27 Oktober 2009

» Home » Kompas » Kabinet di Mata Rakyat

Kabinet di Mata Rakyat

Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu 2009 yang dilakukan pasangan SBY-Boediono menuai sejumlah wacana kritis. Pembentukan kabinet lebih diwarnai nuansa balas jasa partai-partai politik yang mendukung koalisi SBY-Boediono daripada profesionalisme individu menteri yang diangkat.
Sikap seperti itu diperkirakan akan menghasilkan kepemimpinan konservatif yang lebih mendorong terbentuknya stabilitas politik daripada kesuksesan program pembangunan. Akibatnya, banyak posisi menteri yang tidak sesuai rekam jejak keahlian person-person yang mendudukinya. Karena bernuansa bagi-bagi kue kekuasaan dan stabilitas politik, diprediksi kabinet itu tidak akan berjalan baik. Bahkan, akan ada reshuffle kabinet segera setelah 100 hari kerja.


Itu adalah wacana yang dikembangkan elite politik, pengamat, ahli, aktivis, insan universitas, dan lainnya yang memiliki akses ke media, termasuk yang mengkritik secara jujur, mereka yang tidak dapat jatah menteri, atau mereka yang jengkel terhadap SBY karena kecewa masa lalu. Namun, perlu diingat, wacana pergantian kabinet dari sisi rakyat (wong cilik) hampir tidak muncul di media. Padahal, wacana itu menyangkut nasib mereka. Bagaimana wacana pembentukan kabinet versi wong cilik? Apa harapan mereka terhadap Kabinet Indonesia Bersatu 2009?
”Wong cilik” soal kesejahteraan
Fakta menunjukkan, rakyat juga mengikuti wacana pembentukan kabinet (terutama) melalui televisi. Mereka juga membicarakan hal itu dengan logika dan bahasa awam, bahasa sehari-hari.
Namun, karena masalah komodifikasi isu dan pertarungan ekonomi politik media, isu-isu yang diusung rakyat kurang menarik dan tidak terekspos di media. Ironisnya, apa yang dibincangkan rakyat justru menjadi subyek politik representasi dalam wacana pembentukan kabinet itu meski secara nyata rakyat tidak terlibat. Contoh, kabinet itu mengusung isu peningkatan kesejahteraan rakyat, tetapi di media tidak pernah terungkap kesejahteraan versi rakyat yang betul-betul diwacanakan oleh wong cilik.
Jika mengikuti perbincangan wong cilik (petani, buruh, tukang becak, pengemis, penganggur, dan lainnya) dalam berbagai komunitas mereka, sebetulnya yang diharapkan dari kabinet adalah perubahan nasib. Rakyat tidak peduli bagaimana komposisi kabinet. Itu adalah produk perjanjian politik atau penempatan orang profesional karena yang penting, kabinet menghasilkan perubahan kesejahteraan yang nyata bagi rakyat.
Hasil pertarungan politik Pemilu 2009 yang menghasilkan kabinet saat ini, yang dalam bahasa mereka para pihak yang berkelahi berebut kursi kekuasaan (gelut pating penthalit) dengan mengatasnamakan rakyat (ancik-ancik wong cilik), harus dibayar dengan perbaikan kesejahteraan rakyat yang riil.
Komposisi kabinet semacam apa pun jika tidak bisa menghasilkan harga-harga bahan kebutuhan pokok, pendidikan, dan pelayanan publik yang terjangkau tak akan bermakna bagi rakyat. Contoh, pemerintah harus bisa menurunkan harga minyak goreng yang masih bertengger pada Rp 9.600, padahal dulu Rp 8.000. Harga gula pasir melonjak dari Rp 7.000 ke Rp 8.000. Dan kini, amat mustahil mendapat beras Rp 4.500 per kilogram karena kini sudah menjadi Rp 5.500.
Selain itu, kebijakan subsidi pendidikan terasa tidak logis karena hanya menyubsidi SD dan SMP. Logikanya, semakin tinggi jenjang pendidikan, seharusnya subsidi justru kian banyak. Jika pemerintah ingin mengubah nasib rakyat, subsidi bagi rakyat untuk masuk jenjang pendidikan SMA dan perguruan tinggi justru harus lebih besar dari pendidikan sebelumnya, tidak terbalik seperti saat ini.
Bagi petani, kesulitan mendapatkan pupuk menjadi bukti bahwa pemerintah tidak serius memperbaiki kesejahteraan petani. Pupuk harus dibeli melalui kelompok tani yang ditunjuk pemerintah dan dijatah sesuai kebutuhan. Kedatangan pupuk pun sering terlambat, membuat jadwal tanam bergeser, tidak pas dengan musik. Akibatnya, panen pun tidak optimal.
Selain itu, harga konsentrat untuk ternak juga melambung, membuat petani tidak bisa maksimal dalam menggarap sektor peternakan. Akibatnya, sektor itu hanya menjadi media subsistensi yang memperparah proses pemiskinan.
Menurut mereka, yang kini dibutuhkan adalah perluasan lapangan kerja secara riil dan bukan bantuan langsung tunai yang membuat rakyat kian tergantung dan menumbuhkan mentalitas berharap (njagagke). Akibatnya, hal ini berdampak rentan terhadap politisasi isu kesejahteraan untuk kepentingan politik sesaat.
Harapan rakyat
Mengingat rakyat sudah terlalu lama tertekan, hidup dalam impitan kemiskinan berkelanjutan, diberi janji tetapi selalu diingkari, dan selalu hanya menjadi subyek representasi politik dalam berbagai kebijakan pemerintah baik pada era otoriter maupun demokratisasi, maka kesadaran, pandangan, dan harapan mereka menjadi sangat pragmatis.
Mereka merindukan datangnya suatu zaman ketika bahan kebutuhan pokok, pelayanan kesehatan, dan pendidikan dapat dijangkau wong cilik. Dalam pandangan mereka, sistem demokrasi atau otoriter tidak penting. Yang mendasar adalah bagaimana rakyat bisa hidup layak. Karena itu, jika kabinet sekarang tidak mampu mewujudkan harapan peningkatan kesejahteraan rakyat, kabinet ini gagal meyakinkan rakyat bahwa demokrasi adalah jalan terbaik untuk semuanya.
Maka akan logis jika dikatakan, baik pemerintahan Orde Baru maupun pemerintahan SBY-Boediono sama-sama terperosok ke dalam model pemerintahan yang lalim. Perbedaannya, rezim Orba memolitisasi kesejahteraan sosial dengan mengorbankan demokrasi, pemerintahan SBY memolitisasi demokrasi dengan mengorbankan kesejahteraan rakyat.
Heru Nugroho Guru Besar Sosiologi UGM
Opini KOmpas 27 Oktober 2009