11 November 2009

» Home » Suara Merdeka » Tumbal Konflik Lembaga Negara

Tumbal Konflik Lembaga Negara


Dalam setiap skandal dan sengkarut politik di suatu negara sudah pasti akan memakan korban rakyat. Negara adalah tempat rakyat hidup di dalamnya; dan rakyat menjadi artikulasi sekaligus justifikasi dari eksistensi sebuah negara.

Sistem demokrasi yang dianut oleh banyak negara saat ini menempatkan rakyat sebagai penguasanya. Posisi rakyat inilah yang kemudian menjadi suatu pertimbangan tersendiri di tengah berkembangnya kekuatan rakyat (people power) yang mulai tampak. Saya melihat betapa kekuatan rakyat dapat berbicara terhadap perisitiwa apa pun yang terjadi di internal negara sendiri.



Saat ini, bangsa dan negara Indonesia sedang dibalut oleh sebuah tragedi hukum (mafia peradilan) yang di dalamnya bermanuver kepentingan-kepentingan politik yang hendak memanfaatkan situasi atau mengambil bagian dari sengkarut masalah ini. Masalah yang sedang kita simak saat ini adalah perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi melawan Polisi Republik Indonesia.

Masalah yang sekarang masih bergulir bak bola panas ini terus menggelinding tidak pasti, menyebut banyak tokoh yang terlibat, kesaksian-kesaksian yang tidak konsisten, dan yang pasti adalah upaya kriminalisasi terhadap si cicak oleh sang buaya yang pelan-pelan sudah mulai terkuak melalui rekaman pembicaraan orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Melihat kasus yang sedang dalam penyidikan dan proses berbelit itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebagai suatu pelajaran dalam setiap persoalan yang menyangkut dan melibatkan rakyat banyak di sebuah negara. Karena bagi Indonesia yang masih tersengal dalam ranah kemiskinan yang semakin parah, kasus korupsi seperti itu, yang telah merugikan negara dengan dana triliunan, mempunyai efek bagi stagnasi akan mekanisme negara dan pemerintahan yang berakibat kepada keterpurukan rakyat kecil sendiri pada akhrirnya. Di sinilah kekhawatiran yang harus benar-benar diperhatikan oleh semua pihak.
Penyumbatan Pertama, mekanisme negara yang buntu. Saya bisa melihat dengan jelas bagaimana besarnya dampak tindak korupsi yang terjadi di suatu negara terhadap mekanisme dan jalannya rode pemerintahan.

Apalagi korupsi itu melibatkan pejabat negara dan lembaga peradilan sendiri di mana semestinya mereka menjadi pengontrol dan lembaga yang bertanggung jawab terhadap masalah korupsi di suatu negara. Namun di Indonesia, mafia peradilan itu telah menjadi kebiasaan nyinyir sejak Orde Baru dan terus membusuk hingga sekarang. Anehnya, meskipun era reformasi sudah terjadi namun reformasi dalam sistem institusi di ranah ini masih jauh dari harapan. Mafia-mafia terus bertebaran di lembaga ini.

Sebagai sebuah sistem yang kompleks, lembaga-lembaga di bawah negara juga akan merasakan dampaknya dari kongkalikong masalah korupsi. Bahkan lembaga ekonomi, seperti digelisahkan oleh Sri Mulyani sebagai menteri keuangan, juga mendapatkan dampaknya. Kepercayaan para investor dan pelaku pasar pun terhadap Indonesia menjadi semakin menurun dan pasar makro semakin loyo meskipun tidak terlalu signifikan.

Tapi yang pasti persoalan korupsi memang telah merapuhkan sendi-sendi paling urgen dalam tatanan sebuah negara. Kasus yang menjerat dan melibatkan lembaga peradilan dan kepolisian ini telah memberikan pengaruh ketidakpercayaan dari para pelaku di sektor ekonomi yang menjadi salah satu pilar bagi kemajuan sebuah negara.

Tumbal kedua yang menjadi muaranya adalah rakyat kecil. Rakyat kecil yang tidak mempunyak akses pemahaman dan pengetahuan dalam konteks ini, apalagi di Indonesia lebih dari 10 persen rakyatnya berada di bawah garis kemisninan dengan keterbatasan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan hidup, akan menjadi korban paling parah karena mereka sepenuhnya menjadi bulan-bulanan di tengah kasus yang panjang dan melelahkan tersebut. Rakyat yang bernasib seperti di atas hanya menjadi alat kekuasaan belaka. Peran mereka dalam proses kebijakan dan kekuasaan sama sekali diputus oleh kekuasaan itu sendiri.

Stabilitas internal negara yang tidak menentu ini perlahan akan mengancam integrasi NKRI kita. Praktik-praktik ketidakpuasan warga terhadap ketidakadilan kebijakan negara akan marak bermunculan.

Hal itu maklum saja karena rakyat kecil yang tidak mempunyai kesadaran terhadap kasus besar itu adalah mereka yang hanya untuk bertahan dengan makanan sehari-hari saja sangat sulit.

Dalam analisis tentang negara demokrasi, rakyat menjadi pangkalan utama dalam setiap proses dan mekanisme yang menyangkut dengan dengan negara. Sehingga posisi rakyat menjadi sangat urgen di bawah negara. Jika sebuah kasus telah menyumbat dan merusak stabilitas sosial yang menyangkut dengan kepentingan rakyat, seperti korupsi, maka sebuah negara harus berinisiatif terhadap penyelamatan kondisi tersebut. Rakyat jangan dibiarkan terus menjadi korban dan objek yang selalu dieksploitasi oleh kepentingan sesaat.

Melihat kasus-kasus kebobrokan yang terus melapuk di tubuh negara, sementara itu di lain pihak banyak rakyat kelaparan seperti di Yahukimo dalam 2 bulan terkahir, ini semakin menunjukkan bahwa Indonesia tidak salah jika dicurigai sebagai negara yang semakin lemah dan bahkan bisa gagal pada akhirnya. Dalam terminologi Daniel T, seorang profesor hukum International di Universitas Zurich, kondisi negara yang demikian lapuknya dikategorikan sebagai negara tanpa pemerintahan (etats sans gouvernement). (80)

—Bje Soejibto, analis sosial politik di FISHUM, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Opini Suara Merdeka 11 November 2009