25 September 2009

» Home » Suara Merdeka » Kualitas dan Kesejahteraan Wartawan

Kualitas dan Kesejahteraan Wartawan

TUMBANGNYA kekuasaan Orba merupakan tonggak terbukanya kebebasan pers di Tanah Air, dan lahir UU 40/1999 tentang Pers. Siapa pun tak memungkiri, kebebasan pers telah berubah dengan pesat.

Dibubarkannya Departemen Penerangan pada awal pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) semakin membuka ruang dunia pers untuk menjalankan fungsinya tanpa khawatir untuk dibredel.

Bermunculan pelbagai ragam media baru yang memungkinkan siapa saja untuk mendapat informasi dari berbagai sumber yang berbeda. Secara tidak langsung, kondisi demikian telah memungkinkan masyarakat untuk lebih kritis dan cerdas dalam memilih dan menerima informasi. Tentu, terwujudnya kebebasan pers tidak bisa dijadikan ukuran untuk mengatakan bahwa kehidupan pers kita sudah mencapai taraf yang diharapkan.

Kebebasan pers itu sendiri bahkan sering dituduh oleh kalangan tertentu sebagai kebebasan yang ”kebablasan”. Tuduhan itu pula yang seringkali mendorong pihak-pihak tertentu, terutama yang tidak memahami dunia pers, beropini tentang perlunya kontrol pers oleh pemerintah sebagaimana terjadi pada masa Orba.

Yang jadi soal utama selama satu dekade kebebasan, sebenarnya justru kondisi stagnan pers nasional yang belum mampu mengangkat nasib wartawannya. Dari tahun ke tahun isu kekerasan terhadap wartawan masih mewarnai kehidupan pers kita. Itu pun masih ditambah dengan soal rendahnya gaji wartawan yang sedikit banyak ikut berpengaruh kepada kinerja dan kualitas jurnalisme mereka.

Sepanjang 2007, sebagaimana dilaporkan LBH Pers akhir tahun (27 Desember), tercatat 43 kasus kekerasan terhadap wartawan. Dari jumlah itu, 20 kasus berupa kekerasan fisik dan 23 sisanya berbentuk kekerasan nonfisik.
Delapan kekerasan dilakukan oleh aparat pemerintah, 7 oleh polisi, 5 oleh oknum LSM/ ormas, 4 oleh aparat keamanan, 3 oleh mahasiswa, 2 oleh anggota parlemen, 2 kasus oleh preman, serta masing-masing 1 oleh parpol dan oknum anggota TNI.

Tingginya angka kekerasan terhadap wartawan tersebut dapat disimak dari dua sisi. Pertama, dilihat dari para pelakunya, banyak pihak yang kurang memahami posisi penting pers di masyarakat. Tindakan kekerasan tersebut selain menunjukkan kecenderungan sikap main hakim sendiri di kalangan masyarakat, juga mengisyaratkan bahwa dalam kondisi tertentu perlakuan masyarakat terhadap wartawan bisa seperti terhadap musuh atau penjahat tertangkap yang siap untuk dipukul.

Dari sudut pandang yang lain, perlindungan terhadap kerja wartawan masih jauh dari memadai. Aksi kekerasan, setiap saat bisa mengancam wartawan mana pun. Celakanya, proses hukum yang berlangsung cenderung tidak kedengaran hasilnya.

Banyak media, bahkan kurang memperhatikan proses hukum itu, sehingga masyarakat tidak bisa belajar dari kasus-kasus tersebut, yang akibat lanjutannya adalah munculnya anggapan ”lumrah/biasa” atas kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan.

Rendahnya Gaji

Pada Mei yang lalu (2007) para aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Aliansi Buruh Menggugat, memperjuangkan upah layak minimum jurnalis Jakarta sebesar Rp 3,1 juta/ bulan.

Standar tersebut sebenarnya pernah diajukan setahun sebelumnya (2006), namun hingga mereka turun ke jalan, dan bahkan hingga saat tulisan ini disusun (Februari 2008), tetap saja masih mengawang di negeri mimpi.

Tuntutan AJI tersebut bukanlah tanpa alasan. Sebagai profesi yang memiliki risiko dan tekanan kerja sangat tinggi, gaji kebanyakan wartawan saat ini masih jauh dari memadai. Di antara mereka bahkan masih berada pada angka gaji buruh yang dipatok ketentuan Upah Minimum Provinsi (UMP).

Pada Maret 2007, Budisantoso Budiman menulis artikel seputar gaji wartawan dengan memaparkan hasil survei AJI bersama Lampung Media Center (LMC) yang menunjukkan bahwa ”nilai nominal skala gaji pokok dan upah wartawan di Lampung secara riil berada pada kisaran: Tinggi, gaji pokok di atas Rp 1 juta per bulan dengan fasilitas tambahan lain-lain penghasilan yang sah; Sedang, antara Rp 500.000 sampai Rp 750.000 per bulan dan fasilitas tertentu yang terbatas; dan Rendah: di bawah UMP Rp 550.000 per bulan tanpa fasilitas tambahan apa pun.

Menanggapi tuntutan AJI tersebut, Dewan Pers sebenarnya pernah ikut bersuara, antara lain melalui salah satu anggota seniornya, Leo Batubara, yang mengatakan di Tempointeraktive.Com (21/07/06) bahwa Dewan Pers akan menyusun dua standardisasi perusahaan pers agar wartawan mendapatkan gaji yang layak.

Standar pertama, adalah permodalan. Hanya perusahaan pers yang mempunyai modal yang cukup saja yang dapat membuat penerbitan. Standar kedua, adalah standarisasi pengupahan yang kriterianya dibuat oleh komunitas jurnalis. Sayangnya, janji Dewan Pers tersebut hingga kini belum terdengar realisasinya.

Persaingan Media

Meskipun tidak terlalu signifikan korelasinya, maraknya persaingan antarmedia di masyarakat juga ikut memengaruhi persoalan penggajian terhadap wartawan. Berdasarkan logika linier, semakin banyak media yang terbit mestinya akan meningkatkan standar gaji wartawan sebagai strategi perusahaan untuk mengatasi kemungkinan turnover.

Logika tersebut memang berlangsung di media penyiaran, terutama televisi, namun tidak terjadi di media cetak.

Yang dilakukan media cetak baru, umumnya tidaklah dengan merekrut (”membajak”) jurnalis media cetak yang sudah mapan, tapi cukup dengan merekrut para freshgraduate atau para pelamar yang belum tentu berpengalaman di dunia kewartawanan untuk dilatih sebentar dan dalam waktu singkat menugaskan mereka ke lapangan. Akibatnya, betapa pun semakin banyak bermunculan media cetak baru, standar gaji para wartawan tetap saja terabaikan.

Dalam realitas, tak banyak wartawan, terlebih yang bekerja di media kecil yang tak mampu menggaji secara layak, yang bisa bertahan mengarahkan diri ke sisi idealisme tersebut.

Kenyataan itu diperparah oleh terabaikannya persoalan mereka oleh rekan-rekan seprofesi yang nasibnya relatif lebih baik. Kenyataan tersebut antara lain bisa disimak dari perjuangan AJI, yang bukannya mendapat dukungan dari kebanyakan wartawan, melainkan malah cenderung terabaikan dan bahkan kurang mendapat publisitas.

Kurangnya dukungan ataupun gaung dari upaya AJI tersebut bisa jadi merupakan salah satu indikasi belum harmonisnya hubungan asosiasi wartawan. Padahal, sejak gerbang kebebasan pers terbuka, bermunculan tak kurang dari empat puluhan asosiasi wartawan.

Di antara mereka memang terbentuk tanpa menunjukkan aktivitasnya. Namun, dengan keberadaannya sebanyak itu, apabila masing-masing organisasi bisa bekerja sama secara harmoni, mestinya dunia wartawan memiliki kekuatan tawar yang tak bisa disepelekan.

Dalam peristiwa-peristiwa tertentu, terutama saat terjadi kekerasan terhadap wartawan, biasanya sejumlah asosiasi dapat bersama-sama melakukan aksi protes atau tuntutan hukum. Begitu juga dalam penyusunan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), walaupun masing-masing asosiasi telah memiliki kode etiknya, mereka bisa bersama-sama duduk semeja untuk membubuhkan tanda tangan.

Mestinya, kebersamaan tersebut bisa semakin intensif, terutama dalam hal perjuangan nasib untuk meningkatkan profesionalisme dan kualitas serta kesejahteraan wartawan. (68)

Wacana : 09 Februari 2009
––– Wisnu T Hanggoro, direktur Lembaga Studi Pers dan Informasi (Lespi) Semarang.