Jika polisi tidak segera merasakan supremasi sipil yang sebenarnya dan masih berwatak militeristis, maka dapat dipastikan ke depan tidak mustahil demokrasi
akan mengalami defisit atau bahkan kemunduran serius.
PENAHANAN Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah oleh polisi merupakan ancaman serius bagi demokrasi Indonesia. Setelah sukses dengan pelaksanaan demokrasi prosedural melalui pemilu yang reguler dan tertib, Indonesia akan menghadapi kemenguatan institusi kepolisian yang sejauh ini belum mendapatkan kontrol efektif.
Dengan masih menjadi institusi yang hierarkis dan sentralistis, Polri menjadi satu-satunya alat kekerasan negara yang belum merasakan supremasi sipil dalam keseharian.
Memang betul Polri berada di bawah presiden yang merupakan otoritas sipil. Namun, presiden tentu mengalami banyak kendala untuk mengontrol polisi, terutama ketakutan untuk dianggap mengintervensi terlalu jauh operasional polisi atau proses penegakan hukum seperti yang disampaikan Presiden SBY baru-baru ini. Sementara itu pengawasan di DPR juga tidak efektif karena seringi lebih bersifat formalitas.
Polisi di Indonesia masih memiliki watak militeristis yang kuat meskipun telah ada upaya untuk mulai menyipilkan karakter. Jalur komando masih terlembagakan dan struktur pengorganisasian ala militer masih berlanjut. Secara organisasi dan penggunaan sumberdaya, polisi saat ini jauh lebih kuat dibanding institusi keamanan lain.
Di Polri tidak ada pemisahan angkatan seperti di TNI yang secara organisasi dapat menjaga adanya internal checks and balances dan tidak ada menteri yang khusus membawahinya sehingga Polri dapat leluasa menggunakan anggaran dan langsung bersinggungan dengan proses politik dalam, misalnya, pembahasan anggaran dan akuntabilitas kinerja. Polri juga memiliki banyak sekali kewenangan-kewenangan eksklusif dan ini semua tidak diimbangi dengan pengawasan yang kuat dan terlembagakan. Polisi mengurusi lalu lintas dan administrasinya, penyelidikan kejahatan, hingga penanganan terorisme.
Kewenangan
Di negara-negara maju lain kewenangan polisi sudah didistribusikan ke berbagai institusi penegak hukum, mulai dari kantor sheriff (kepala sheriff dipilih langsung dalam pemilu lokal), polisi taman nasional, polisi pos, polisi kereta api, penjaga pantai, polisi udara, dan lain-lain. Masing-masing memiliki kewenangan yang jelas dengan tujuan yang sama, yaitu penegakan aturan dan hukum, menjaga keamanan, dan menciptakan rasa keadilan.
Jarang ada benturan antarlembaga kepolisian karena koordinasi dilakukan secara civilian dan profesional. Di Amerika, bahkan untuk kewenangan administratif pun, seperti penerbitan Surat Ijin Mengemudi dan STNK, sudah tidak lagi oleh polisi, tapi dilaksanakan kantor sekretaris negara bagian.
Untuk masing-masing lembaga kepolisian yang lingkup kewenangan dan sumber dayanya terbatas ini, terdapat berbagai lembaga pengawas. Di Amerika hampir selalu ada divisi urusan internal atau inspektorat yang bertugas mengawasi dan menyelidiki penggunaan kewenangan oleh berbagai lembaga kepolisian.
Di Inggris ada Komisi Independen Urusan Keluhan terhadap polisi, dan di Irlandia Utara ada Komisi Ombudsman untuk kepolisian. Dalam banyak kasus, presiden, kongres, atau bahkan pejabat politik sipil lain seperti gubernur, walikota, atau kepala otoritas tertentu dapat membentuk tim independen untuk memeriksa pelanggaran serius yang dilakukan aparat penegak hukum ini. Dengan demikian, kepercayaan publik dapat selalu diraih. Selain itu, tentu penggunaan teknologi dapat menekan kemungkinan penyalahgunaan wewenang oleh polisi di lapangan.
Di Indonesia, telah ada Komisi Nasional Kepolisian, tapi dengan kewenangan yang sangat terbatas untuk mengawasi dan memberesi pelanggaran oleh polisi. Tidak mengherankan jika dalam kasus penahanan Bibit dan Chandra, Kompolnas tidak ada giginya untuk misalnya memeriksa petinggi polisi yang jelas-jelas melakukan pelanggaran, seperti menemui buronan KPK di tempat pelariannya. Apalagi mengharapkan efektifnya pengawasan internal. Di polisi masih kuat tradisi amoral familism yang terekspresikan dalam semangat korsa yang keliru, yaitu dengan saling melindungi antarpolisi yang telah melakukan banyak pelanggaran.
Supremasi Sipil
Kata polisi berasal dari bahasa latin politia yang artinya administrasi sipil, dan ini yang belum terbentuk saat ini. Inilah utang gerakan reformasi yang belum terselesaikan. Alih-alih menempatkan polisi di bawah institusi sipil seperti menteri keamanan dalam negeri atau mendesentralisasi organisasi polisi dan mendistribusikan berbagai kewenangan ke berbagai lembaga lain, para politikus justru lebih tertarik membiarkan polisi seperti saat ini.
Polisi, meski berlindung di balik kredo netralitas, selalu terbuka peluang untuk dijadikan mesin pemenangan kompetisi politik. Hal ini karena polisi ada di semua lapisan masyarakat dan dapat bergerak di semua aspek kehidupan.
Pemikiran pragmatis seperti ini tentu harus segera dihentikan dan politikus serta presiden harus berani mereformasi undang-undang kepolisian sehingga terbentuk polisi yang sipil, akuntabel, dan berkinerja. Kewenangan yang ada di polisi harus mulai didistribusikan ke lembaga-lembaga kepolisian lainnya, dan organisasi polisi haruslah ditata dengan mempertimbangkan fungsi-fungsi pokoknya.
Untuk polisi yang harus berseragam seperti polisi lalu lintas atau polisi pariwisata sebaiknya didelegasikan pengelolaannya ke pemerintah daerah atau otoritas sipil lain supaya lebih jelas akuntabilitas kinerjanya. Untuk polisi nasional sebaiknya mengurusi kriminalitas lintas daerah dan hal-hal spesifik lain seperti terorisme dan kejahatan korporasi.
Jika polisi tidak segera merasakan supremasi sipil yang sebenarnya dan masih berwatak militeristis, maka dapat dipastikan ke depan tidak mustahil demokrasi akan mengalami defisit atau bahkan kemunduran serius.
Perilaku pimpinan Polri yang membiarkan penyalahgunaan wewenang tentu makin merusak kredibilitas polisi dan kepercayaan terhadap penegakan hukum di Indonesia. Pimpinan Polri harus segera tanggap dengan rasa keadilan masyarakat yang terusik dengan segera menonaktifkan pejabat-pejabat yang terkait dengan rekayasa kriminalisasi terhadap KPK.
Sebagai anak reformasi untuk memberantas korupsi yang merupakan extra-ordinary crimes yang selama ini tidak efektif dilakukan oleh Polri maupun Kejaksaan Agung, KPK telah cukup berhasil dalam memberikan efek jera bagi koruptor dan ini harus dilindungi prestasinya oleh siapapun, termasuk pimpinan Polri.
Korupsi akan kembali menjamur dan kredibilitas lembaga kepolisian akan hancur apabila polisi tidak segera mengambil langkah cepat dan tepat untuk damage control. Sebab, institusi kepolisian ternyata dapat dijadikan alat oleh sejumlah kecil oknum dan kaki tangan pengusaha korup untuk menghancurkan institusi paling kredibel dalam pemberantasan korupsi.
Apabila korupsi merajalela lagi, demokrasi akan makin terancam. Karena para koruptor dapat menggunakan proses demokrasi untuk membeli kekuasaan dari uang rakyat yang ditilepnya. Tidak dapat dibayangkan apabila nanti sebagian besar politikus dan pemimpin hasil pemilu ternyata para koruptor atau dibiayai oleh sindikat koruptor untuk melindungi kejahatan mereka. (35)
—Nico Harjanto, peneliti CSIS Jakarta dan kandidat Doktor Ilmu Politik di Northern Illinois University, USA
Wacana Suara Merdeka 2 November 2009