11 November 2009

» Home » Republika » Efektivitas Berantas Korupsi

Efektivitas Berantas Korupsi

Rizal Yaya
(Dosen FE, UMY)

Diperdengarkannya rekaman pembicaraan kontroversial Anggodo di hadapan Mahkamah Konstitusi, sejauh ini telah berhasil mengobati rasa penasaran rakyat Indonesia terhadap kebenaran transkrip yang sempat beredar di masyarakat. Akan tetapi, di lain pihak, hal ini juga membuat beberapa khalayak khawatir terhadap image negatif dunia internasional terhadap Indonesia. Beberapa pengamat ada yang memperkirakan bahwa hal ini dapat berdampak pada kepercayaan publik, terutama dunia bisnis, terhadap institusi penegak hukum atau kepastian hukum di Indonesia. Tulisan ini mencoba membahas isu tersebut dari perspektif yang lebih luas dalam konteks efektivitas pemberantasan korupsi dalam beberapa dekade terakhir dan setting institusi KPK, kepolisian, dan kejaksaan dalam efektivitas pemberantasan korupsi selama ini.
Praktik korupsi pada umumnya telah menjadi perhatian bangsa-bangsa di dunia, baik untuk memperbaiki diri maupun untuk menjaga citra guna meredam tekanan publik. Di Indonesia, sejarah upaya pemberantasan korupsi telah dimulai dari kritik para intelektual terhadap praktik korup pegawai negeri. Keresahan para intelektual tersebut selanjutnya direspons oleh Kabinet Juanda dengan pembentukan Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) yang kemudian diganti dengan 'Operasi Budhi'. Oleh karena ketidakefektifan dipandang lebih sebab alasan pertanggungjawaban para pejabat yang mesti langsung pada presiden, selanjutnya presiden Soekarno membentuk Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KONTRAR) yang diketuainya sendiri. Akan tetapi, dalam perkembangannya, lembaga ini juga tidak berjalan efektif hingga terjadinya pergantian pemerintahan ke rezim Orde Baru. Naiknya Orde Baru juga ditandai dengan pembentukan berbagai lembaga yang silih berganti, seperti Tim Pemberantasan Korupsi (Keppres No 228 Tahun 1967), Tim Komisi Empat (Keppres No 12 Tahun 1970), Tim Operasi Tertib (Inpres No 9/1977), atau program waskat (pengawasan melekat) yang semuanya tidak efektif dalam mengurangi maraknya praktik korupsi di pemerintahan.

Titik nadir akutnya praktik korupsi di Indonesia dipotret oleh Dr Johann G Lambsdorff dari University of Goettinggen-Jerman dalam survei persepsi masyarakat bisnis terhadap 41 negara di dunia. Survei tersebut dipublikasikan dalam laporan Tranparency International tahun 1995 dengan judul New Zealand Best, Indonesia Worst in World Poll of International Corruption. Dalam laporan tersebut, Indonesia ditempatkan pada peringkat terakhir dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 1,94. Sebagai perbandingan, tiga negara ASEAN terdekat: Singapura, Malaysia, dan Filipina, berada pada urutan 3, 23, dan 36 dengan indeks 9,26; 5,28; dan 2,77 secara berurutan.

Tren positif pembarantasan korupsi di Indonesia baru mulai terlihat pada tahun 2004 dengan IPK 2,0 setelah tiga tahun stagnan di IPK 1,9. Kendati dari segi peringkat mengalami naik turun (karena makin banyaknya negara yang diikutsertakan), secara perlahan IPK Indonesia terus mengalami kenaikan hingga mencapai IPK 2,6 pada survei terakhir di tahun 2008. Pada tahun 2008, untuk pertama kalinya, IPK Indonesia berada di atas Filipina dengan IPK 2,3 walau masih jauh dari Malaysia dan Singapura dengan IPK masing-masing 5,1 dan 9,2.

Peran KPK
Sejauh ini, belum ada studi komprehensif yang menunjukkan bahwa kenaikan IPK Indonesia disebabkan oleh KPK. Akan tetapi, dalam beberapa hal, kenaikan IPK tersebut berjalan seiring dengan perkembangan dan terobosan yang dilakukan KPK. Sejak dilantik menjadi komisioner KPK, Taufiqurrahman Ruki dan kawan-kawan terlihat telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan menindak praktik korupsi. Upaya pencegahan yang dilakukan bahkan telah mulai mengubah mindset masyarakat dalam beberapa hal, seperti gratifikasi (hadiah) kepada pejabat yang hanya dibolehkan dalam batas tertentu, termasuk dalam hal pemberian saat pernikahan, ulang tahun, ataupun Lebaran. Di samping melakukan sosialisasi konvensional melalui media, leaflet, dan booklet, KPK juga berhasil mendorong berkembangnya pakta integritas di berbagai institusi, termasuk mekanisme internal untuk mengevaluasinya. Aspek lain yang juga dirasa adalah masuknya kurikulum antikorupsi mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Di samping itu, KPK juga berhasil menggalang aliansi strategis dengan mahasiswa, LSM, dan perguruan tinggi yang selama ini memiliki kepedulian tinggi terhadap isu korupsi.

Dari segi penindakan, tren tiga tahun dari 2006 hingga 2008 juga menunjukkan tingkat efektivitas yang tinggi. Di tahun 2008, dari 70 kasus yang diselidiki, sebanyak 53 perkara ditindaklanjuti dengan penyidikan, 43 di antaranya diteruskan dengan penuntutan dan sebanyak 25 perkara berhasil diputus dengan 23 di antaranya telah dieksekusi. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan kinerja tahun 2006 dengan 36 kasus yang diselidiki, 28 kasus dilanjutkan dengan penyidikan, dan 10 di antaranya dilakukan penuntutan dan diputus sebanyak 14 (termasuk kasus tahun sebelumnya). Dari segi kualitas juga terlihat adanya peningkatan upaya penindakan KPK. Dengan jumlah hanya fokus pada kasus yang besar dan berdampak luas, pada tahun 2008, KPK telah berhasil mengembalikan uang hasil tindak pidana korupsi ke kas negara/daerah sebesar 407,9 milliar rupiah. Jumlah ini hampir sembilan kali lipat dibanding tahun 2007 dan lebih dari 30 kali dibanding dengan pengembalian di tahun 2006 (Laporan KPK Tahun 2006-2008 diolah).

Peran lembaga lain
Peningkatan IPK Indonesia tentu saja bukan peran KPK sendiri. Dua institusi lain juga memiliki peran dalam upaya perbaikan IPK Indonesia. KPK sering kali bekerja sama dengan kepolisian dan kejaksaan dalam menindaklanjuti berbagai kasus. Dari 5002 kasus yang terindikasi tindak pidana korupsi (TPK) selama tahun 2004 sampai 2008, yang ditindaklanjuti sendiri hanya sebanyak 889 kasus. Adapun lainnya sebanyak 4.113 kasus diteruskan oleh KPK ke institusi lainnya. Dalam hal ini, kasus yang diteruskan tersebut sebagian besar diteruskan ke kepolisian (23,83 persen) dan kejaksaan (39,51 persen). Adapun lainnya diteruskan ke BPKP, Irjen, BPK, MA, dan Bawasda.

Persoalannya adalah kendati polisi dan lembaga hukum telah meneruskan beberapa kasus dari KPK, di samping kasus yang sedang ditangani atas inisiatif sendiri, persepsi publik terhadap lembaga ini masih rendah. Hal ini digambarkan oleh survei Transparency International tahun 2008 dengan rentang nilai 1 (tidak korup sama sekali) sampai 5 (sangat korup) bahwa publik menempatkan lembaga ini pada nilai 3,9 untuk polisi dan 3,8 untuk peradilan. Nilai ini sebenarnya menunjukkan adanya perbaikan dibanding tahun 2007 yang menempatkan kepolisian menjadi lembaga terkorup, menurut persepsi masyarakat, dengan nilai 4,2 dan disusul oleh peradilan dan parlemen dengan nilai masing-masing 4,1. Untuk institusi kepolisian, perbaikan yang terjadi di tahun 2008 relatif lebih baik dibanding kepolisian Malaysia yang pada tahun 2008 memperoleh nilai 4,0 dan merupakan institusi yang dipersepsikan paling korup di Malaysia pada saat itu. Adapun lembaga peradilan Indonesia jauh lebih buruk dibanding lembaga peradilan Malaysia yang memperoleh nilai 3,2.

Langkah ke depan
Tren positif yang dicapai dalam pemberantasan korupsi di Indonesia pada lima tahun terakhir merupakan sesuatu yang menggembirakan. Ini menunjukkan, kerja keras pemerintah mulai diakui publik, baik di dalam maupun luar negeri. Sekiranya, tren ini berlanjut, bukan tidak mungkin kemajuan Indonesia akan lebih baik dibanding Cina (IPK 3,5 tahun 2008), negara yang hanya satu peringkat di atas Indonesia untuk survei Transparency International tahun 1995 atau Malaysia yang stagnan dengan IPK 5,1 sejak beberapa tahun terakhir.

Akan tetapi, hal ini tentulah hanya bisa dicapai jika KPK terus konsisten dengan terobosan yang dilakukannya dan lembaga lain, terutama kepolisian dan kejaksaan, juga optimal mem-back up KPK dalam upaya pemberantasan korupsi. Tanpa adanya back up dari kepolisian dan kejaksaan, agenda pemberantasan korupsi bisa dipastikan jalan di tempat atau malah mundur ke belakang. Lebih parah lagi, kalau kepolisian dan kejaksaan punya agenda tersendiri untuk menghalangi atau menghambat berbagai upaya penindakan yang diinisiatifkan oleh KPK.

Opini Republika 9 November 2009