25 September 2009

» Home » Kompas » Menemukan Kembali Depkes

Menemukan Kembali Depkes

Berkali-kali Departemen Kesehatan dikritik tidak meletakkan prioritas penanganan kesehatan di Indonesia. Meski terjadi pergantian pejabat, kritik tak memacu perubahan.
Bergemingnya Departemen Kesehatan (Depkes) atas berbagai usulan tentang perannya kini, karena struktur organisasi Depkes praktis tidak berubah meski sejak UU Desentralisasi, urusan kesehatan termasuk urusan yang didesentralisasikan.


Meminjam istilah Peter Senge (Fifth Discipline, 1990): meski pejabat berbeda, selama struktur masih sama, perilaku akan tetap serupa. Artinya, perubahan akan terjadi jika struktur diubah.
”Menemukan kembali”
Dalam pidato di depan Sidang Paripurna DPR Agustus lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ingin melanjutkan reformasi birokrasi. Karena itu, diusulkan agar Depkes menjadi prioritas. Meminjam istilah David Osborne dan Ted Gaebler (Reinventing Government, 1992): kita mencoba ”menemukan kembali” Depkes.
Prinsip pertama dan terpenting, pemerintah harus mengendalikan, bukan mendorong. Argumennya, lembaga yang membina dan mengawasi hanya bisa efektif jika terpisah dengan lembaga yang melaksanakan. Ketidakfokusan Depkes adalah karena masih melakukan kedua fungsi itu meski urusan kesehatan termasuk yang didesentralisasikan.
Alasan manajemen kesehatan di daerah mungkin sebagian benar, tetapi sebagian lagi karena pusat belum siap melepas fungsi sebagai pelaksana. Desentralisasi memberi kesempatan instansi kesehatan pusat mengembangkan fungsi pengawas dan pembina, serta dinas kesehatan di daerah berfokus sebagai pelaksana.
Mungkin akan lebih mudah jika kita menganalogikan Depkes sebagai perusahaan besar dengan hampir 500 cabang di tiap kabupaten di Indonesia.
Sebagai ”perusahaan” yang keuntungannya adalah orang sehat, tugas utamanya adalah mengubah paradigma sakit ke paradigma sehat. Menjaga kesehatan mempunyai lebih banyak dimensi yang bisa ”dijual” daripada menggunakan pengobatan.
Artinya, produk cabang (dinas kesehatan) bisa berupa: menjaga lingkungan agar lebih sehat, mempromosikan perilaku yang menjaga kesehatan dan mencegah penyakit, memperbaiki gizi penduduk sehingga generasi mendatang secara genotif-fenotif lebih baik, serta menyediakan layanan kesehatan. Produk promotif dan preventif perlu diprioritaskan karena mempunyai ”keuntungan” lebih tinggi.
Skema pembiayaan diatur agar harga berbagai produk itu terbeli oleh orang yang membutuhkan. Mengingat orientasi kita adalah sehat, maka skema pembiayaan perlu diatur agar secara memadai orang mengonsumsi produk promotif dan preventif. Jika produk promotif dan preventif lebih laku, kebutuhan pelayanan kesehatan bisa berkurang.
Agar bisa menjual berbagai produk itu dengan baik, dinas kesehatan perlu dilengkapi tidak hanya dokter, tetapi tenaga yang berkompeten di lingkungan kesehatan, promosi kesehatan, dan pencegahan penyakit. Tiap jenis tenaga ini perlu dihitung sesuai kondisi wilayah.
Di wilayah, banyak sektor yang ”produk jual”-nya berdampak pada kesehatan manusia. Beberapa produk itu ada yang sinergis dengan kesehatan, misalnya penyediaan air bersih, penyediaan dan distribusi pangan. Karena itu, tugas ”perusahaan besar Depkes” adalah agar dinas kesehatan bekerja sama dengan berbagai sektor sehingga produk yang muaranya serupa bisa saling sinergi. Terhadap produk kontraproduktif, lobi dan negosiasi dilakukan agar sektor itu bisa mengubah bahan, metode produksi, atau cara lain sehingga hasilnya lebih ramah lingkungan dan dengan sendirinya ramah kesehatan.
Dalam bahasa pemerintah, ini adalah perencanaan program wilayah. Sektor kesehatan harus mendidik tenaga kesehatan yang tidak hanya bisa membuat program kesehatan, tetapi juga melakukan lobi dengan DPRD guna memproduksi peraturan daerah yang mendukung kesehatan maupun negosiasi dengan sektor-sektor lain sehingga perencanaan wilayahnya berwawasan kesehatan.
Riset
Mengingat kini ada 477 dinas kesehatan kabupaten/kota, bagaimana membuat pembinaan yang efektif? Di sinilah pentingnya Depkes melakukan riset semua kabupaten, membuat peta wilayah berdasar status kesehatan, risiko kesehatan, kemampuan produk, dan kompetensi tenaga.
Wilayah yang problematik ditandai kuning atau merah. Depkes bekerja sama dengan dinas kesehatan provinsi membina wilayah kuning dan merah agar menjadi hijau. Depkes menjadi pusat informasi dan pengalaman, memfasilitasi tim wilayah kuning/merah untuk belajar ke wilayah hijau, mengundang tim wilayah sukses bicara di pertemuan nasional yang dihadiri tim serupa, sampai mengirim pakar, dari pusat maupun wilayah sukses ke wilayah yang perlu dibantu. Teknologi informasi bisa digunakan untuk memudahkan akses informasi dan bagi pengalaman.
Ringkasnya, jika Depkes beralih fungsi menjadi institusi pembina, fungsi-fungsi penting, seperti riset dan pengembangan, promosi kesehatan, serta pengawasan lingkungan kesehatan, perlu mendapat struktur dan anggaran memadai.
Berbagai model jaringan itu terbukti menghasilkan keuntungan lebih besar. Jika pemerintah berorientasi hasil, seperti tercermin dalam prinsip ”menemukan kembali” Depkes yang berorientasi sehat, mengapa tidak kita contoh?
Opini : 26 September 2009

Purnawan Junadi Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI