27 Oktober 2009

» Home » Suara Merdeka » Fadel di Tengah Kemiskinan Nelayan

Fadel di Tengah Kemiskinan Nelayan

NELAYAN terkenal karena kemiskinan. Fadel Muhamad terkenal karena kemampuan menurunkan angka kemiskinan masyarakat Gorontalo dari 72 persen menjadi 33 persen. Benar-benar fantastis.

Provinsi Gorontalo yang dulu minus kini malah mencapai pertumbuhan ekonomi 7-8 persen. Jauh di atas pertumbuhan nasional. Bahkan pada 2008 berhasil menembus angka 8,4 persen. Kegigihan mengangkat sektor pertanian jagung dan peternakan sapi andalan provinsi tersebut, terbukti sangat manjur.

APBD daerah itu terdongkrak lebih dari 60 persen dari Rp.262,81 miliar pada 2005 menjadi Rp.439,84 miliar pada 2006. Atas kehebatan itu, Bank Dunia memberikan predikat belanja publik terbaik pada Gorontalo dengan angka 72 persen. Presiden juga menganugerahi Piala Abadi untuk Penghargaan Ketahanan Pangan Tingkat Nasional 2004-2006.

Apakah kehebatan yang dimiliki dapat juga dipakai untuk mengubah nasib nelayan yang miskin itu menjadi sejahtera, setelah Presiden SBY memercayai menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan? 

Mendengar istilah nelayan, maka terbayanglah di benak kita komunitas orang-orang miskin yang hidup di wilayah pesisir dengan kondisi kehidupan yang tidak berdaya dan serbakekurangan. Kurang makan, sandang, papan, dan pendidikan.

Populasi masyarakat pesisir di negeri kita saat ini diperkirakan mencapai 16,42 juta jiwa. Mereka mendiami sedikitnya 8.090 desa pesisir. Menurut hasil analisis beberapa lembaga, tingkat kemiskinan atau Poverty Headcount Index (PHI) masyarakat pesisir rata-rata 0,3241. Angka tersebut mengindikasikan sekitar 32% dari populasi masyarakat pesisir berada pada level miskin.

Menteri Kelautan dan Perikanan sebelumnya (Periode 2004-2009), Freddy Numberi, memiliki misi mewujudkan tiga pilar pembangunan, yaitu pro-poor (pengentasan kemiskinan), pro-job (penyerapan tenaga kerja), dan pro-growth (pertumbuhan). Hasilnya, selama 2005-2008 Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah berhasil memberikan 3 (tiga) outcome.

Pertama,  pencapaian pro-poor, berupa peningkatan pendapatan masyarakat pesisir melalui program pemberdayaan masyarakat kelautan dan perikanan dan pemberdayaan masyarakat di pulau-pulau kecil yang telah menjangkau lebih dari 200 kabupaten atau kota. Kedua, pencapaian pro-job, berupa peningkatan penyerapan tenaga kerja kumulatif yang mencapai 7,69 juta orang. Ketiga, pencapaian pro-growth, berupa pertumbuhan ekonomi sektor kelautan dan perikanan sebesar 5,7 persen.

Lima Indikator

Setidak-tidaknya terdapat lima indikator makro hasil pembangunan kelautan dan perikanan selama lima tahun terakhir dapat dicatat. Pertama, Produk Domestik Bruto (PDB) sektor perikanan naik dari Rp. 59,64 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp. 136,43 triliun pada 2008.

Jika dilihat dari kontribusinya terhadap PDB nasional, maka kontribusi PDB sektor perikanan terhadap PDB nasional nonmigas mengalami kenaikan rata-rata per tahun sebesar 8,37 persen, dari 2,43 persen pada 2005 menjadi 3,08 persen pada 2008.

Pertumbuhan ekonomi subsektor perikanan selama 2005-2008 mengalami kenaikan rata-rata sebesar 5,7 persen, tertinggi dibanding subsektor lain dalam kelompok pertanian, meskipun kenaikan tersebut masih di bawah pertumbuhan ekonomi nasional nonmigas sebesar 6,5 persen.

Kedua, produksi perikanan mengalami kenaikan rata-rata per tahun sebesar 8,24 persen dari 6,87 juta ton pada 2005 menjadi 8,71 juta ton pada 2008 (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2009)
Data-data di atas seperti tidak bisa dimungkiri bahwa Freddy Numberi telah berhasil memimpin departemen mewujudkan peningkatan tiga pilar pembangunan yang semakin kokoh.

Tetapi fakta di lapangan masih banyak target-target yang belum dicapai antara lain Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor kelautan dan perikanan hingga akhir 2008 gagal digenapi targetnya.

Dari Patokan angka sebesar 215,78 miliar. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) RI hanya mampu memenuhi 48,18 persen atau setara dengan 104,19 miliar. Atas dasar inilah DKP pada 2010 akan memberlakukan pengelolaan perikanan dengan sistem kluster melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No 5 tahun 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap yang bertujuan untuk meningkatkan kontribusi pendapatan negara dari sektor perikanan.

Selang 17 bulan kemudian Permen ini diamandemen menjadi Permen KP No 12 Tahun 2009. Di dalam Permen KP tersebut tergambar betapa pihak swasta atau calon pemegang konsesi (bisa dari luar negeri) diberi kemudahan di dalam pengurusan izin dengan proses yang cepat dan diberi kesempatan untuk mengelola kawasan perikanan selama lebih dari 30 tahun.

Kluster Perikanan merupakan sebuah management measures yaitu pemberian konsesi kepada pihak tertentu (perusahaan) untuk mengelola sebuah kawasan perikanan tertentu. Ciri-ciri utama kluster perikanan adalah sifatnya yang eksklusif (perubahan ke rezim limited entry), penetapan kawasan perairan sebagai ”milik” satu perusahaan atau konsorsium, dan fishing ground (daerah penangkapan) tidak dapat diganggu oleh pihak lain (Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2008). Pengertian ini mengisyaratkan ada pengkavlingan kawasan perikanan laut.

Sistem Kluster Perikanan DKP seolah mengadopsi HPH (Hak Pengusahaan Hutan)-nya Departemen Kehutanan yang terbukti banyak menimbulkan masalah, karena pemegang HPH sebagian besar tidak amanah. Dan haqul yakin pemegang konsesi Kluster Perikanan juga akan berbuat serupa. Pemberian konsesi kepada sektor swasta untuk mengelola kawasan perikanan tangkap dengan segala keistimewaannya tersebut jika tidak amanah bukan mustahil pada 2015 Indonesia akan mengalami krisis sumberdaya ikan.

Bertentangan

Lebih jauh lagi apabila dicermati, maka Permen KP ini bertentangan dengan kode etik perikanan global tahun 1995 (FAO-Code of Conduct Responsible Fisheries) yang dalam satu pasalnya (Pasal 6) menyebutkan bahwa negara harus melindungi 1) hak nelayan dan pekerja perikanan skala kecil atas sumber mata pencaharian yang aman dan layak, 2) hak akses istimewa ke wilayah penangkapan dan sumber daya tradisional di dalam yuridiksi perairan mereka.

Dengan demikian semestinya alasan apa pun mengkavling laut yang merupakan ”kawasan milik bersama” tidak dibenarkan. Mengapa hanya karena ingin memenuhi target pendapatan negara saja harus mengorbankan nelayan kecil dengan mengurangi kebebasan mereka mengeksploitasi kekayaan laut milik nenek moyang mereka? Mengapa tidak serius mengganyang para pencuri ikan asing yang menjarah habis ikan-ikan di perairan laut kita? Mengapa tidak menghidupkan atau mengembangkan lembaga-lembaga adat yang memiliki kearifan lokal dalam menjaga sumber daya perikanan agar tetap berkesinambungan pemanfaatannya?

Sekarang kita menggantang harapan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan RI yang baru saja dilantik Presiden pada waktu yang lalu. Fadel Muhamad sebagai orang baru dan kebetulan menjadi orang nomor satu di Departemen Kelautan dan Perikanan, tentu dengan sigap dan adaptif telah memiiki referensi bukan hanya tentang persoalan kemiskinan nelayan atau masyarakat pesisir saja tetapi bahkan mungkin justru telah memiliki referensi bagaimana cara mengatasinya. (35)

—Hadi Pranggono, staf pengajar Fakultas Perikanan Universitas Pekalongan
Wacana Suara Merdeka 27 Oktober 2009