Rakyat Indonesia dan masyarakat internasional sering mengenang peran negara ini dalam forum internasional pada masa lalu. Terinspirasi cita-cita internasional dalam Pembukaan UUD 1945 dan sebagai strategi geopolitiknya, Indonesia sering menjadi pelopor gerakan internasional, baik di tingkat regional maupun global. Sebagai salah satu negara terluas di Asia dan terbanyak penduduknya, Indonesia merasa ”wajar” untuk menjadi pelopor, termasuk membentuk Gerakan Nonblok dan ASEAN.
Peran dan kiprah internasional Indonesia merosot sejak krisis keuangan Asia tahun 1998 walaupun belakangan ini sempat memelopori terbentuknya Piagam ASEAN dan menjadi tuan rumah Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim. Krisis tidak hanya melumpuhkan perekonomian Indonesia, tetapi juga mengakibatkan reformasi politik yang pada gilirannya mendorong pergantian pemerintahan yang cukup cepat.
Selain itu, bencana alam yang silih berganti dan ledakan bom di Bali dan Jakarta oleh para teroris semakin menyita perhatian pemimpin dan masyarakat Indonesia untuk membenahi ”garda belakang” politik luar negeri. Mau tidak mau, keterpurukan ekonomi dan perhatian utama pemerintah yang lebih terserap ke masalah-masalah dalam negeri membatasi kiprah Indonesia di luar negeri.
Dalam dua dekade terakhir, lingkungan global dan regional di sekitar Indonesia juga berubah. Sebagai institusi, ASEAN tidak hanya mampu memperbarui relevansi keberadaannya, tetapi juga mulai menjadi organisasi subregional yang diperhitungkan di Asia dan dunia.
ASEAN sukses merangkul kesepuluh negara Asia Tenggara yang berbeda sistem dan nilai-nilai politiknya. ASEAN menjadi motor gerakan regional seperti ASEAN Regional Forum (ARF), ASEAN Plus Three (APT), dan East Asian Summit (EAS). Selain dengan negara-negara besar mitra dialog, ASEAN juga menjalin hubungan antarkawasan, misalnya dengan Uni Eropa dalam Asia Europe Meeting (ASEM) dan negara-negara Amerika Latin (Mercusor).
Namun, ASEAN juga banyak menghadapi masalah internal, seperti lambatnya pengembangan kapasitas kelembagaan ASEAN, terhambatnya manuver ASEAN karena prinsip non-intervensi, tidak adanya ikatan untuk menjalankan kesepakatan, dan tidak adanya mekanisme untuk mentransformasikan kesepakatan dalam kerja sama yang konkret. Masalah kelembagaan ini tidak bisa diatasi sendiri oleh Indonesia karena membutuhkan kerja sama semua anggota ASEAN dalam proses yang panjang. Namun, Indonesia dapat berperan aktif mengatasi dua tantangan lain: pembentukan badan hak asasi manusia (HAM) regional yang diamanatkan dalam Piagam ASEAN dan penyelesaian konflik intra-ASEAN.
Lepas dari masalah-masalah demokratisasi Indonesia dan berbagai kasus pelanggaran HAM di Tanah Air, Indonesia dapat menjadi motor penggerak pembentukan Badan HAM ASEAN karena posisi Indonesia yang relatif lebih baik dari negara-negara ASEAN lainnya dalam kedua isu tersebut. Bila Indonesia mengambil peran yang lebih aktif dalam pembentukan Badan HAM ASEAN ini, idealnya tidak hanya cita-cita Piagam ASEAN yang tercapai, tetapi juga mendorong sistem HAM yang lebih baik di Indonesia. Yang dibutuhkan adalah kemauan politik Presiden SBY untuk bernegosiasi baik dengan para pemimpin ASEAN maupun dengan kelompok-kelompok yang terbiasa melecehkan HAM di dalam negeri.
Selain itu, sudah waktunya Indonesia menelaah pembentukan badan arbitrase ASEAN karena badan ini sangat relevan dengan kepentingan Indonesia. Selama ini negara-negara ASEAN yang mempunyai konflik perbatasan cenderung mengandalkan penyelesaian lewat Mahkamah Internasional, seperti kasus Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Malaysia, Batu Puteh antara Singapura dan Malaysia, serta konflik Candi Preah Viehar antara Thailand dan Kamboja.
Padahal, ASEAN dibentuk guna mewadahi dialog dan penyelesaian konflik secara damai antaranggotanya. Anggota ASEAN yang selama ini membawa kasus ke Mahkamah Internasional cenderung ingin mencari cara yang ”lebih mudah” dan menghindari konflik tajam dengan negara tetangga. Namun, akibatnya mekanisme penyelesaian konflik tidak terbangun di ASEAN.
Manfaat ASEAN bisa dipertanyakan bila tidak mampu meredam konflik dan mencari solusi damai antaranggotanya. Ini juga menjadi tantangan pembentukan ASEAN Security Community. Konflik-konflik ekonomi akan semakin tajam bila AFTA dijalankan nanti karena yang akan beroperasi bukan hanya harmonisasi kebijakan, tetapi juga hukum-hukum ekonomi yang berbeda antarnegara ASEAN. Karena itu, ASEAN harus segera membangun lembaga arbitrase regional yang selain dapat membantu anggotanya menyelesaikan konflik juga mengisyaratkan meningkatnya kemampuan kelembagaan ASEAN.
Momentum saat ini sangat tepat karena Kamboja sangat mengharapkan peran ASEAN (walau ditentang Thailand) dalam konflik Preah Vihear. Dalam pertemuan menteri luar negeri ASEAN minggu lalu di Singapura, kekhawatiran ASEAN sudah disuarakan oleh PM Lee Hsien Loong dalam pidato pembukaannya. Namun, Indonesia tidak perlu ”langsung terjun” dalam kasus Preah Vihear dan mendesak pembentukan badan HAM regional dalam KTT ASEAN akhir minggu ini di Thailand.
Revitalisasi peran Indonesia melalui ASEAN harus direncanakan secara cermat supaya kebijakan yang kita perjuangkan secara nyata menguntungkan kepentingan Indonesia. Partisipasi Indonesia dalam dua isu di atas perlu direncanakan secara matang dan dikaitkan dengan tujuan-tujuan nyata, misalnya pengamanan wilayah negara supaya tidak diklaim para negara tetangga dan untuk membangun perlindungan HAM Indonesia yang lebih baik.
Departemen Luar Negeri perlu bekerja sama dengan berbagai pihak dalam negeri untuk menyusun skala prioritas. Selain berbagai masalah pembangunan ekonomi dan perlindungan alam, yang paling mendesak saat ini adalah kasus-kasus riil seperti menuntaskan penetapan batas wilayah laut dengan negara tetangga, pencurian sumber daya alam (di laut dan darat), perburuan koruptor di negara tetangga, dan perlindungan TKI.
Masalah-masalah ini menunggu kiprah internasional SBY yang lebih asertif. Revitalisasi peran internasional Indonesia dapat sejalan dengan kepentingan nasional negara ini.
Opini Kompas 27 Oktober 2009