21 Oktober 2009

» Home » Suara Merdeka » Belajar dari Nobel Ekonomi 2009

Belajar dari Nobel Ekonomi 2009

Hadiah nobel ekonomi tahun 2009 diberikan kepada akademisi dari Amerika Serikat (AS), yaitu Elinor Ostrom (76 tahun) dan Oliver Williamson (77 tahun).

Elinor Ostrom adalah profesor wanita dari Indiana University dan Oliver Williamson  adalah profesor dari University of California, Berkeley. Kejutan yang paling terasa dalam pemberian hadiah nobel tersebut adalah untuk pertama kalinya seorang wanita bisa memperoleh hadiah bergengsi tersebut, meski selayaknya Joan Robinson sudah mendapatkan beberapa tahun sebelumnya karena studinya dalam pasar persaingan tidak sempurna (imperfect competition).

Tetapi karena diduga Joan Robinson mempunyai ideologi Sosialis, maka rumor pemberian nobel untuknya tidak pernah menjadi kenyataan.

Pemberian hadiah nobel ekonomi pada tahun ini merupakan suatu yang istimewa pula karena dunia baru saja tertimpa krisis keuangan dan ekonomi global.  Muncul depresi ekonomi pada berbagai negara,  banyak orang kehilangan pekerjaan, kemiskinan merebak di mana-mana dan efeknya memunculkan bahaya patologis sosial yang begitu besar. Munculnya bencana ekonomi ini akibat ulah para spekulan yang tanpa pertimbangan moral mengobrak-abrik perekonomian global melalui pasar modal.

Panitian pemberian hadiah nobel ekonomi tentunya sangat berhati-hati dalam memberikan hadiahnya, karena khawatir pemberiannya bukan pada akademisi yang tepat, yang justru bisa menurunkan pamor karena salah dalam kriteria penilaian. Pengalaman pahit pernah dialami oleh panitia nobel ekonomi, ketika pada tahun 1997 nobel ekonomi diberikan kepada Robert Merton dan Myron Scholer, yang terkenal dengan ”Option Pricing Theory”. Baru saja nobel ekonomi diberikan ternyata lembaga ”head funds” raksasa yang mereka pimpin (Long Term Capital) mengalami kebangkrutan dan nyaris melumpuhkan sektor keuangan di AS.

Ostrom dan Williamson mendapat hadiah nobel karena kajiannya di luar ekonomi aliran utama (mainstream) yang sangat menekankan kepada kebebasan pasar, yang selama ini diagung-agungkan seperti tampak dalam aras kajian pasar bebas dan globalisasi. Kedua peraih hadiah nobel tersebut termasuk aliran ekonomi heterodoks, yang dalam analisisnya sering berada di luar ”pakem” ilmu ekonomi, yaitu dengan mengkaitkan dengan disiplin ilmu lainnya.

Kedua akademi peraih hadiah nobel yang sangat bergengsi ini berkaitan dengan tata kelola ekonomi (economic governance) secara memuaskan. Karya Ostrom yang utamanya berupa riset di sebuah bendungan di Nepal menunjukkan bahwa analisis kelembagaan (istitusi) non-pasar yang tadinya dianggap tidak penting justru dalam kajian ini menjadi begitu berperan dapat mensubstitusi kelembagaan pasar yang tadinya dianggap paling utama.

Bahkan, Ostrom dapat menunjukkan komunitas lokal kerap dapat mengelola sumber daya alam seperti kehutanan, perikanan, padang rumput, lapangan minyak dan sistem irigasi lebih baik dibandingkan ketika pemerintah berusaha mengelolanya. Biasanya pemerintah dapat mengelola sumber daya umum dengan baik jika diregulasi  dengan ketat melalui pajak dan pungutan, atau justru pengelolaannya diserahkan kepada swasta melalui langkah privatisasi.

Sementara itu jasa Williamson mengenai tata kelola ekonomi yang berkaitan dengan batasan firma dan menelaah penyebab naik turunnya perusahaan berdasarkan biaya dan kompleksitas transaksi. Suatu konflik dalam suatu organisasi bisa dipecahkan dengan mendasarkan diri kepada struktur hierarki yang dimilikinya. Jika mendasarkan diri kepada teori asasi tentang kekebasan pasar, maka konflik bisa diatasi dengan trik-trik khusus dan negoisasi, akan tetapi menurut Williamson konflik mudah diatasi apabila kompetisi justru dibatasi.

Majalah Forbes  mencatat Williamson menulis buku dengan judul Institusi Kapitalisme pada 1975. Buku teks ini berisi gagasan tentang ekonomi kelembagaan  yang menentang gagasan bahwa perusahaan hanya mesin pencetak laba, sebaliknya dia memfokuskan pada kontrak dan transaksi yang dapat menjelaskan struktur dan batasan perusahaan. 

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa dua peraih hadiah nobel tersebut sama-sama meneliti cara menciptakan kerja sama manusia melalui rekayasa bentuk kelembagaan. Keduanya sama-sama berusaha memahami kelembagaan non- pasar dan sama-sama memandang kelembagaan sebagai mekanisme pemecah konflik. Metode penelitian yang dilakukan oleh kedua peraih hadiah nobel berbeda, di mana Ostrom memanfaatkan metode studi kasus dan Williamson bergerak di ranah akal teoritis.

Manfaat bagi Indonesia

Pelajaran yang dapat dipetik dari kedua peraih nobel ekonomi pada tahun 2009 adalah dalam bidang pendidikan ilmu ekonomi, dalam riset maupun pengambilan kebijakan. Seperti diketahui selama ini pengajaran ilmu ekonomi terlalu mendasarkan diri kepada aliran-aliran ekonomi yang mendasarkan diri kepada pasar bebas.

Aliran ekonomi neoklasik begitu dominan, di mana tujuan suatu aktifitas ekonomi adalah efisiensi ketika permasalahan moralitas sering tidak mendapatkan porsi penting. Akibatnya, pengaruh langsung atau tidak langsung dapat dirasakan ketika cara-cara menghalalkan bisa ditempuh asal efisiensi, seperti merusak lingkungan, korupsi maupun bentuk-bentuk patologi sosial lainnya. Jadi sudah waktunya dalam mempelajari ilmu ekonomi diperkenalkan juga aliran ekonomi lainnya, seperti ekonomi kelembagaan, ekonomi sosialis, bahkan ekonomi syariah dan ekonomi Pancasila bisa menjadi teladan pendidikan ekonomi yang begitu baik.

Riset ekonomi yang dilakukan sekarang ini berdasarkan aliran ekonomi Neoklasik bertumpu kepada analisis kuantitatif. Analisis seperti ini tetap penting, asal data yang diperoleh benar seperti keadaan sejatinya objek yang diteliti. Kalau datanya salah, sudah pasti analisisnya akan menyesatkan, di mana apa yang masuk juga menjadi apa yang ke luar. Jika sampah yang masuk maka yang ke luar adalah sampah. Analisis kualitatif bisa menjadi pilihan utama atau bisa sebagai pelengkap dalam melakukan analisis kuantitatif, yaitu dengan melakukan metode campuran.

  Biasanya dalam analisis kuantitatif variabel-variabel yang tidak berpengaruh sulit dijelaskan dan penjelasannya bisa dilakukan dengan memakai analisis kualitatif. Belum lagi sekiranya variabel yang diasumsikan tetap (ceteris paribus) justru dominan dalam analisis, maka daya analisis kuantitatif menjadi lemah dan bisa disubstitusi dengan analisis kualitatif.

Pengambilan kebijakan ekonomi yang dilakukan sering tidak mempertimbangkan aspek kelembagaan seperti disarankan oleh Ostrom dan Williamson. Sebagai misal sekarang ini kelompok Bimbo merasa sangat khawatir dengan pengelolaan hutan Tangkuban Perahu yang akan diberikan kepada pihak swasta, karena nantinya justru akan merusak lingkungan karena motif utama perusahaan swasta biasanya mencari keuntungan tanpa memperhatikan tata kelola hutan yang semestinya sesuai dengan kaidah-kaidah pengelolaan hutan yang baik dan juga kearifan lokal yang ada di sekitar tempat tersebut.

 Bebagai kebijakan pembangunan yang dilakukan berbagai pemerintah daerah di Jawa Tengah mengalami kegagalan di beberapa daerah, seperti pembangunan pasar penampung komoditas unggulan daerah menjadi sepi dan mangkrak, maupun berbagai contoh lainnya yang mudah dilihat karena alasan utamanya motif ekonomi tanpa mempertimbangkan aspek budaya setempat (kearifan lokal).

Kota Solo dan Purbalingga  bisa sebagai contoh yang baik di mana kebijakan pembangunannya dengan mempertimbangkan aspek kelembagaan, khususnya kearifan lokal, seperti perpindahan pedagang kaki lima yang sukses di Solo maupun pembangunan rumah kumuh di Purbalingga dengan memakai budaya gotong royong.

Sejatinya pemberian hadiah nobel ekonomi tersebut merupakan pelajaran yang berharga bagi kita bahwa pemikiran ekonomi dari negara lain bisa benar atau salah tergantung kepada kondisi masing-masing daerah. Penyesuaian pemikiran dari negara lain perlu dilakukan, karena kita hidup di sini sementara banyak pemikir hidup di negara lain yang kondisinya bisa sama sekali berbeda. (80)


—Dr Purbayu Budi Santosa, pemerhati ekonomi kelembagaan FE Undip
Wacana Suara Merdeka 22 Oktober 2009