25 September 2009

» Home » Suara Merdeka » Mewaspadai Fungsi Laten Pendidikan

Mewaspadai Fungsi Laten Pendidikan

Pendidikan mempunyai posisi sentral dalam kehidupan manusia. Melalui pendidikan  potensi anak didik dikembangkan dalam tiga ranah, yaitu ranah kognitif yang berkaitan dengan olah otak, ranah afektif yang berkaitan dengan olah hati atau perasaan dan ranah psikomotorik yang berkaitan dengan olah otot. Selama masa pendidikan, anak didik akan mendapatkan bekal knowledge (pengetahuan), attitude (sikap) dan practice (ketrampilan).



Demikian kuatnya kesadaran akan pentingnya fungsi pendidikan, sampai-sampai konstitusi kita mengamanatkan minimum 20 persen APBN dan APBD dialokasikan untuk kepentingan pendidikan.

Pendidikan yang baik dipercaya dapat mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagi individu atau keluarga, pendidikan dipercaya sebagai jalan yang paling relevan untuk meningkatkan derajat kehidupan keluarga sehingga berlaku common sense  bahwa pendidikan dapat mempercepat terjadinya vertical social movement, yaitu perpindahan seseorang dari strata sosial yang lebih rendah ke strata yang lebih tinggi.

Itulah fungsi manifes pendidikan. Mulai dari membekali anak didik dengan pengetahuan, sikap dan keterampilan, mencerdaskan bangsa sampai meningkatkan derajat sebuah generasi. Fungsi manifes adalah fungsi yang dinyatakan, dikumandangkan, dan diakui oleh banyak orang.

Kehidupan ternyata  tidak selalu berjalan linier. Di samping ada fungsi manifes, ternyata berlaku pula fungsi laten. Fungsi ini tersembunyi, tidak pernah digembar-gemborkan, bahkan kadang-kadang tidak diakui keberadaannya, tetapi dalam kehidupan nyata ia ada dan berjalan dengan tenangnya.

Ketika masyarakat masih sederhana, fungsi pendidikan bagi anak sepenuhnya dijalankan oleh orang tua dengan kontrol dari masyarakat. Ketika kehidupan sudah demikian kompleks, orang tua tidak lagi sepenuhnya menguasai proses dan produk budaya masyarakatnya. Fungsi pendidikan kemudian diserahkan pada lembaga-lembaga pendidikan sebagai pengganti orang tua. Proses pendidikan lalu menjadi semakin rumit dan terspesialisasi. Sedemikian kompleksnya, sehingga lembaganya perlu diakreditasi, pendidiknya harus disertifikasi. Orang tua yang ingin anaknya mendapatkan pendidikan yang baik mencari lembaga pendidikan yang baik. Lembaga pendidikan lalu menjadi barang ekonomi, semakin langka semakin tinggi daya tawarnya. Lugasnya, semakin baik lembaga pendidikan, semakin tinggi biaya bagi anak didiknya.

Pertanyaannya, siapa yang dapat menyekolahkan anaknya pada lembaga-lembaga pendidikan yang dianggap baik? Siapa yang dapat menitipkan anak pada PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) atau PG (Play Group) yang sudah mematok SPI (Sumbangan Pengembangan Institusi, dulu namanya uang gedung) berkelipatan juta rupiah. Siapa yang dapat membiayai anaknya di SLTP dan SLTA yang begitu masuk harus menyediakan uang SPI, uang seragam, uang SPP, uang buku, uang LKS dan uang apa pun namanya yang jumlahnya membuat pusing sebagian besar orang tua di negeri ini. Lalu siapa yang dapat membiayai anaknya kuliah di universitas setelah tamat SLTA?

Jawabannya tentulah mereka yang berduit banyak. Bagi keluarga miskin, orang-orang lapisan bawah, pilihannya tidak banyak. Kalau bisa langsung SD, ya tidak usah lewat PAUD atau TK. Kalau ada SD terdekat, ya tidak usah milih-milih SD yang jauh, karena harus nambah ongkos transportasi. Sedapat mungkin anaknya masuk SMP karena pemerintah berjanji menggratiskan. Masuk SMA sudah keberuntungan.

Bagi yang ekonominya ada sedikit di atas, pilihannya bertambah, mau kuliah di mana? Para orangtua ini juga harus berpusing ria, karena ada banyak pilihan memasuki perguruan tinggi. Bagi orang tua yang ingin pusingnya cepat terobati, jalan terbaik adalah menganjurkan anaknya masuk lewat jalur ujian mandiri  yang diselenggarakan secara swadaya oleh banyak universitas negeri. Tentu saja mereka harus berlomba menjanjikan uang sumbangan kepada universitas tersebut.

Zaman sekarang ”ayem” bisa dicicil. ”Ayem” karena anaknya sudah ada kepastian masuk perguruan tinggi, bahkan jauh sebelum ujian akhir dimulai, tak peduli nanti pusing lagi karena harus mengembalikan hutang. Bagi yang agak tega, membiarkan anaknya menunggu SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) setelah anaknya benar-benar lulus nanti. Ada juga pilihan berikutnya kalau tak lolos keduanya, yaitu lewat jalur ekstensi atau apa pun namanya, yang tentu sumbangannya jauh lebih besar.

Bagi yang benar-benar berpunya, ada pilihan pamungkas, yaitu jalur kemitraan. Besar sumbangannya bisa jadi sepadan dengan biaya 10 - 20 mahasiswa ”biasa” dari masuk sampai lulus. Benar-benar tak rasional.

Begitulah kalau fungsi laten berproses. Anak orang miskin mendapat pendidikan sekadarnya, sehingga setelah dewasa juga tidak banyak pilihan kerja yang dapat diaksesnya. Yang dari lapisan tengah menyekolahkan anaknya sampai jenjang menengah dengan mutu  yang menengah pula. Sebaliknya, orang tua dari lapisan atas lebih leluasa memilihkan pendidikan bagi anak-anaknya sampai setinggi-tingginya dengan kualitas yang prima sehingga setelah lulus mereka dapat bekerja dengan baik dengan imbalan yang lebih baik pula. Akibatnya, tidak ada pergerakan sosial vertikal; yang ada hanya pergerakan sosial horizontal. Anak sopir angkot, menjadi calo angkutan. Anak pengasong koran menjadi pemulung kertas. Fungsi laten pendidikan adalah memelihara status quo. Menjaga agar struktur dan fungsi sosial berjalan seperti yang sedang terjadi.

Lalu bagaimanakah solusinya agar yang dominan berlaku adalah fungsi manifes, bukan fungsi laten? Dibutuhkan komitmen dan keberpihakan dari semua pfihak yang terkait! Lembaga pendidikan, terutama yang negeri, diharapkan tidak hanya menjaring anak-anak orang kaya yang mampu memberikan sumbangan besar, tetapi juga memberikan kesempatan bagi anak-anak yang kurang mampu. Potensi anak-anak kurang mampu tidak kalah dibanding dengan anak-anak yang terbiasa hidup nyaman. Skim subsidi silang tentu dapat dirancang dengan lebih adil.

Masyarakat diharapkan dapat berpikir jangka panjang dengan memperbesar investasi dalam dunia pendidikan. Sekarang ini sudah terjadi brain drain karena anak-anak unggulan kita banyak sekolah di luar negeri, dan hanya sebagian yang kembali pulang. Singapura setiap tahun merekrut anak-anak unggulan Indonesia untuk dididik di sana. Mereka difasilitasi asrama, uang saku, laptop, uang buku, tiket liburan. Bagi yang dari SMP masuk SMA difasilitasi dalam mencari perguruan tinggi setelah lulus nanti. Bagi yang mengambil kesarjanaan difasilitasi mencari kerja. Mereka boleh mengambil kredit selama sekolah, dan dapat diangsur setelah lulus. Ini benar-benar sistem ijon SDM yang halus mulus.

Peran pemerintah dalam hal ini sangat strategis. Amanat konstitusi tentu tidak selesai dengan menyediakan anggaran 20 persen. Dibutuhkan keberpihakan dalam pelaksanaan, penggunaan dan penegakannya. Pendidikan adalah hak seseorang yang dijamin oleh konstitusi. Belajar juga hak, bukan wajib. Mau belajar 9 tahun atau seumur hidup, itu hak. Yang wajib, pemerintah harus memfasilitasi agar seluruh warganya dapat bersekolah formal minimum 9 tahun.

Pemerintah juga harus menjaga komitmen untuk meningkatkan pemerataan akses dan mutu pendidikan. Paling tidak ada dua indikator yang menunjukkan kita masih lemah dalam pemerataan akses dan mutu pendidikan. Pertama, angka partisipasi sekolah (APS) menurun dengan tajam seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Jika APS SD sudah mendekati 100 persen, maka APS SLTP sekitar 70 persen dan APS SLTA rata-rata di bawah 50 persen. Kedua, masih terjadi kesenjangan yang sangat lebar pada sarana dan prasarana sekolah, antara pusat dan daerah, desa, dan kota. (80)

Wacana : 26 September 2009



  —Bambang Trisetyo Eddy, pengajar pada Fakultas Peternakan UNDIP, tinggal di Semarang

Skim subsidi silang tentu dapat dirancang dengan lebih adil. Masyarakat diharapkan dapat berpikir jangka panjang dengan memperbesar investasi dalam dunia pendidikan.