27 Oktober 2009

» Home » Suara Merdeka » Kembali ke Hakikat Sumpah Pemuda

Kembali ke Hakikat Sumpah Pemuda

Masihkah para elite bangsa Indonesia memiliki toleransi untuk meninggalkan semangat elitis mereka, seperti dilakukan oleh para elite pada masa Sumpah Pemuda?

HASIL Kongres Pemuda Indonesia pada 1928 antara lain adalah rumusan sikap positif para elite pemuda Indonesia yang amat strategis tentang keragaman budaya. Mereka datang meewakili berbagai organisasi kepemudaan, agama yang ada di Indonesia dan sebagainya. Rumusan itu terkenal dengan nama Sumpah Pemuda. Isinya mengumandangkan pengakuan adanya hanya satu tanah air bersama, yaitu Indonesia, satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia, dan bahasa Indonesia yang satu sebagai bahasa persatuan Indonesia.

Hakikat semangat Sumpah Pemuda itu tidak mengingkari keberadaan berbagai nusa dan daerah yang ada, namun berada dalam tanah air yang sama. Demikian juga tidak ada pengingkaran akan keberadaan berbagai suku maupun keturunan bangsa, namun hanya ada satu bangsa bersama, yaitu bangsa Indonesia.

Termasuk pula tidak ada pengingkaran akan adaa dan berlakunya berbagai bahasa daerah yang tetap hidup dan berkembang. Namun diakui hanya ada satu bahasa sebagai bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Dengan kata lain bisa dikatakan mereka telah mampu mengesampingkan semua perbedaan, dan mengakui perlu ada satu alat komunikasi bahasa dalam pergaulan berbangsa dan bernegara.

Sepintas lalu nyaris tidak lagi ada yang menyadari betapa yang dimaksud dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan tidak lain adalah bahasa Melayu. Sementara itu semua orang sadar orang-orang Jawa pastilah merupakan utusan paling banyak yang menghadiri kongres itu. Dan semua orang tahu penduduk dari suku Jawa pastilah merupakan mayoritas sebagai penduduk anak negeri. Tidak pernahkah terbersit dalam pikiran kita pertanyaan mengapa para utusan yang orang Jawa mau menerima bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Dengan kata lain yang mayoritas menerima keputusan seperti tercantum dalam Sumpah Pemuda?

Ternyata pertanyaan cerdas itu muncul dalam sebuah acara halalbilhalal oleh DKJT (Dewan Kesenian Jawa Tengah) baru-baru ini ketika sastrawan Ahmad Tohari menyampaikan pidato kebudayaan. Dalam kesempatan itu dikemukakan pula jawaban atas pertanyaan itu. Dalam Kongres Pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda itu para elite Jawa telah menunjukkan kedewasaan sikap demi menegakkan semangat persatuan kebangsaan.

Para elite Jawa merelakan untuk menanggalkan sikap elitis, yang selama ini menjadi ciri utama kebudayaan Jawa. Konsep budaya Jawa yang adiluhung, termasuk bahasa Jawa yang sangat unggul sebagai bahasa kesusasteraan tidak ditawarkan sebagai bahasa bangsa Indonesia. Tidak bisa ditolak betapa pun Jawa itu serbamayoritas, sehingga amat menggoda hati untuk diakui superioritasnya. Mampukan untuk selanjutnya orang Jawa selalu menunjukkan sikap yang konsisten untuk meninggalkan elitisme dan menunjukkan toleransi dalam kehidupan bersama?
Lingua Franca Sejarah telah menunjukkan betapa bahasa Melayu, yang merupakan cikal-bakal bahasa Indonesia, telah berfungsi sebagai lingua franca atau bahasa pergaulan dengan baik antarbangsa di Nusantara. Sebetulnya bahasa Melayu berpotensi pula sebagai bahasa kaum elite Melayu dalam pergaulan internal kerajaan-kerajaan Melayu.

Ia juga memiliki kosakata elitis untuk para elite dan bangsawan, namun bahasa Melayu sangat egaliter dan demokratis dan mudah dipakai oleh orang bukan Melayu sekalipun. Bahasa itu pulalah yang digunakan oleh peserta kongres dalam berkomunikasi yang ternyata sangat efektif dan efisien. Hal-hal itu barangkali merupakan faktor objektif mengapa bahasa Melayu bisa diterima oleh semua pemakai, termasuk oleh orang Jawa.

Sejak awal bahasa Melayu banyak menyerap kosakata bahasa Arab, kemudian kosakata serapan banyak dimasukkan oleh kaum elite Jawa dari bahasa Sansekerta maupun yang sudah diturunkan menjadi bahasa Jawa kuno. Kita mengenal misalnya kata cakrabirawa, jalasveva jayamahe, satyalencana, adipura, anugerah, purnawirawan, wisuda dan sebagainya.

Dan selanjutnya ketika bahasa Indonesia mulai digunakan sebagai bahasa pengantar dalam komunikasi ilmiah banyak pula serapan dari bahasa orang Eropa maupun Inggris diterima, seperti demokrasi, republik, riset, aktivitas, biologi dan sebagainya. Prosesnya bukan lagi melalui proses alami dan sosial, melainkan sengaja dilakukan oleh lembaga resmi yang didirikan oleh pemerintah. Maka jadilah bahasa Indonesia makin sarat dengan berbagai kosakata asing.

Sebagai imbas dari perkembangan pergaulan sosial dan budaya, banyak pengguna bahasa Jawa maupun Sunda yang merasa terganggu kerena penggunaan bahasa daerah itu tidak lagi tumbuh sebagaimana diharapkan. Bahasa Indonesia telah dipakai secara merata oleh generasi muda, mengalahkan peranan bahasa daerah dalam pergaulan sosial, politik, ekonomi maupun pendidikan mereka. Mereka tidak lagi mahir atau merasa perlu bertutur dengan bahasa daerah, karena dianggap tidak bisa menyalurkan semua ide dalam pergaulan profesional mereka. Sebuah resiko yang tak bisa dipatahkan.
Terhambat Jika Ahmad Tohari amat memuji semangat toleransi kaum elite Jawa dengan menerima bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, ternyata semangat itu tidak selamanya mendasari solusi sosial budaya. Dalam Polemik Besar Kebudayaan pada tahun 1930-an antara kaum Pujangga Baru yang dipelopori ST Alisyahbana dengan Taman Siswa yang dipelopori KH Dewantara. Yang pertama amat mendambakan kemajuan yang berorientasi Barat, yang kedua amat bersifat reservasionis dan merindukan kejayaan masa lalu, dengan Majapahit sebagai model. Semangat Jawa seperti diberhadapkan kembali dengan semangat kemajuan. Sepertinya semangat toleransi mulai diragukan.
Kembali para elite bangsa dihadapkan pada isu kontroversial, antara penerimaan Pancasila murni, dengan Pancasila plus frasa ’’dengan kewajiban menjalankan  syariat islam bagi pemeluknya’’, sebagaimana termaktub dalam Piagam Jakarta. Ini terjadi tidak berapa lama setelah proklamasi kemerdekaan. Ternyata semangat toleransi dari kaum mayoritas, yaitu kaum muslimin, menjadi solusi penyelesaian masalah bangsa waktu itu. Mereka merelakan dihapusnya frasa tersebut dalam teks Pancasila. Tidak demikian halnya ketika para elit politik bangsa dihadapkan pada pilihan dasar negara pascahasil pemilu pertama, Islam, Pancasila, atau Sosialisme. Dalam sidang Konstiuante di Bandung para elite politik kita tidak menemukan kata kompromi. Semangat toleransi tidak lagi berbicara sebagai bahasa dalam demokrasi liberal pada saat itu. Kerelaan untuk mengalah untuk mencapai kompromi tidak lagi ada. Sebagai akibatnya solusi diambil dengan paksa oleh Presiden Sukarno, yaitu Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Semangat pemaksaan pendapat sebagai solusi politik mulai bergulir dan mulai digemari oleh para elite bangsa. Presiden Soekarno digulingkan oleh Jenderal Suharto dari kursi kekuasaannya. Dan selanjutnya Suharto setelah menjadi presiden yang terpilih secara ’’demokratis’’ selama 32 tahun oleh yang disebut kekuatan rakyat. Dua buah superioritas Jawa tumbang oleh semangat mitos ’’notonegoro’’. Kala itu berembus mitos bahwa proses pergentian kepemimpinan nasional dimulai dengan nama yang mengandung vokal no-to-ne-go-ro. Masihkan para elite bangsa Indonesia memiliki toleransi untuk meninggalkan semangat elitis mereka seperti dilakukan oleh para elite pada masa Sumpah Pemuda? (35)

—Abu Su’ud, Guru Besar Emeritus Unnes dan Guru Besar IKIP PGRI Semarang
Wacana Suara Merdeka 28 Oktober 2009