11 November 2009

» Home » Suara Merdeka » Opini Publik atau Supremasi Hukum

Opini Publik atau Supremasi Hukum

AKADEMISI dan pengamat   demokrasi di Indonesia disibukkan  pemahaman tentang faktor pemicu konflik Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berlangsung sejak beberapa waktu terakhir.

Karena tuntutan verifikasi (upaya untuk selalu mencari kebenaran melalui pembuktian kebenaran lama, dengan keyakinan akan kebenaran baru) sebagai ciri ilmu pengetahuan pada umumnya berkepihak pada kepentingan tertentu, semata-mata  sebagai produk verifikasi itu sendiri.

Wacana demokrasi memosisikan opini publik sebagai landasan dasar utama pemerintahan sebuah negara. Dalam bahasa dan simbol demokrasi universal, pemerintahan dibentuk oleh dukungan orang-orang yang diperintah (the government by the consent of the governed). Kekuasaan opini publik sedemikian dominannya, bahkan extra, dan supradominan, sehingga tidak boleh diabaikan oleh ”penguasa” negara yang mana pun.

Bagi pemerintah Indonesia, opini publik idealnya juga diposisikan demikian. Opini publik perlu diposisikan, sekaligus difungsikan selaku salah satu moralitas, khususnya dalam penetapan sebuah kebijakan, dan tindakan, yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan kepentingan masyarakat luas. Idealitas itu didasari pemikiran objektif dan subyektif, bahwa pemerintahan negara dibentuk, terutama untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Dalam konteks ini, opini publik yang ditafsirkan sebagai hasil sosialisasi pendapat masyarakat tentang isu sosial tertentu yang mengandung unsur kontroversi (pro-kontra), secara teoretis dan pragmatis, dapat dipergunakan sebagai cermin persetujuan, atau sebaliknya penolakan masyarakat  terhadap kebijakan atau tindakan tertentu dari aparat pemerintahan negaranya. Karenanya, tidak mengherankan jika pemerintahan demokratis, memiliki kebiasaan untuk bercermin, dan mengukur kinerja pemerintahan negaranya, melalui parameter opini publik.

Proses Mawas Diri  

Hak rakyat akan kesejahteraan (lahir-batin) yang menjadi salah satu tugas pemerintahan negara untuk mewujudkannya, dimanifestasikan antara lain oleh  opini publik. Itu sebabnya, mengapa opini publik acapkali difungsikan sebagai landasan moralitas, sekaligus rambu demokrasi, oleh pemerintah dan masyarakat, di berbagai  negara berlandaskan demokrasi.

Dengan ”kacamata” opini publik itulah, kita seyogyanya melihat berbagai persoalan di balik konflik Polri-KPK. Bukan hanya pemerintah, tetapi juga segenap warga bangsa kita, seharusnya berupaya keras mengetahui faktor-faktor penyebab konflik Polri-KPK. Sekaligus mencoba sekeras mungkin menemukan obat mujarab penyelesaian kasus konflik dua lembaga negara dimaksud, selain juga dengan Kejaksaan. Semua itu perlu dilandasi kerinduan kita akan pencarian nilai-nilai kebenaran (nothing but the truth).

Sebab, berlarut-larutnya konflik Polri-KPK, dengan gambaran opini publik yang teramat mudah dibaca dan diidentifikasi cenderung mendukung siapa, atau sebaliknya menghujat lembaga yang mana, pada gilirannya dapat merusak tatanan kearifan nasional kita. Membiarkan opini publik yang sangat menguntungkan KPK, dan merugikan Polri, sebagaimana eksis dewasa ini (actual public opinion),  bukan mustahil dapat mengakibatkan kesenjangan ketergantungan pemerintah-masyarakat (vertikal), dan antara sesama lembaga negara, atau antarsesama segmen publik (horisontal).

Panacea (obat mujarab) konflik Polri-KPK belakangan ini perlu secepatnya diberikan. Untuk itu, segenap warga bangsa kita seharusnya menyadari bersama, bahwa Polri dan KPK merupakan lembaga negara, yang (pascareformasi) memikul beban mewujudkan clean and good governance. Pemerintahan yang baik dan bersih, mustahil dapat diwujudkan, tanpa dukungan instrumen (regulasi), struktur (lembaga) dan kultur (sikap dan tindakan nyata), yang mampu memotivasi pemerintah (penyelenggara negara, terutama penegak hukum dalam konteks pemberantasan korupsi), serta masyarakat luas, untuk menghapus korupsi dari muka bumi kepulauan Nusantara.

Pemerintah dan masyarakat luas harus memahami, berlarut-larutnya konflik antar sesama penegak hukum yang memikul bebas tugas pemberantasan korupsi, dapat menghambat   terwujudnya pemberantasan korupsi itu sendiri. Karenanya, sesuai UU 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, ketika ditetapkan  kepolisian sebagai  salah satu fungsi pemerintahan negara, maka pelaksanaan tugasnya (penegakan hukum, keamanan, ketertiban umum, pelayanan, pengayoman dan perlindungan masyarakat), tidak boleh terpisah (marjinal) dari tekad pemberantasan korupsi di negeri ini, khususnya yang dipelopori KPK.

Pelaksanaan tugas Polri dalam konteks itu (pemberantasan korupsi), bersifat tan kena ora (wajib hukumnya). Dalam urusan ini, Polri yang (harus) senantiasa  bekerja atas dasar hukum, perlu selalu instrospeksi. Mawas diri itu bukan untuk mengendorkan semangat penegakan hukum sebagai ciri utama pelaksanaan tugasnya, melainkan guna menyesuaikan kebijakan dan tindakan kepolisian dengan opini publik, yang berkembang di lingkungannya.

Mawas diri Polri,  akan membentuk kearifan kebijakan dan tindakan  yang patut, dan sebaliknya tidak patut diberlakukan oleh Polri. Proses introspeksi, secara teoritis akan mampu mengundang simpati dan dukungan masyarakat terhadap kinerja Polri. Terutama untuk mewujudkan public trust (kepercayaan masyarakat), sebagai pilar utama grand strategy Polri (2005-2010), dari keseleruhan grand strategy Polri (2005-2025).

Supremasi Hukum

Demikian pula halnya dengan KPK. Di era reformasi sekarang, ketika sistem penyelenggaraan negara kita sarat dengan tuntutan mewujudkan pemerintahan negara yang berbasis  demokrasi, maka opini publik yang bersifat posisit/ favorable dapat menguntungkan keberadaan lembaga, tugas, fungsi serta peran lemabaga mana pun, terutama KPK. Namun, favorable public opinion terhadap KPK dewasa ini,  perlu dicegah benturannya dengan supremasi hukum.

Atas dasar pemikiran perlunya prioritasisasi supremasi hukum itulah,  maka  tugas bersama Polri dan KPK dalam penegakan hukum  pemberantasan korupsi, yang utama adalah meniadakan supremasi kekuasaan. Sebab, jika supremasi kekuasaan yang didahulukan, maka rasa keadilan masyarakat bisa tersingkirkan, betapa pun besarnya kerinduan dan tuntutan publik ke arah itu.

Namun, kendati  opini publik harus senantiasa mampu ”dibaca” dan dijadikan arah penyesuaian kebijakan dan tindakan Polri,  KPK, atau siapa saja, tetapi memosisikan opini publik sebagai sebuah norma hukum sah (legal formal), dapat bersifat kontraproduktif bagi kinerja lembaga negara, ata lembaga kemasyarakatan yang mana pun. Di sinilah pentingnya supremasi hukum, sebagai rujukan utamanya, tanpa mengabaikan arti penting opini publik. (80)

—Novel Ali, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas)
Opini Suara Merdeka 12 November 2009