25 September 2009

» Home » Okezone » Lebaran

Lebaran

KELIRU menganggap apa yang disebut sebagai Lebaran cuma urusan selesai puasa dan memakai pakaian baru belaka. Masih terlalu banyak hal yang bisa apabila mau direnung demi mencari hikmah lebih luas dan mendalam.

Misalnya akibat tradisi mudik, mendadak diskriminasi kasta sosial berdasar profesi lenyap. Para induk semang baru tersadar betapa penting, bahkan vital sebenarnya, peran mereka yang disebut para pembantu rumah tangga bagi kehidupan rumah tangga setiap insan manusia Indonesia. Pada masa Lebaran, akibat tradisi mudik yang merupakan peristiwa perpindahan manusia terbesar di planet bumi ini, mendadak para induk semang harus mempersiapkan diri untuk mengurus urusan rumah tangga secara mandiri tanpa pembantu.
Atau melakukan negosiasi dengan para pembantu rumah tangga masing-masing agar tidak melakukan mudik. Bentuk negosiasi beraneka ragam, mulai dari ramah dengan rayuan ditambah bonus sebulan gaji, sampai yang berbentuk ancaman apabila mudik tidak perlu balik dari desa untuk kembali bekerja di lapangan kerja yang sama! Di samping mudik, ada pula arus gerakan massa yang bersifat hilir, yakni mereka yang di masa Lebaran justru meninggalkan rumah atau kampung halaman masing-masing untuk berlibur, baik secara senang hati atau sekadar terpaksa akibat tidak ada pembantu rumah tangga.

Bahkan tidak sedikit keluarga yang terpaksa pindah bermukim di hotel di kota yang sama sekadar akibat para pembantu rumah tangga mudik! Ada pula yang dilahirkan di pedesaan dan domisilinya juga tetap di pedesaan, tapi mudik mereka justru ke desa lain atau bahkan melawan arus justru dari desa ke kota! Ada juga keluarga yang kebal dampak masalah mudik, karena di samping semua anggotanya berdomisili di rumah atau kota yang sama, kebetulan mereka juga tidak punya pembantu rumah tangga yang mudik atau senantiasa siap hidup mandiri tanpa pembantu rumah tangga.

Pendek kata, diakui atau tidak, secara langsung atau tidak langsung, di masa Lebaran, para pembantu rumah tangga memang lebih menentukan gaya hidup para majikan mereka ketimbang sebaliknya. Para pembantu rumah tangga yang tidak bisa dirayu dengan imbalan dana sebesar apa pun demi mudik juga membuktikan bahwa di antara bumi dan langit tidak semua bisa dibeli dengan uang! Yang mengharukan, meski langka, tetapi bukan mustahil terjadi di masa Lebaran adalah keluarga majikan yang dengan kendaraan mobil yang dikemudikan oleh kepala keluarga sendiri dengan bahagia mengantar pembantu rumah tangganya mudik sampai ke rumah di pedesaan untuk berhalal-bihalal di desa sang pembantu.

Di situlah justru terasa makna keindahan sejati Hari Raya Idul Fitri dalam makna yang benar-benar sebenarnya benar! Tidak kalah menarik disimak adalah dampak perekonomian akibat Idul Fitri. Yang jelas produktivitas di bidang industri mandek, termasuk produktivitas industri pelayanan pemerintah secara prinsip mandek! Praktis semua kantor dan pabrik tutup di masa Idul Fitri, bahkan mayoritas lebih lama ketimbang cuma dua hari yang benar-benar merupakan hari raya.

Namun di antara sekian banyak produk jasa pelayanan, terutama jasa pelayanan pemerintah terhadap masyarakat, terdapat pula beberapa yang tidak mandek karena tidak boleh mandek seperti bapak dan ibu polisi yang justru bekerja lebih keras ketimbang di hari-hari bukan Idul Fitri, mengawasi dan mengatur lalu lintas yang volumenya luar biasa membengkak- bukan hanya di hari rayanya sendiri, namun mulai lima hari sebelum hari H yang sebenarnya lebih tepat disebut sebagai hari L, hari Lebaran.

Demikian pula para perawat dan dokter di rumah-rumah sakit, harus tetap siap siaga di masa orang lain bersuka ria merayakan Lebaran karena penyakit dan kecelakaan tetap bisa menimpa siapa saja tanpa pandang hari raya atau hari biasa! Di sisi lain ternyata ada bisnis yang diuntungkan seperti parsel, transportasi, hotel, sampai rent a housekeeper sebagai surogat pembantu rumah tangga yang mudik.

Harga komoditas pokok juga memperoleh kesempatan untuk dinaikkan yang setelah Lebaran pun bisa dipertahankan jangan sampai turun kembali. Salah satu kedunguan saya adalah selalu menafsirkan segala sesuatu yang Arab sebagai kebudayaan islamiah dan sebaliknya. Untung ada Gus Dur yang selalu menyadarkan saya atas kekeliruan tafsir itu. Berulang kali Gus Dur mengajari saya bahwa yang Islam belum tentu Arab dan sebaliknya.

Lihat saja begitu banyak orang Arab hidup di Yordania, Suriah, Palestina, bahkan di kota suci ketiga Islam: Yerusalem, beragama Nasrani. Tidak semua kebudayaan Islam di Indonesia harus sekaligus kebudayaan Arab. Maka Hari Raya Idul Fitri di Indonesia memang beda dengan di Arab Saudi, yang tidak ada dentuman beduk, ledakan petasan, ketupat, rendang, gulai kolak, menyemarakkan suasana Idul Fitri yang didahului tradisi mudik dan diakhiri tradisi halalbihalal. Wali Songo telah membentuk kebudayaan Islam khas Indonesia di persada Nusantara.

Perbendaharaan mahakarya kesenian Islam seperti tari Saman dari Aceh, irama rentak musik Melayu, pantun, ti

ti nada pelog pada musik gamelan Jawa, rebab, siter, mocopat layak dinobatkan oleh UNESCO menjadi world heritage kategori kebudayaan nonbendawi asli Indonesia. Busana muslim rancangan para adibusanawan Indonesia memiliki jati diri napas dan sukma beda dari busana Arab.

Istilah kata 'lebaran' itu sendiri sudah menegaskan bahwa kebudayaan Islam di persada Nusantara memiliki corak dan bentuk khas nan mandiri. Dan semua itu hanya bisa terjadi di sebuah negara dan bangsa bernama Indonesia! (*)

 Opini Okezone : 26 September 2009
JAYA SUPRANA