26 April 2010

» Home » Kompas » Setelah UN, Pemerintah Harus Jujur

Setelah UN, Pemerintah Harus Jujur

Secara nasional tingkat kelulusan ujian nasional tingkat SMA dan MA menurun dibandingkan dengan tahun 2009. Tahun 2009 tingkat kelulusan ujian nasional SMA/MA 95,05 persen, sedangkan tahun ini 89,61 persen (Kompas, 24/4).
Mengenai persentase ketidaklulusan tersebut, Menteri Pendidikan Nasional ketika mengumumkan hasil ujian nasional (UN) menyebutnya sebagai akibat pengawasan yang diperketat. Ketua Pelaksana UN Pusat meyakini hal itu sebagai pertanda tingkat kejujuran meningkat.
Mengapa Mendiknas justru tidak pertama-tama mengakui hasil tersebut sebagai potret pendidikan di negeri ini? Mengapa Mendiknas tidak menyebutnya sebagai titik tolak untuk memperbaiki pelayanan pendidikan semua anak di seantero negeri?


Sebelum pelaksanaan UN, berbagai kebulatan tekad dan pakta kejujuran dikedepankan untuk menekan perilaku kecurangan siswa. Menciptakan kondisi ujian yang jujur dan meminimalkan berbagai kecurangan diabdikan demi memperoleh hasil ujian yang sahih. Hasil UN telah diumumkan dan Mendiknas menyebut persentase kelulusan berkaitan dengan pengawasan yang ketat. Jika demikian, hasil ujian itu menunjukkan situasi riil pendidikan. Bukan peningkatan mutu, yang terjadi justru penurunan riil dalam persentase kelulusan.
Kini giliran pemerintah yang harus jujur mengakui perbaikan-perbaikan seperti apa yang telah dilakukan di sektor pendidikan? Standar nasional pendidikan di negeri ini mensyaratkan adanya standar isi, proses, pendidik, sarana, pengelolaan, dan pembiayaan sebelum akhirnya berbicara mengenai standar penilaian (evaluasi) pendidikan.
Artinya, standardisasi evaluasi mesti didahului oleh standardisasi tujuh aspek lain di seluruh sekolah tanpa kecuali, baik untuk sekolah negeri maupun swasta. Hasil UN sungguh-sungguh dimanfaatkan untuk memeratakan pelayanan pendidikan.
Satu kalimat kunci, semua anak di negeri ini memperoleh pelayanan pendidikan yang merata. Selama gedung sekolah yang rusak di seluruh Tanah Air belum mengalami perbaikan dan memadai serta para guru, baik negeri maupun swasta, masih terbengkelai mutunya, tidak bisa diharapkan sebuah hasil evaluasi yang standar. Kalau yang dilakukan pemerintah sekadar menaikkan angka standar kelulusan setiap tahun, tetapi abai memerhatikan semua aspek yang menjadi proses, kiranya perilaku demikian tak ubahnya perilaku tengkulak. Maunya meraup hasil, tetapi tak mau tahu proses.
UN memveto
Mendiknas Mohammad Nuh, menyatakan, kelulusan ditentukan oleh syarat yang harus dipenuhi secara keseluruhan, yakni menyelesaikan semua program pendidikan di sekolah, persyaratan akhlak, budi pekerti dan tata krama, lulus mata pelajaran yang diujikan sekolah, serta lulus UN. Pengungkapan persyaratan tersebut selalu diikuti penekanan bahwa UN bukan satu-satunya penentu kelulusan. Praksis di lapangan jauh panggang dari api. Dalam praktiknya, keempat kriteria saling mem-”veto” karena tidak ditentukan bobot persentase setiap kriteria. Faktor ketidaklulusan siswa hampir 100 persen ditentukan oleh nilai UN. Seorang siswa yang lulus ketiga syarat pertama toh tidak lulus hanya karena nilai matematika UN kurang dari 0,2 dari yang disyaratkan.
Pernyataan UN bukan satu-satunya penentu kelulusan masih multitafsir dalam praktiknya, bahkan tak beranjak dari pola lama. Tanpa pembobotan masing-masing kriteria. Lazim terjadi, hasil UN setiap sekolah diserahkan kepada kepala sekolah oleh dinas pendidikan dalam satu forum. Kepala sekolah mengetahui siswanya yang tidak lulus UN. Tidak memenuhi kriteria kelulusan UN berarti tak lulus sekolah. Penulis baru menemukan satu kasus di sebuah sekolah menengah atas, siswa dinyatakan tak lulus karena tidak lulus UN.
Pemikiran para guru yang dalam keseharian bergelut dengan dunia mendidik anak-anak hanyalah sederhana, silakan UN tetap berjalan, tetapi tidak lagi dipakai sebagai salah satu kriteria kelulusan. Kementerian Pendidikan Nasional harus betul-betul memanfaatkan hasil UN untuk memetakan mutu pendidikan, dengan ujung-ujungnya untuk memperbaiki pelayanan secara merata kepada semua anak di negeri ini. Sekolah yang nilai-nilai ujian siswanya rendah mesti diprioritaskan untuk diperbaiki.
Kiranya ungkapan orangtua siswa di daerah mewakili betapa tidak adilnya situasi yang dihadapi anak-anak kita. ”Bagaimana UN bisa fair, kualitas guru beda, fasilitas sekolah berbeda. Anak-anak kami harus menghadapi soal yang sama dengan soal siswa di Jakarta.”
Dengan pilihan ini Kementerian Pendidikan Nasional sekaligus menjadi model pendidikan yang baik, yakni taat hukum. Perintah Mahkamah Agung yang mengharuskan pemerintah memperbaiki berbagai standardisasi pendidikan sebelum melaksanakan UN harus ditaati oleh Kementerian Pendidikan Nasional. Mendiknas pun tak perlu bingung mengalokasikan anggaran kementeriannya yang mencapai Rp 55 triliun lebih sebagai anggaran terbesar tahun 2010.
St Kartono  Guru SMA Kolese De Britto, Yogyakarta

Opini Kompas 27 April 2010