu hilang, guru sering kali harus ikut bertanggung jawab jika alat itu hilang. Belum lagi bila masa ujian tiba, HP bisa menjadi alat bantu kecurangan yang membahayakan.
Pada kondisi ini, guru mengaku dilematis. Di satu sisi ingin memenuhi kebutuhan anak dan orang tua agar dapat saling berkomunikasi. Akan tetapi di sisi lain, guru sulit melarang orang tua memberikan HP canggih kepada putra-putrinya. Dampaknya, guru tidak dapat mengerem siswa untuk tidak mengakses situs porno dari internet.
Keluhan orang tua lain lagi. Di satu sisi ingin memberikan alat-alat terbaik untuk putra-putrinya, tetapi di sini lain orang tua tidak bisa memantau penggunaan alat yang diberikannya kepada anak.
Pada kondisi seperti ini, guru meminta orang tua untuk lebih bijak dalam memberikan fasilitas telefon genggam kepada putra-putrinya. Karena dampak yang muncul bukan sekadar atas nama gengsi, tetapi rusaknya generasi.
Tuntutan
Merebaknya pornografi di dunia maya di kalangan anak dan remaja khususnya siswa di sekolah, menurut Kriminolog Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Yesmil Anwar merupakan bukti nyata adanya demand (tuntutan) terhadap informasi-informasi yang bersifat pornografis.
Padahal dalam teori dagang, manakala demand tinggi, suplai pun akan terus mengalir. Apalagi penetrasi penegakan hukum juga lemah, lapisan-lapisan lain seperti etika, moral, dan nilai-nilai tradisi yang ada sudah menipis.
Untuk dapat memperbaikinya, kata Yesmil, harus ada revolusi dari semua kalangan, mulai tokoh mahasiswa, masyarakat, ulama, guru, dosen, pemerintah, semuanya. Jika tidak, tatanan masyarakat akan menjadi semacam lahan kering. Tidak dapat lagi berharap tumbuhnya generasi baru yang lebih baik.
Rumah sebagai institusi masyarakat terkecil juga ditohok kenyataan, pornografi sudah masuk ke ruang keluarga. Medianya bisa televisi, internet, atau HP sekalipun. Maka, bukan hal aneh bila orang tua terkaget-kaget manakala menemukan anaknya mengonsumsi film, gambar, ataupun cerita-cerita porno.
Dewasa
Menyikapi kenyataan ini, Psikolog Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung (Unisba) Dewi Sartika Akbar, M.Psi. mensyaratkan adanya kematangan dan kedewasaan orang tua dalam menghadapinya.
Orang tua pasti akan merasa sangat bersalah, malu, bingung, dan marah besar ketika mendapati anaknya yang masih sekolah dasar mengetahui, melihat, bahkan secara sembunyi-sembunyi mengamati tayangan tersebut. Dalam hal ini, anak jangan dihukum atau bahkan dimusuhi, tetapi sebaliknya harus diraih dan diajak bicara dan diberi penjelasan dengan cara dewasa dan dalam bahasa anak. Anak, menurut Dewi, sudah telanjur mengetahui. Orang dewasalah yang harus dapat mengendalikan dan memberikan informasi yang benar agar permasalahan tersebut bisa jelas dan si anak tidak menjadi terus penasaran dan memahami kekeliruannya.
Sebenarnya, usia remaja atau puber adalah masa paling tepat untuk menjelaskan kepada anak tentang masalah seksual. Karena bersamaan itu, organ-organ seksual sedang tumbuh dan berkembangnya. Anak harus mengerti agar dapat menjaga serta bertanggung jawab terhadapnya. "Beri penjelasan yang bijak dan benar, bukan ancaman," ujarnya.
Dalam kondisi tertentu, katanya, mungkin informasi pornografi itu harus sudah disampaikan. Mengingat arus informasi di media masa begitu pesat dan sulit untuk dikontrol. Hal ini agar anak tidak mengetahui secara samar, tetapi secara benar dari orang tua atau gurunya sendiri.
Tidak ada batasan usia kapan seseorang dianggap wajar melihat tayangan-tayangan porno. Yang harus digarisbawahi adalah kedewasaan anak, kematangan, dan kemantapan atas nilai-nilai agama dan norma.
Dewi menilai, melarang siswa membawa HP tidak selamanya benar. Kadang-kadang ada beberapa orang tua tertentu sangat mengkhawatirkan anak dan mencoba memonitor anaknya melalui HP. Jadi, ada baiknya bukan melarang, tetapi menertibkan jenis HP yang digunakan.
Pornografi jangan dianggap tabu dan sesuatu yang disembunyikan, tetapi harus diinformasikan secara benar dan dibahas dampak negatifnya. Tentu saja pendekatan agama dan nilai-nilai normatif sudah harus ditanamkan sejak dini. Jika anak bertanya hal-hal yang berbau pornografi, orang tua jangan meredam atau memarahinya, tetapi jelaskan secara bijak, beri informasi sesuai daya tangkap dan perkembangan kognitif (pemikiran) anak.
Pornografi di HP harus menjadi perhatian pemerintah. Para ahli di bidangnya dituntut peduli terhadap hal ini. Semuanya terkait dan harus bersama-sama membangun dan menciptakan suatu iklim yang sehat dan mencegah hal tersebut.
Sementara untuk mengamankan internet dari penyebaran pornografi di rumah, dapat diterapkan pada browser yang ada sekarang, misalnya Internet Explorer, FireFox, Opera, dan sebagainya. Orang tua dapat memilih option pada browser tersebut dari kata kunci tertentu, bahkan sudah disediakan kata kunci yang default, misalnya seks. Tinggal diaktifkan di parental control-nya dan tambahkan kata kunci yang lainnya.
Selain itu, ada juga beberapa software yang bisa di-install untuk parental control. Semua sistem ini ada yang bersifat free ada juga yang berbayar.
Dua hal dari Yesmil, bila pemerintah membuat undang-undang, titik tolaknya harus dari toleransi agama. Apalagi Indonesia negara religius, karakter bangsanya bertuhan, berkemanusiaan, kebhinekaan, dan tidak menafikan dari bangsa-bangsa dunia (globalisasi). Jika tidak, undang-undangnya bermata ganda bahkan dapat jadi petaka.
Jika keadaan sudah menjadi anomali dan semua sistem sudah macet, keluarga menjadi jantung primer bagi terselenggaranya pendidikan karakter bangsa. Nilai-nilai hukum yang sudah kacau dan lain-lain dikembalikan lagi kepada dasar filosofinya melalui pendidikan nilai-nilai hukum di dalam keluarga.

Opini Pikiran Rakyat 19 Desember 2009