25 September 2009

» Home » Suara Merdeka » Meretas Demokrasi Prosedural

Meretas Demokrasi Prosedural

BILA dihitung sejak Juni 2005 hingga akhir 2007 ini, di Jawa Tengah telah digelar sebanyak 28 pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah (pilkada). Sepanjang 2007 sja, telah digelar pilkada di empat kabupaten/kota.
Apa yang bisa dikomentari dari pilkada di sepanjang 2007 itu? Apa kaitan antara pilkada 2007 dengan serangkaian penyelenggaraan pilkada sejak Juni 2005? Bagaimana kita menempatkan rangkaian pilkada sepanjang Juni 2005 hingga 2007 dengan Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Jateng 2008? Apa makna semua proses tersebut bagi pengembangan demokrasi di Indonesia?

Pilkada 2007

Kualitas pilkada di Jateng sepanjang 2007 membawa sejumlah perbaikan. Paling tidak, bila konflik yang muncul setelah pilkada dijadikan ukuran akan kemajuan dimaksud.

Soalnya, di etape pertama pilkada sepanjang 2005-2006 di Jateng konflik masih mewarnai. Demikian pula apa yang terjadi di provinsi lain, konflik bahkan menjadi bumbu pilkada sepanjang 2007 ini. Padahal ketiadaan konflik saja sekadar menjangkau prasyarat minimum (shallowness of democratization) dari ”demokrasi prosedural” -belum ”demokrasi liberal” substansial.

Ada dua muka yang saling kontradiksi pada 2007. Di satu sisi banyak kemajuan yang berhasil dicapai oleh para kepala daerah hasil pilkada etape pertama (2005) dan etape kedua (2006), di sisi lain musim gugur para kepala daerah juga terjadi pada 2007 (etape ketiga).

Untuk yang pertama, berkat progresivitas yang ditunjukkan kepala daerahnya, sejumlah daerah berhasil membawa ke taraf yang lebih baik. Sebut saja Sragen, Purbalingga, Kebumen, Kota Pekalongan, Kota Surakarta, adalah daerah-daerah yang kepala daerahnya dinilai berhasil dalam memajukan daerahnya. Sementara itu karena sangkaan korupsi, kita menyaksikan sejumlah kepala daerah hasil pemilihan langsung rontok di 2007 ini. Sebut saja Kendal, Kabupaten Semarang, dan beberapa nama yang dihubung-hubungkan dengan sejumlah kasus di daerahnya.

Secara keaktoran, partai besar bersama kolaboratornya mendominasi (main camps) pilkada di Jateng pada 2007. Demikian pula para pejabat lama (incumbent) memenangi pilkada di Jepara, Batang, Cilacap, dan Brebes; sementara itu penantang baru (chalengger) sekadar peraih sekunder pertarungan (relative positions).

Segera saja dapat ditangkap pesan bahwa mereka yang memiliki modal kuat adalah yang bakal memenangi pemilihan. Kuatnya modal tersebut tidak melulu dapat diartikan dari besarnya jumlah uang yang dibelanjakan demi pemenangan pilkada, namun basis popularitas juga merupakan kunci berarti bagi kemenangkan pilkada. Demikian yang kira-kira dapat dipelajari dari pergelaran pilkada pada 2007.

Kandidasi 2008

Dinamika politik lokal di tahun depan agaknya akan lebih bergairah. Sumber kegairahan bisa dilacak dari ketiga agenda politik nasional. Pertama, terbitnya aturan kandidasi perorangan dalam pilkada sebagai tindak lanjut dari Putusan MKRI No 5/PUU-V/2007 per 23 Juli 2007.

Tapi, agaknya pilkada di Jateng kecil kemungkinannya mengintroduksi aturan pascarevisi UU 32/2004 tersebut. Itu karena hingga tutup reses musim sidang Desember 2007 ini pemerintah dan DPR RI (elite politik) belum berhasil mengagendakan pembahasannya.

Dimungkinkannya kandidasi perorangan dalam pilkada di Banyumas, Demak, dan Temanggung, masih akan kita lihat mulai awal tahun depan, dengan lebih pastinya lagi pada medio 2008.

Kedua, bila pun belum dimungkinkan kandidasi perseorangan, namun pilkada pada 2008 terjadi dedominasi orang kuat setempat. Sebagai gantinya para pendatang baru akan tampil dengan kesempatan serta peluang yang sama dalam memperebutkan hati rakyat setempat.

Sebagaimana konfigurasi politik yang sudah dapat dibaca sejak kini, di ketiga daerah yang hendak menggelar pilkada 2008, terjadi mobilisasi dan konsolidasi politik yang menghasilkan dua wajah yang paling konkret: segregasi dan integrasi.

Ketiga, pilkada adalah tonggak bagi penguatan eksistensi partai politik (parpol).
Maka Pilgub Jateng 2008 dinilai segenap parpol sebagai tonggak cukup penting bagi kemenangannya. Lebih-lebih dalam upaya memenangkan agenda politik nasional seperti Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009. Mereka harus memenangkan Pilgub Jateng, karena secara demikian memudahkan bagi raihan sukses pemilu (Pileg dan Pilpres) setahun kemudian.

Membaca Pilgub 2008

Beberapa nama sudah disebut sebagai kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur Jateng. Tapi hanya segelintir nama yang sudah ditetapkan secara definitif. Selebihnya masih gamang dalam menentukan kepesertaan pilgub.

Kebanyakan parpol di level lokal terjebak dalam permainan yang disusunnya sendiri. Mengharapkan sumber daya yang dinilai mumpuni, namun akhirnya terseret oleh kemauan yang tak berarah. Pertimbangan modal juga menjadi faktor terpenting, namun di detik-detik terakhir bukan muskil bila pada akhirnya akan terjebak pada pragmatisme yang paling elementer.

Maksud saya, mereka akan menetapkan sepasang kandidat (dari yang sebenarnya) ”tidak mereka kehendaki” sejak awal. Sampai pada titik itu, amat mungkin bila kualifikasi ideal akan dikangkangi oleh kualifikasi pragmatisme. Apa boleh buat.

Hal itu berbeda dari sikap parpol saat pilkada di etape pertama (2005) dan etape kedua (2006). Kala itu masih ada kualifikasi lain yang menjadi kepentingan idealitas masyarakat. Dari catatan yang ada, sepanjang 2005 hingga 2006, parpol melirik kualifikasi-kualifikasi ideal sebagaimana yang diinginkan masyarakat kebanyakan.

Mereka mengusung sosok simpartisan politik dari kalangan birokrasi, tokoh masyarakat, kalangan akademis, dan selebihnya militer. Itu dimungkinkan mengingat antara lain instrumentasi ”surat rekomendasi” dari bos partai di tingkat pusat dipergunakan sebagai upaya mencegah pendiktean dari kepentingan sesaat parpol level lokal.
Meretas...

Sayang, hal semacam itu cenderung tidak dilakukan pada Pilgub Jateng kini, karena mungkin para bos partai di Jakarta belajar dari kasus carut-marut jelangan dan kisruh usainya pilkada di DKI, Sulsel, atau Maluku Utara.

Sayangnya lagi, kekhawatiran yang digambarkan tersebut masih ditunjang oleh performa komitmen pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan ppemilu yang dinilai belum pula optimal. Sebutlah program sosialisasi, masih menjadi pertanyaan besar bagi sebagian kalangan.

Sementara itu sosialisasi per kandidat, sebagian besar berjalan menurut ketentuan-ketentuan partikelir ómeski sedikit menabrak kenyamanan umum.
Akhirnya, yang paling tampak dari songsongan Pilgub Jateng dewasa ini adalah, di satu sisi otoritas penyelenggaraan tidak beroperasi secara menonjol, di sisi lain masyarakat tidak terbimbing secara memadai.

Secara konsepsional, sejatinya kekosongan seperti itu dapat diisi oleh keterlibatan para pemangku kepentingan lembaga-lembaga infrastruktural politik pada umumnya, namun agaknya mereka pun sedang tidak berusaha menjadi pemandu kepentingan yang baik bagi khalayak.

Meminjam pengertian dari Alex de Tocquivelle (1994), posisi masyarakat gagap dalam mengaktualisasikan dirinya. Perikehidupan politik relatif tidak terorganisasi serta yang bercirikan kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting) dalam menyongsong Pilgub Jateng.

Makna dari keadaan itu adalah, kita agaknya masih terseok-seok dalam membangun ”demokrasi electoral”; paling tidak bila kasus pilkada di 28 kabupaten/ kota di Jateng sebagai sumber kajiannya. Sementara itu ”demokrasi substansial” masih jauh harus digapai. Tapi bukan itu tidak penting, karena apa pun keadaannya, taraf demokrasi elektoral menjadi tangga berarti demi menuju demokrasi substansil tersebut.(68)

27 Desember 2007
––– Nur Hidayat Sardini, sekretaris Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), pengajar pada Program Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro.