11 November 2009

» Home » Media Indonesia » Kesepakatan Suku Bunga Kredit belum Efektif

Kesepakatan Suku Bunga Kredit belum Efektif

ADANYA penurunan suku bunga acuan BI rate ketujuh kalinya selama delapan bulan terakhir ini dari 9,50% (November 2008) menjadi 6,5% (Juli 2009) tampaknya belum mendapat respons dari dunia perbankan dalam bentuk penurunan suku bunga kredit. Dengan turunnya BI rate, bank-bank besar yang memiliki cukup likuiditas seharusnya memberikan contoh bagi bank-bank papan menengah ke bawah dalam menurunkan suku bunga deposito dan kemudian bunga kredit. Faktanya, jauh dari harapan, penurunan BI rate memang telah direspons secara langsung pada penurunan suku bunga tabungan dan deposito, sedangkan untuk suku bunga kredit, perbankan berdalih bahwa dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyesuaikannya.

Masih belum hilang dari ingatan kita, para bankir pada beberapa bulan yang lalu mengatakan paling tidak dibutuhkan enam bulan untuk menurunkan suku bunga kredit. Mereka berlogika dalam waktu enam bulan tersebut bank akan menghimpun dana masyarakat dengan biaya yang lebih murah sehingga akan mampu pula menyalurkan kredit dengan bunga yang lebih murah. Anehnya batas waktu enam bulan yang mereka janjikan sudah berlalu, namun suku bunga kredit belum juga beranjak turun. Kini bunga kredit masih berkisar antara 13%-15%.

Lambannya penurunan suku bunga kredit ditengarai sebagai akibat masih tingginya imbal hasil (yield) atas SUN. Menurut hasil analisis yang dilakukan Bank Indonesia, tingginya yield obligasi pemerintah atau SUN dan obligasi konvensional dinilai telah mengurangi masuknya dana-dana masyarakat ke industri perbankan. Wajar saja jika perbankan tidak menurunkan suku bunga deposito dan kreditnya. Itu karena pemerintah ikut arus merebut dana masyarakat melalui global bonds, SUN, sukuk, dan obligasi pemerintah yang lebih menarik bagi investor.

Kesepakatan suku bunga
Salah satu langkah yang ditempuh Bank Indonesia untuk memaksa perbankan menurunkan suku bunga kredit adalah adanya kesepakatan 14 bank, yang menguasai 80% total aset perbankan, untuk memangkas suku bunga dananya hingga maksimal BI rate plus 150 basis poin (bps) atau saat ini 8,00%. Dalam bulan keempat terhitung sejak 1 September 2009, Bank Indonesia mengharapkan suku bunga simpanan perbankan berada pada tingkat 50 basis poin di atas BI rate atau maksimal 7%. Diharapkan, adanya kesepakatan tersebut akan memberikan efek positif bagi penurunan suku bunga kredit sebab dengan bunga dana (deposito) yang lebih rendah, bunga kredit diharapkan juga akan turun.

Untuk memastikan penurunan suku bunga, langkah pengawasan yang ditempuh Bank Indonesia adalah dengan mengawasi secara ketat net interest margin (NIM), yang merupakan selisih antara biaya dana dengan bunga kredit yang diberikan kepada nasabah, dari setiap bank yang telah menurunkan suku bunga simpanan nasabahnya. Apabila ternyata NIM dari bank tidak turun, Bank Indonesia akan memanggil bank yang bersangkutan. Sebagaimana diketahui bahwa rata-rata NIM perbankan adalah 5,5%, namun masih ada bank yang memiliki NIM mendekati 10%.

Setelah berjalan satu setengah bulan sejak adanya kesepakatan, terbukti tidak efektif. Hal itu ditunjukkan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia, yakni pada kuartal ketiga rata-rata suku bunga kredit masih bertengger pada level 15,13% atau hampir dua setengah kali lipat lebih tinggi daripada BI rate. Kecenderungan penurunan suku bunga kredit memang ada karena jika dibandingkan dengan kuartal kedua telah mengalami penurunan sebesar 69 bps dari sebelumnya 15,83%. Namun, tidak apabila dibandingkan dengan rata-rata cost of fund yang mencapai 6,85% maupun cost of loanable fund yang mencapai 8,77%.

Ketidakefektifan kesepakatan itu menunjukkan bahwa kesepakatan tersebut belum mampu menjawab permasalahan yang dihadapi oleh perbankan. Terdapat dugaan bahwa perbankan mendapatkan aliran 'hot money' maupun adanya pemberian suku bunga deposito istimewa kepada deposan prima. Jika dugaan itu benar, permasalahan yang dihadapi perbankan adalah tingginya cost of money. Dengan cost of money yang tinggi, bank tidak mungkin akan menyalurkan kredit dengan bunga yang rendah ditambah dengan tingkat risiko yang tinggi. Sementara itu, perbankan tentunya akan berhati-hati dalam menurunkan suku bunga deposito karena khawatir deposan akan lari yang dapat berakibat mengganggu likuiditasnya.

Dalam jangka pendek kesepakatan penurunan suku bunga kredit dirasakan tidak efektif, apalagi dalam jangka menengah dan panjang sudah dapat dipastikan tidak akan efektif karena di samping berlawanan dengan mekanisme pasar, Bank Indonesia tidak dapat memaksakan kesepakatan karena perjanjian ini tidak formal mengikat sehingga tidak ada sanksi yang dapat memaksa perbankan untuk melaksanakannya. Di samping itu tingkat persaingan dalam memperebutkan dana masyarakat antara perbankan dan pemerintah via SUN pun tampaknya ikut menyulitkan usaha penurunan suku bunga kredit.
Tampaknya para bankir saat ini lebih senang melakukan penyelamatan diri dan tanpa memedulikan kondisi sektor riil dengan mematok suku bunga tinggi. Akibatnya ekonomi yang masih lemah akibat krisis global akan tertatih-tatih untuk bangkit. Permasalahannya adalah apabila suku bunga kredit tidak juga kunjung turun, konsekuensinya investasi pada sektor riil akan semakin tersendat.

Sementara itu dari sisi perbankan, masih tingginya suku bunga kredit berpotensi akan menimbulkan kredit macet. Kondisi seperti ini pada akhirnya akan berdampak pada pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan pemerintah. Untuk itu, otoritas moneter harus terus mendorong agar suku bunga kredit turun pada level yang mampu memberikan return investment yang lebih besar daripada biaya investasi investor.

Oleh Makmun Syadullah, Peneliti Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan
Opini Media Indonesia 12 November 2009