11 November 2009

» Home » Jawa Pos » Akhiri Kriminalisasi KPK

Akhiri Kriminalisasi KPK

Pergulatan wacana kriminalisasi terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berlanjut. Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membuka rekaman penyadapan KPK, sebuah skandal besar terungkap. Parade kebusukan seperti dipertontonkan kepada rakyat Indonesia. Berbagai pihak terseret dalam pusaran pergolakan yang semakin lama semakin besar ini.

Tambal sulam kebohongan terjadi. Hingga akhirnya Tim 8 menguraikan sejumlah kejanggalan di balik proses hukum kontroversial tersebut (9/11). Bahkan, dikatakan, percuma kasus tersebut diajukan ke pengadilan. Di sisi lain, Kejaksaan Agung juga mengembalikan berkas kepada kepolisian dengan alasan, bukti belum lengkap.
Kasus ini dimulai dari proses hukum terhadap dua pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah. Sedari awal, masyarakat ragu akan motivasi di balik penetapan tersangka unsur pimpinan KPK tersebut.

Pengalaman Publik

Perilaku petinggi kepolisian dan komunikasi intensif seorang mafia bisnis dengan petinggi institusi penegak hukum membangkitkan ingatan dan pengalaman masyarakat saat berhubungan dengan aparat penegak hukum. Dalam beberapa kali demonstrasi "Cicak vs Buaya" di berbagai tempat di Jakarta, saya sering ditemui banyak orang yang mengaku sebagai korban mafia hukum.

Akhirnya, kekesalan publik tersebut menjadi tak terbendung. Saya yakin, hampir setiap rakyat Indonesia pernah bersentuhan langsung dengan perilaku oknum-oknum kepolisian tersebut. Mulai hal yang biasa, hingga masalah pelanggaran lalu lintas, pengurusan SIM, surat kelakuan baik, para pencari kerja, pelaku usaha, mahasiswa, guru, dosen, dan bahkan tukang ojek dan becak.

Keresahan komunal tersebut kini menemukan momentumnya ketika penyadapan komunikasi mafia bisnis dan sejumlah penegak hukum tentang dugaan rekayasa sebuah kasus, kisah mobil mewah, succes fee advokat (borongan untuk polisi dan jaksa) Rp 5 miliar diperdengarkan di sebuah persidangan MK yang terbuka untuk umum.

Sayang sekali, kondisi seperti ini, agaknya, tidak terbaca oleh para wakil rakyat yang melakukan rapat kerja di Komisi III DPR RI bersama Kepala Kepolisian (7/11) dan Jaksa Agung (9/11). Alih-alih serius mengungkap dugaan rekayasa di balik proses hukum dua pimpinan KPK dan memperjuangkan penguatan pemberantasan korupsi, DPR lebih terlihat sebagai bocah penurut. Memang, saat rapat kerja dengan kejaksaan, beberapa anggota Komisi III tersebut mulai memberikan pertanyaan kritis. Tetapi, tetap saja kesan kurangnya pemahaman para wakil rakyat dari aspek substansi kasus masih kentara.

Tim Delapan

Di sisi lain, ada sebuah tim kecil yang telah dibentuk untuk menverifikasi kebenaran proses hukum terhadap dua pimpinan KPK. Melalui Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 2009, tim yang beranggota delapan orang ini mencoba melakukan pemeriksaan demi pemeriksaan dari hari ke hari. Satu minggu berselang, beberapa anggota tim menyatakan kepada publik bahwa mereka telah menemukan titik terang dan bahkan melihat ada sesuatu yang hilang (missing link) dalam proses hukum Bibit dan Chandra.

Dengan sejumlah terobosan dan insiatif perorangan anggota tim, sangat diharapkan adanya sesuatu yang berarti dan lebih luar biasa daripada sekadar rekomendasi kepada presiden. Sebab, sifat output tim yang tidak mengikat sesungguhnya mengarah pada upaya pengalihan atau sekadar gula-gula (sugar cover) dari pahitnya persoalan mafia hukum ini. Misalnya, tim harus berani menyampaikan bahwa masalah Bibit dan Chandra bukan lagi soal personal, tetapi melibatkan sebuah struktur kekuasaan. Terutama, saat KPK dikepung oleh sebuah kekuatan corruptor fight back, yang hanya punya tujuan sederhana: KPK harus mati.

Hal ini tidaklah mengada-ada. Salah satu rekaman penyadapan yang mengklaim dirinya didukung SBY menyatakan secara tegas bahwa "nanti KPK akan ditutup". Apalagi, segala upaya mengeliminasi KPK pun terus terucap dari berbagai simpul politik di DPR, termasuk di salah satu rapat kerja Komisi III DPR RI dengan Kapolri. Agaknya, lembaga pemberantasan korupsi ini memang telah diposisikan sebagai pengganggu pesta para koruptor.

Yang menjadi pertanyaan serius di benak publik, apakah kepolisian juga dalam posisi menyerang KPK? Kapolri bilang tidak karena sedang melakukan proses hukum. Tetapi, agaknya, masyarakat sangat sulit percaya dengan jawaban berkarakter normatif tersebut. Dari awal, sinyalemen dan keanehan penanganan perkara dua pimpinan KPK ini sudah terlihat.

Konstruksi kasus yang akhirnya diarahkan pada pemerasan dan penyalahgunaan kewenangan sesungguhnya memberikan sinyal penting. Ketika pasal 12e UU 31/1999 jo UU 20/2001 dipilih, saat itu sesungguhnya kepolisian hendak menempatkan Anggoro dan Anggodo Widjojo di posisi korban. Ditambah dengan penggunaan pasal 23 UU 31/1999 jo 20/2001 dan pasal 421 KUHP tentang Penyalahgunaan Wewenang. Yang ingin dijelaskan ke masyarakat bahwa KPK telah sewenang-wenang terhadap seseorang bernama Anggoro karena melakukan pencekalan di luar proses yang diperbolehkan oleh hukum.

Padahal, berdasar keterangan KPK dan pengacara Bibit dan Chandra, pencekalan dilakukan ketika sejumlah bukti awal menunjukkan adanya dugaan aliran uang dari Anggoro kepada anggota DPR Komisi IV yang saat ini telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor. Salahkah pencekalan ini?

Catatan lain terkait kasus yang relatif lucu dan naif adalah keterangan saksi Ari Muladi tentang pemberian uang di suatu tempat di Jakarta. Pada hari yang sama, ternyata Bibit berada di Peru menjalankan tugas negara. Apalagi, setelah itu, Ari mencabut keterangannya dan bahkan menegaskan tidak pernah bertemu pimpinan KPK, apalagi menyerahkan uang.

Sejumlah catatan di atas sepatutnya membuat pimpinan institusi penegak hukum kita becermin. Melihat wajah mereka sendiri. Dan, Presiden SBY seharusnya sadar betul bahwa baik buruknya, cantik atau bopengnya wajah kepolisian dan kejaksaan sesungguhnya menunjukkan wajahnya sendiri. Masih belum terlambat menghentikan silang sengkarut persoalan penegakan hukum dan kriminalisasi KPK yang cenderung mirip dengan "opera sabun" ini. (*)

*). Febri Diansyah, peneliti hukum, anggota Badan Pekerja ICW
Opini Jawa Pos 11 November 2009