25 September 2009

» Home » Okezone » Indahnya Berlebaran Bersama-Sama

Indahnya Berlebaran Bersama-Sama


Sebentar lagi kita akan mengakhiri puasa Ramadan. Kiranya tidaklah berlebihan jika dalam mengakhiri puasa Ramadan tahun ini banyak kalangan yang bertanya-tanya: kapan Hari Raya Idul Fitri? Bersama-sama ataukah terjadi perbedaan?

Hal ini wajar karena memang di Indonesia sering terjadi perbedaan Idul Fitri. Menanggapi fenomena demikian, sampai-sampai ada seorang penulis surat pembaca dalam sebuah media massa mewanti-wanti agar Idul Fitri tahun ini dapat bersama-sama, kompak, tidak terjadi perbedaan? Dengan alasan melaksanakan Idul Fitri pada hari yang berbeda mengurangi syiar dan cenderung mengundang perpecahan, Ia memberikan tawaran solusi konkret berbentuk aturan bergantian dalam memakai prinsip penetapan Idul Fitri, yakni "Tahun ini pakai aliran rukyah, tahun depan pakai aliran hisab, begitu seterusnya dengan prinsip imam dan makmum."

Bagaimana sebenarnya dengan penetapan Idul Fitri 1430 H (tahun ini)? Tulisan ini diharapkan dapat memberikan wawasan dengan harapan dapat memberikan keyakinan dalam berhari raya Idul Fitri. Sumber Acuan Dasar penetapan Idul Fitri sebenarnya berlandaskan pada hadis: "Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal. Apabila tertutup awam, maka sempurnakanlah."

Dari pemahaman hadis ini secara garis besar, muncul perbedaan pemahaman, yakni aliran rukyah dan aliran hisab. Hal ini wajar karena hadis tersebut memang masih mengandung (muhtamil) beberapa arti, di antaranya rukyah bil ilmi (yang melahirkan aliran hisab) dan rukyah bil ain (yang melahirkan aliran rukyah). Bahkan di Indonesia terdapat banyak aliran yang juga sebagai dampak dari perbedaan pemahaman hadis hisab rukyah tersebut.

Namun yang banyak mewarnai wacana penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah di Indonesia selama ini hanya aliran rukyah satu wilayah negara (rukyah fi wilayatil hukmi) yang dipakai Nahdlatul Ulama, aliran hisab wujudul hilal yang dipakai Muhammadiyah, dan hisab imkanurrukyah yang dipakai pemerintah.

Memang sekarang ada aliran yang baru "naik daun" dan "naik publik", yakni aliran rukyah internasional atau global yang dipakai oleh Hizbut Tahrir dan aliran-aliran kecil seperti aliran An-Nadir Goa Sulawesi Selatan, aliran Tariqah Naksabandiyah Padang. Apalagi tiap aliran juga sering mengeluarkan fatwanya sehingga wajar terjadi perbedaan dalam penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah di Indonesia selama ini.

Bagaimana dengan Idul Fitri 1430 H?

Untuk 1 Syawal 1430 H berdasarkan hisab kontemporer, ijtima akhir Ramadan 1430 H jatuh pada hari Sabtu, 19 September 2009 pukul 01.45 WIB. Tinggi hilal mar'i untuk seluruh Indonesia dari markas di Sabang sampai Merauke berkisar 040 sampai 060 30' di atas ufuk.

Dari data hisab itu dapat dipastikan bahwa Muhammadiyah (aliran hisab wujudul hilal) akan ber-Idul Fitri 1430 H pada hari Ahad, 20 September 2009, karena jelas ketinggian hilal sudah di atas ufuk. Begitu pula pemerintah jika memang konsisten dengan prinsip hisab imkanurrukyah, mestinya walau tetap menunggu hasil pelaksanaan rukyatul hilal pada sore hari Sabtu, 19 September 2009, ketinggian hilal menurut standar "tradisi Indonesia 2 derajat" biasanya dapat dilihat (di-rukyah) sehingga tentunya akan menetapkan 1 Syawal 1426 H jatuh pada hari Ahad, 20 September 2009, sehingga puasa Ramadannya hanya 29 hari.

Adapun Nahdlatul Ulama yang memakai aliran rukyah dalam satu wilayah negara (rukyah fi wilayatil hukmi), kiranya penentuannya masih menunggu hasil rukyahyang baru dilakukan pada sore hari Sabtu, 19 September 2009. Namun, mestinya Nahdlatul Ulama dapat mempertimbangkan hasil hisab yang menunjukkan ketinggian hilal yang "ditradisikan di Indonesia bisa dilihat, yakni 2 derajat" yang dapat di-rukyah. Apalagi di Nahdlatul Ulama juga banyak pakar hisab yang terwadahi dalam Lajnah Falakiyyah Nahdlatul Ulama.

Indonesia memang termasuk daerah yang sulit untuk dilakukan rukyah karena ada di daerah tropis (curah hujan termasuk tinggi) sehingga jika Nahdlatul Ulama saklek harus dengan hasil rukyatul hilal, jika hilal terlihat, mereka akan ber-Idul Fitri sama, yakni pada hari Ahad, 20 September 2009. Namun jika hilal tidak berhasil dilihat, mereka harus menyempurnakan 30 hari bulan puasa Ramadan (istikmal), yang berarti pada hari Ahad, 20 September 2009 masih tanggal 30 puasa Ramadan, sedangkan Hari Raya Idul Fitri baru pada hari Senin, 21 September 2009.

Idealnya, karena ini masalah fikih sosial, kiranya untuk penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah ini kita sepakat untuk dapat bersama-sama. Mestinya cukup ada satu ifta dalam satu negara sebagaimana negara-negara yang lain seperti Malaysia, misalnya percaya pada ifta pemerintah sehingga kebersamaan akan dapat terwujud dengan baik, sebagaimana kaidah fikih: hukmul hakim ilzamun wa yarfa'ul khilaf (penetapan pemerintah menyelesaikan dan menghilangkan perbedaan). Tidak seperti selama ini, tiap ormas mengeluarkan fatwa sendiri walaupun mereka juga ikut dalam sidang isbat bersama yang diselenggarakan pemerintah dalam hal ini Menteri Agama.

Lain halnya kalau memang masalah ini diserahkan kepada masyarakat sebagaimana didengungkan mantan Presiden Gus Dur, mestinya pemerintah tidak perlu memberikan ifta, cukup ifta tersebut diserahkan pada tiap ormas. Biarkan masyarakat mengikuti yang mana sehingga dalam ini yang perlu dikembangkan adalah sikap tasamuh (toleransi), agree in disagreement, ittifa' fil ikhtilaf.

Perbedaan Tidak Lebih Baik

Perbedaan dalam memulai puasa Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah di Indonesia kiranya sudah sering terjadi sejak dulu. Bahkan Snouck Hurgronje (seorang Orientalis Belanda) pernah mengatakan, "Tak usah heran jika di negeri ini (Indonesia) hampir setiap tahun timbul perbedaan tentang awal dan akhir puasa. Bahkan terkadang perbedaan itu terjadi antara kampung-kampung yang berdekatan."

Dari banyak terjadinya perbedaan, rasa tidak enak kiranya lebih menonjol. Sebagai contoh perbedaan yang baru saja kita alami, yakni dalam memulai awal puasa Ramadan 1422 H, di mana banyak kalangan dibuat kalang kabut karena jauh-jauh kita sudah siap untuk memulai melaksanakan salat tarawih pada malam Jumat, 16 November 2002, ternyata pemerintah baru menetapkan awal puasa pada hari Sabtu, 17 November 2002, sehingga banyak yang mengurungkan salat tarawihnya.

Begitu pula dalam penetapan 10 Dzulhijjah 1420 ketika presidennya masih Gus Dur, banyak kalangan yang dibuat kalang kabut, terutama warga NU. Pemerintah waktu itu menetapkan Idul Adha jatuh pada hari Kamis,16 Maret 2000, sedangkan PBNU menetapkan jatuh pada hari Jumat, 17 Maret 2000. Saat itu penulis banyak menemukan orang-orang yang kecelik, tidak jadi melakukan salat Idul Adha di suatu masjid dengan menggerutu: "Wah susah di masjid ini kok tidak ada shalat Id." Sampai- sampai warga NU pada waktu itu ada yang memilah NU menjadi dua, yakni NU-nya Gus Dur bagi mereka yang ikut penetapan Idul Adha pemerintah dan NU-nya PBNU bagi yang mengikuti penetapan PBNU.

Bareng-bareng dalam merayakan Idul Fitri kiranya lebih enak daripada merayakannya pada hari yang berbeda. Sebab hal itu akan lebih terasa nikmat, syiar agama lebih baik, dan lebih dalam segalanya yang tak dapat dituangkan dalam kata-kata. Lain halnya jika berbeda, rasanya kurang nikmat, mengurangi syiar agama, dan bagaimana kata mereka yang non-Islam, apalagi dalam Idul Fitri, bagaimana rasa kecewanya banyak kalangan masyarakat awam yang sudah siap-siap, ternyata Idul Fitri "diundur"? (*)

Opini Okezone : 18 September 2009

H Ahmad Izzuddin, MAg
Staf Ahli Badan Hisab Rukyah Pusat, Dosen Hisab Rukyah IAIN Walisongo