SEJENAK setelah menduduki jabatan menteri keuangan (Menkeu), Agus  Martowardojo mengeluarkan pernyataan mengenai utang luar negeri (ULN).  Memang tidak mengejutkan, bahkan senada dengan Menkeu sebelumnya,  kondisi ULN kita masih stabil. Rasio terhadap PDB menjadi timbangan  bahwa beban negara masih memiliki cukup stamina untuk memanggulnya.
Bos  Kementerian Keuangan itu pun mengumbar janji yang sama dengan para  penggawa keuangan sebelumnya bahwa dirinya akan mengelola ULN dengan  baik. Bahkan, ancang-ancang ULN baru untuk menambal defisit turut  disertakan.
Mimpi rezim yang bebas ULN atau mempunyai rasa gerah  terhadap gunungan ULN, rasanya, harus menguap lagi. Memang, bila beban  ULN kita sandingkan dengan PDB, posisi kita masih cukup aman. Dengan  rasio 26 persen, tentu jauh lebih mengkhawatirkan negara-negara Eropa  yang dibayang-bayangi krisis karena tertindih ULN masing-masing. 
Misalnya  Yunani. Negeri para dewa tersebut kini dihantam ULN dengan rasio  terhadap PDB 115,1 persen. Rasio utang negara Eropa lain terhadap PDB  pun tidak kalah mencemaskan. Antara lain, Italia (115,8 persen), Jerman  (73,2 persen), Inggris (68,1 persen), Spanyol (53,2 persen), dan  Irlandia (64 persen).
Bahkan, Amerika tercengkeram utang dengan  rasio yang cukup gemuk terhadap PDB, yakni 84 persen.
Memang,  jika cermin itu yang kita tatap, posisi kita jauh lebih "manis". Bahkan,  bila instrumen defisit kita gunakan, kondisi anggaran kita lebih sehat.  Defisit anggaran hanya 2 persen tahun ini.
***
Mencermati  ULN tentu tidaklah cukup bila hanya berhenti pada permasalahan bahwa  kita sanggup membayar atau melihat tanggungan negara lain jauh lebih  gembrot daripada kita. Yang harus disadari adalah potensi penggerogotan  anggaran dari kebijakan.
Seperti fakta saat ini, total dana  pinjaman yang kita peroleh sepanjang tahun ini Rp 249,818 triliun bila  pemanfaatan "bon-bonan" untuk pembiayaan yang bermuara pada peningkatan  kesejahteraan tentu sangat dimaklumi. 
Celakanya, kita harus rela  setengah dari pinjaman tersebut hanya digunakan untuk membayar utang  yang jatuh tempo serta bunga pinjaman, yang tidak kurang dari Rp 124,677  triliun. Dana untuk pembayaran utang yang jatuh tempo Rp 70,541  triliun, sementara pembayaran cicilan pokok pinjaman Rp 54,136 triliun.
Dengan  demikian, jika pinjaman yang kita dapat hanya digunakan untuk membayar  utang, itu adalah tradisi yang sangat mencemaskan. Karena itu,  pemerintah lewat Kemenkeu seharusnya mempunyai daya kritis terhadap  kebijakan ULN tersebut.
Tindakan mengevaluasi ULN adalah rute  awal yang akan menyelamatkan anggaran pembangunan kita. Langkah pertama  adalah menyikapi keterkaitan ULN terhadap kemakmuran rakyat. Berikutnya,  coba lacak praktik pemanfaatan ULN masa lampau.
Menyangkut efek  ULN terhadap kesejahteraan publik, indeks pembangunan manusia (human  development index) dapat menjadi ukuran dan efektivitas dari dana  pinjaman yang kita terima menjadi daya dorong peningkatan kesejahteraan.  Efek kenaikan kesejahteraan itu bisa dirasakan melalui pengaruh  langsung (misalnya peningkatan pendapatan dan akses terhadap layanan  sosial) maupun tidak tidak langsung (seperti peningkatan kesejahteraan  karena efek pertumbuhan ekonomi). 
Namun, efek positif ULN  terhadap kesejahteraan tersebut hanya bisa terjadi bila terdapat  mekanisme transmisi melalui belanja pemerintah yang memihak kepentingan  publik (pro-public government expenditure). Wujudnya, misalnya,  pengeluaran anggaran pendidikan dan sanitasi. Jika syarat itu tidak  terpenuhi, efek peningkatan kesejahteraan tidak akan terjadi.
Di  luar itu, ULN hanya akan bekerja dengan baik di negara yang demokratis  dan menimbulkan efek negatif bila negara penerimanya tergolong otoriter.  Argumentasinya, di negara demokrasi pemanfaatan ULN bakal dikontrol  masyarakat secara penuh sehingga setiap penyimpangan bisa segera  diketahui. 
Sebaliknya, di negara yang sistem politiknya  otoriter, sulit bisa berlangsung praktik cek dan ricek dalam mengawal  ULN. Sebab, semua informasi dipegang pemerintah secara tertutup. 
Pada  titik itulah biasanya ULN lari ke proyek-proyek yang tidak berkaitan  dengan kepentingan masyarakat. Bahkan, yang lebih tragis, ULN menjadi  instrumen "sedekah" bagi para penyelenggara negara dan lembaga/negara  donor. Fakta itulah yang potensial terjadi di Indonesia pada masa lalu  sehingga nyaris tidak ada nisbah ekonomi yang bisa disumbangkan oleh  ULN.
ULN justru menjadi beban rakyat ketika pemimpin zalim  memanfaatkan secara pribadi pinjaman luar negeri tersebut. Upaya itulah  yang harus berani dilakukan, yakni kembali menelusuri utang-utang negeri  ini yang telah anjlok dari tujuannya.
***
Karena itu,  selain gesit menambah pinjaman baru, kita berharap ada langkah untuk  kembali membaca dan mencermati ULN Indonesia. Kerja evaluatif pemerintah  terhadap ULN tersebut dimaksudkan agar kita tidak terjerembap dalam  lingkaran kemiskinan yang tidak berujung. Sebab, faktanya, sampai hari  ini tidak ada jejak yang bisa dilacak untuk mengungkap derajat efek ULN  terhadap pembangunan ekonomi. 
Bahkan, selama puluhan tahun di  Indonesia tidak terjadi peningkatan indeks pembangunan manusia karena  proporsi anggaran tidak digunakan untuk mengongkosi kepentingan publik,  tetapi malah habis untuk membayar utang. 
Jadi, evaluasi ULN juga  harus menjadi salah satu program penting Menkeu baru. Dengan begitu,  komitmen beliau untuk mengelola ULN dengan baik tidak hanya menjadi  ikrar merdu di awal jabatan. (*)
     *) Agus Suman      , guru besar ilmu ekonomi Universitas Brawijaya 
Opini Jawa Pos 31 Mei 2010
30 Mei 2010
Evaluasi Utang Luar Negeri
Thank You!