22 November 2010

» Home » Suara Merdeka » Perda TKW yang Kontraproduktif

Perda TKW yang Kontraproduktif

KEKERASAN, pelecehan seksual, dan penipuan masih saya menimpa tenaga kerja Indonesia (TKI), termasuk tenaga kerja wanita (TKW), yang dikirim ke luar negeri. Yang terbaru, dan terungkap, adalah kasus yang menimpa Sumiati, asal Dompu, NTB, yang luka berat dianiaya majikannya, dan Kikim Komalasari, asal Cianjur, Jabar, yang dibunuh majikannya, juga di Arab Saudi.

Meski menghasilkan devisa bagi negara, sayangnya para “pahlawan devisa” itu hingga kini belum mendapat perhatian memadai. Pemerintah terkesan tidak maksimal melindungi mereka dari praktik curang pihak asing atau perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) nakal.


Menurut catatan Migrant Care, LSM yang fokus pada masalah buruh migran, sepanjang 2009, terjadi 1.018 kasus kematian buruh migran. Kendal selama ini dikenal sebagai pemasok TKI terbesar kedua di Jateng setelah Cilacap.

Tiap tahun sekitar 18.000 TKI  (95%-nya TKW) asal Kendal dikirim ke luar negeri. Mayoritas sebagai pembantu rumah tangga (PRT) dan negara tujuan yang banyak diminati adalah Arab Saudi, Taiwan, Hong Kong, Singapura, dan Malaysia. Saat ini di Kendal ada 63 kantor cabang PJTKI.

Iming-iming upah tinggi dan sulitnya mencari pekerjaan di dalam negeri, merupakan faktor utama peminat untuk menjadi TKW tak pernah surut. Memang tidak dapat dimungkiri, terbatasnya lapangan pekerjaan dan rendahnya upah yang ditawarkan di dalam negeri, menjadi motivasi tersendiri bagi TKW.

Banyaknya kasus yang menimpa TKW, termasuk yang berasal dari Kendal membuat beberapa pihak mendesak dibuatkan perda TKW. Alasannya; pertama, daerah lebih mengetahui keadaan dan kebutuhan dasar calon TKW dan keluarganya.

Kedua, permasalahan yang timbul dalam persiapan keberangkatan muncul dari daerah, seperti pemalsuan dokumen, umur, dan kurangnya informasi akurat yang diterima calon TKW.

Ketiga, jika terjadi permasalahan, maka pihak yang langsung menanggung masalah adalah keluarga TKW di daerah tersebut. Keempat, perekrutan calon TKW tidaklah berdiri sendiri, ada pihak lain seperti sponsor (petugas lapangan) atau kantor cabang PJTKI yang melakukan perekrutan di desa-desa.

Usul pembuatan perda TKW menurut saya malah kontraproduktif. Justru yang dibutuhkan adalah revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan Tenaga Kerja dan Perlindungan TKI. Undang-undang itu membuat segala urusan yang menyangkut TKW menjadi birokratis. Betapa tidak, sekarang untuk menjadi TKW legal, dibutuhkan 16 syarat.

Syarat tersebut di antaranya KTP, ijazah, akta kelahiran, status perkawinan, sertifikat tes kesehatan, hingga izin orang tua. Mereka yang tidak memenuhi syarat itu terancam sanksi pidana yang dendanya ratusan juta rupiah.
Kompetensi Kerja Cara itu malah dimanfaatkan orang-orang tertentu untuk mencari keuntungan sehingga biaya untuk menjadi TKW mahal. Tidak heran jika hal itu menyebabkan banyak TKW berangkat ke luar negeri lewat cara ilegal.

Bukan hanya itu, syarat ikut asuransi bagi tenaga kerja sebaiknya dihilangkan. Asuransi seharusnya menjadi kewajiban orang yang memperkerjakan, dalam hal ini majikan. Justru yang lebih penting untuk ditekankan seharusnya syarat kompetensi kerja.

Percayalah, penganiayaan dan nasib malang yang dialami para TKW tak lepas dari minimnya kecakapan yang dimiliki oleh TKW.

Oleh karena itu, guna menghindari penganiayaan dan pelecehan dari sang majikan, setiap TKW hendaknya meningkatkan kecakapan.

Kecakapan itu meliputi, pertama, kecakapan dalam bekerja yang juga menyangkut kemampuan menguasai bahasa negara tujuan. Penganiayaan kadang terjadi ketika TKW tidak mampu bekerja sesuai dengan harapan majikan.

Kedua, kecakapan dalam memilih PJTKI. Calon TKW hendaknya selektif memilih PJTKI dan jangan hanya tergiur gaji besar yang dijanjikan perusahaan itu. Tidak sedikit PJTKI yang hanya mengeruk keuntungan dari pemberangkatan dengan mengeluarkan dokumen pemberangkatan palsu.

Kecakapan ketiga adalah pengelolaan keuangan. Gaji yang diperoleh TKW bisa puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Sayangnya, uang itu lebih banyak digunakan untuk keperluan konsumtif, seperti membangun rumah atau membeli kendaraan bermotor. Jika TKW cakap mengelola keuangan, uang itu bisa dijadikan modal usaha sehingga tidak perlu lagi bekerja sebagai TKW ke luar negeri. (10)

— Joko Suprayoga, alumnus Undip, bekerja dan mukim di Kendal
wacana suara merdeka 23 november 2010