26 April 2010

» Home » Suara Merdeka » Membangun Moralitas

Membangun Moralitas

Berikanlah aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik, dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun hasil yang dicapai pasti akan lebih baik (Prof Taverne)

BEBERAPA waktu lalu, secara mengejutkan PN  Jakarta Selatan mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan Anggodo Widjojo (terdakwa mafia hukum) terhadap surat keputusan penghentian penuntutan (SKPP) yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung. ”Menariknya” permohonan itu diajukan oleh Anggodo yang notabene tidak memiliki legal standing terhadap kasus itu yang melibatkan antara Anggoro dan Bibit S Riyanto-Chandra M Hamzah (pimpinan KPK).


Feomena ini seakan menggambarkan sedang berlangsungnya kejadian luar biasa (KLB) dalam domain hukum. Bukan sekadar cerita kejanggalan, tetapi makin menguatnya dugaan praktik mafia hukum yang bekerja secara sistemik melibatkan unsur penegak hukum. Fenomena ini merupakan sebuah kejahatan yang secara sistematis bekerja sangat rapi dan terselubung yang dapat meruntuhkan sakralitas hukum.

Menurut hasil investigasi Indonesia Corruption Watch (2002), dampak dari bekerjanya mafia hukum ini, menjadikan hukum tak ubahnya seperti komoditas yang bisa diperjualbelikan. Bahkan bisa dilelang dengan mekanisme tawaran harga tertinggi.

Mengutip Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi, fenomena itu bukan disebabkan oleh lemahnya materi hukum sehingga tidak mampu menjamin keadilan hukum, melainkan disebabkan rendahnya moralitas aparat penegak hukum.

Pentingnya moralitas bagi upaya penegakan hukum didasarkan atas sebuah kenyataan bahwa sesungguhnya produk hukum, apapun bentuknya, hanyalah merupakan kumpulan nilai statis yang memuat tentang jaminan keadilan dan perlindungan terhadap hak normatif individu di bawah narasi filosofis tentang kebenaran.

Karena sifatnya yang statis maka hukum sangat tergantung pada orang atau subjek yang menegakkannya. Jika subjek penegak hukumnya berpegang teguh pada prinsip moral, maka hukum pun akan hidup sebagai benteng perlindungan yang dapat memberi rasa bagi keadilan.

Sebaliknya, jika dilepaskan dari konteks moral, maka hukum dapat menjadi monster pemangsa keadilan tanpa batas. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika Prof Taverne, pakar hukum, memandang bahwa problem hukum tidak terletak pada materi hukumnya, tetapi kualitas manusia yang menegakkannya.

Selalu Artifisial

Celakanya, selama ini pendekatan terhadap hukum selalu bersifat artifisial. Misalnya, ketika terkuak terjadinya praktik mafia hukum dengan terbongkarnya kasus Anggodo, SBY membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, lembaga yang secara ad hoc bekerja untuk memantau penyelewengan hukum, tetapi tidak memiliki kewenangan eksekusi terhadap penyimpangan hukum itu sendiri.

Tanpa bermaksud mengerdilkan peran dan fungsi lembaga ini, sejatinya persoalan mendasar dalam penyimpangan hukum tidak terletak pada kurangnya kelembagaan pengawasan terhadap lembaga penegakan hukum, melainkan terletak pada rapuhnya struktur kesadaran moral aparatur penegak hukum.

Hasil penelitan Indonesia Corruption Watch dari berbagai praktik peradilan, khususnya di kota-kota besar di Indonesia menyebutkan, faktor-faktor yang paling rentan bagi terjadinya penyimpangan hukum, setidaknya dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, hukum dijadikan sebagai instrumen kekuasaan sehingga hukum bekerja sesuai dengan kepentingan kekuasaan itu sendiri. Kondisi semacam ini lazim di zaman Orde Baru di mana hukum menjadi alat kontrol kekuasaan.

Kedua, hukum dijadikan sebagai instrumen negosiasi secara transaksional yang melibatkan aparat penegak hukum dengan pihak-pihak terkait. Bahkan, negosiasi itu juga melibatkan advokat dengan kepentingan yang sama sehingga makin menjadikan praktik alienasi moral semakin sempurna yang dapat menjauhkan praktik hukum dari cita-cita idealnya. Karena itu, pemerhati hukum atau lembaga-lembaga pegiat hukum selalu meneriakkan perlu dan mendesaknya dilakukan reformasi hukum.

Reformasi hukum ini menunjuk pada dua sasaran yang bekerja secara simultan. Pertama, mengubah pola rekrutmen aparat penegak hukum dari semula berdasarkan indikator legal formal semata dengan memasukkan unsur-unsur penguatan basis moral.

Pendekatannya tidak semata-mata mengenai profesi, tetapi juga menyangkut pertanggungjawaban terhadap komitmen kejujuran dan keberpihakan terhadap prinsip keadilan dan kebenaran.

Komitmen moral ini juga meniscayakan adanya sistem yang bersih, bebas sogok dan suap dalam penerimaan dan penentuan jabatan penegak hukum. Sebab, jika rekrutmen dan penempatan jabatan sudah diwarnai dengan praktik suap, akan menjadi beban di kemudian hari dan mereduksi nilai kesakralan penegakan hukum.

Kedua, pengawasan secara intensif dan ketat secara internal dan eksternal terhadap lembaga penegak hukum sehingga memperkecil peluang terjadinya penyimpangan penegakan hukum.
Pengawasan yang ketat memberikan penyadaran bahwa keberadaan aparat penegak hukum tidak bebas secara mutlak, tetapi dipantau oleh publik.

Ketiga, ada punishment tegas sebagai konsekuensi profesi atas segala bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan. Logikanya, aparat harus memberikan keteladanan hukum sehingga setiap pelanggaran akan mendapatkan sanksi hukum jauh lebih berat dari masyarakat awam. (10)

— Gunarto SH SE Akt MHum, Wakil Rektor Unissula Semarang, dosen magister hukum
Wacana Suara  Merdeka 27 April 2010