DALAM pekan-pekan terakhir, masalah tax holiday (pembebasan pajak) kembali hangat dibicarakan. Setidaknya terdapat beberapa alasan yang dikemukakan sehubungan dengan wacana menghidupkan kembali tax holiday ini. Pertama, tax holiday perlu dibuka kembali untuk menarik investasi asing. Argumennya bahwa pemberian tax holiday kepada investor tidak akan merugikan negara dalam jangka panjang.
Dengan tax holiday diharapkan investor asing tertarik menanamkan modal ke daerah. Hal itu diharapkan mampu mendorong pengembangan industri ke luar Jawa sehingga mengurangi ketimpangan sosial dan ekonomi. Dengan demikian, negara justru mendapatkan manfaat dari investasi asing dalam bentuk pengembangan infrastruktur di luar Jawa, sedangkan penerimaan dari berbagai sumber pajak lain masih bisa dioptimalkan.
Kedua, pemberian sejumlah insentif melalui stimulus fiskal selama ini, khususnya dalam APBN 2009 yang mencapai Rp 73,3 triliun, untuk mengatasi krisis global dinilai masih belum cukup. Untuk itu Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) meminta percepatan pemberian fasilitas pembebasan pajak bagi pengusaha (tax holiday).
Ketiga, Indonesia tidak dapat berkompetisi dengan negara-negara lain karena saat ini banyak yang sudah memberikan fasilitas pembebasan pajak, seperti Uni Emirat Arab, Singapura, Taiwan, dan Korea Selatan. Untuk itu pemberian tax holiday diharapkan mampu mendorong kegiatan pada sektor-sektor industri hulu. Sebab, kegiatan di sektor hulu bakal sulit berjalan sempurna tanpa ada fasilitas tax holiday. Lebih buruk dari itu, para investor juga dikhawatirkan hengkang dan memindahkan kegiatan investasinya ke negara-negara lain yang menawarkan sejumlah sweeteners yang menggiurkan.
Selain sejumlah argumen di atas, pemberian tax holiday dapat pula dimaksudkan untuk mendorong arus perubahan capital inflow yang sekarang ini membanjiri Indonesia ke arah foreign direct investment. Sebagaimana diketahui bahwa capital inflow yang ada sekarang ini lebih banyak diparkir pada instrumen yang menjanjikan return cukup besar, seperti penempatan pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Utang Negara (SUN) maupun pasar saham.
Di satu sisi, capital inflow ini berdampak positif pada pengendalian nilai tukar rupiah. Di sisi lain capital inflow perlu diwaspadai karena dapat saja sewaktu-waktu pindah ke negara lain. Sesuai dengan falsafah investasi, dana akan selalu mencari atau ditempatkan pada instrumen investasi yang memberikan return maksimum. Dalam rangka memaksimumkan manfaat capital inflow ke Indonesia dan dalam rangka mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, pemerintah perlu mengarahkan capital inflow menjadi foreign direct investment (investasi langsung asing). Sejumlah sweeteners tentu diperlukan, dan salah satu bentuk yang dapat ditawarkan adalah pemberian tax holiday.
Perlu Evaluasi
Sejarah mencatat bahwa tax holiday pernah diberlakukan di Indonesia, dengan diterbitkannya UU No 1 Tahun 1967 jo UU No 11 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Namun, dalam kurun 15 tahun pemberlakuan tax holiday, jumlah foreign direct investment yang disetujui hanya sekitar 473 proyek atau rata-rata 28 proyek per tahun. Realisasi proyek yang disetujui hanya mencapai 75 persen, alias 355 proyek terealisasi atau 21 proyek per tahun.
Mungkin dengan alasan kurang efektif, melalui UU No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang berlaku sejak 1 Januari 1984, ketentuan tentang tax holiday dicabut. Sebagai ganti pemerintah menerapkan ketentuan umum perpajakan yang memberikan sejumlah kemudahan. Namun, dalam perjalanannya, melalui UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal muncul lagi pengaturan tentang pembebasan pajak.
Dalam rangka menarik investasi asing ke Indonesia dan mengubah orientasi capital inflow menjadi foreign direct investment, wacana pemberian tax holiday memang layak dipertimbangkan. Dengan demikian, Indonesia mampu bersaing dengan negara tetangga. Namun, terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Pertama, dalam rangka menarik investasi dari luar, pemerintah telah membentuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Kebijakan ini telah diamanatkan dalam UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Ketentuan mengenai Kawasan Ekonomi Khusus diatur dengan UU (pasal 31 ayat (3)).
Kebijakan yang bertujuan mengoreksi kegagalan pasar demi efisiensi; membuat program untuk melakukan pemerataan pendapatan dengan menggunakan instrumen pajak dan pengeluaran pemerintah; dan membuat kebijakan fiskal dan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tangguh ini boleh dibilang baru seumur jagung. Seyogianya dilakukan evaluasi terlebih dahulu tentang seberapa efektif dampak kebijakan ini terhadap pertumbuhan foreign direct investment. Evaluasi juga mencakup kelemahan-kelemahan terhadap kebijakan tersebut, sehingga dapat dicarikan jalan keluarnya. Jangan sampai yang sebenarnya terjadi bukan masalah perpajakan, sehingga dikhawatirkan obat yang ditawarkan dalam bentuk tax holiday tidak memecahkan masalah.
Kedua, kegagalan tax holiday sebagai pendorong masuknya foreign direct investment pada 1967-1983 mungkin saja disebabkan aliran modal asing pada masa tersebut memang sangat kecil. Sementara itu banyak sekali negara yang memperebutkannya. Saat ini situasinya sangat berbeda karena capital inflow ke Indonesia cukup besar. Untuk mempertahankan capital inflow diperlukan cost (biaya) cukup besar. SUN dan SBI harus tetap menarik. Akibatnya, kredit tak pernah turun yang ujung-ujungnya sektor riil kesulitan mencari dana murah.
Tidak ada salahnya dalam jangka menengah, tax holiday diwacanakan untuk diterapkan kembali. Tentu bukan saja dimaksudkan agar Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara lain dalam memperebutkan investasi. Di depan mata tampak sekali bahwa capital inflow ke Indonesia cukup besar. Tinggal bagaimana mengubah orientasi capital inflow pada instrumen SBI, SUN, dan Pasar Modal menjadi foreign direct investment, sehingga akhirnya mampu memperbaiki kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Indonesia memang termasuk tiga negara, di luar Tiongkok dan India, yang mampu mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi dalam masa krisis global. Namun, tingkat pertumbuhan tersebut dinilai sangat rapuh karena hanya mengandalkan konsumsi masyarakat. Dengan mengalirnya foreign direct investment diharapkan tercipta kualitas pertumbuhan yang lebih baik. Ini mengingat multiplier effect investasi dalam jangka menengah dan panjang cukup besar, bukan hanya pada penciptaan lapangan kerja, namun juga pada ekspor, sektor finansial, dan tentu penerimaan negara. (*)
*). Makmun, peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Depkeu
Opini Jawa Pos 25 Februari 2010
25 Februari 2010
Menimbang Tax Holiday
Thank You!