Masih segar dalam ingatan kita bagaimana prosesi pelantikan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono untuk masa jabatan 2009-2014 yang berlangsung di gedung MPR/DPR 20 Oktober lalu. Pelantikan itu dihadiri beberapa mantan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Hadir pula sejumlah tamu undangan dari pimpinan dan perwakilan negara-negara sahabat.
Tidak ada yang berbeda dalam acara pelantikan tersebut jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Namun, yang berbeda adalah adanya pidato sambutan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seusai disumpah. Dalam sambutannya SBY memaparkan beberapa kemajuan-kemajuan yang telah dicapai bangsa Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir, meliputi semakin kokohnya demokrasi Indonesia, tingkat pertumbuhan ekonomi yang oleh sebagian pengamat internasional berada dalam track luar biasa, penegakan hukum semakin membaik. Pencapaian dan target pembangunan yang telah dan bakal diupayakan disebut Presiden dengan prosperity, democracy and justice.
Tahapan berikutnya yang kita saksikan semua adalah proses politik dalam bursa calon menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Dalam komposisi kabinet yang sempat mengundang kritik oleh banyak pihak lantaran figur menteri yang banyak diisi jajaran pimpinan partai politik dan sedikit mengesampingkan jatah kalangan profesional. Meski mengundang kontroversi tetapi gerbong KIB II mesti dilanjutkan. Presiden meminta menteri-menterinya menjawab kritik publik dengan kinerja maksimal dalam jangka waktu 100 hari sebagai pembuktian.
Memang proses politik tidak mudah untuk memahaminya, rumit dan kompleks. Point yang ingin penulis garis bawahi, proses politik dalam suksesi kepemimpinan adalah sesuatu yang tak terhindarkan karena merupakan medium untuk mengurus persoalan negara. Estafet kepemimpinan akan selalu berubah sesuai prosedur demokrasi yang diatur konstitusi kita. Penting untuk diingat bahwa para pejabat berdasarkan periodisasi memiliki tanggung jawab untuk mengemban amanah konstitusi.
Gerbong KIB II di bawah komando SBY-Boediono dihadapkan pada berbagai macam persoalan baik eksternal maupun internal. Di aspek eksternal kita bisa menyaksikan betapa ketatnya persaingan ekonomi antarnegara, antarkawasan. Di kawasan regional Indonesia sangat tertinggal dengan Malaysia, Singapura, Thailand dan bahkan Vietnam.
Belum lagi melihat perkembangan pesat dari pendatang baru raksasa ekonomi dunia semisal kelompok BRICs (Brazil, Rusia, India, dan China). Kehadiran raksasa baru ini masing-masing memiliki prioritas kemajuan. Brazil dengan memilih menjadi negara pengekspor sumber daya alam terbesar; Rusia dengan kemampuan bidang energi; India dengan melahirkan ahli-ahli bidang teknologi informasi; China dengan produksi massal bidang industri (BBC, 2008).
Sekadar perbandingan, Indonesia sendiri untuk tingkat regional memang memiliki peran penting, seperti pada organisasi APEC (Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik), selain sebagai salah satu pelopor, Indonesia juga telah memetik arti penting APEC. Pada tahun 2006 total perdagangan Indonesia ke negara anggota mencapai sekitar US$ 98,34 miliar atau 66,78 persen total perdagangan Indonesia.
Selain itu, 47,25 persen persetujuan penanaman modal asing yang dikeluarkan oleh pemerintah berasal dari investor di 16 ekonomi (negara) APEC. APEC merupakan mitra utama kerja sama ekonomi Indonesia, namun demikian belum dapat dimaksimalkan dan masih jauh dari harapan Bogor Goals 2010/2020 (Edi Suandi Hamid, 2009; Sekretariat APEC, 2009).
Pada tingkatan internal seperti persoalan pendidikan, kesehatan, pengangguran, penegakan hukum, masih saja menjadi persoalan dan tidak dapat diabaikan begitu saja.
National Summit
National Summit atau Rembuk Nasional yang digelar pada 29-31 Oktober 2009 bertema ”Mewujudkan Indonesia Sejahtera, Adil, dan Demokratis.” Hasilnya akan digunakan untuk menghimpun masukan-masukan dari 1.424 pemangku kepentingan yang merasa dihambat oleh sejumlah peraturan. Beberapa hal diutarakan pemerintah melalui Menko Perekonomian seperti persoalan surat keputusan bupati hingga peraturan pemerintah akan disapu bersih jika dianggap menghambat sehingga target pertumbuhan ekonomi 7-8 persen pada tahun 2014 bisa diwujudkan.
Nasional Summit bisa dianggap sebagai salah satu agenda penting nasional yang mempertemukan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah disertai dengan kehadiran pemangku kepentingan dari kalangan profesional dan pihak swasta nasional. Agenda Summit sendiri akan difokuskan untuk membahas tiga persoalan besar menyangkut ekonomi, kesejahteraan dan polhukam.
Dari tiga elemen tersebut kemudian akan dibagi ke dalam komisi-komisi terkecil.
Bidang ekonomi akan dibagi atas enam komisi, yakni komisi percepatan pembangunan infrastruktur; ketahanan pangan; ketahanan energi; pengembangan usaha kecil dan menengah; revitalisasi industri dan jasa; serta pembangunan transportasi.
Pada bidang kesejahteraan rakyat akan ada enam komisi, yakni komisi pengentasan rakyat miskin; penciptaan lapangan pekerjaan; perluasan layanan kesehatan; reformasi pendidikan; mitigasi perubahan iklim; serta agama dan pembangunan.
Adapun pada bidang politik, hukum, dan keamanan ada enam komisi, yaitu efektivitas pembangunan daerah; pelayanan publik dan reformasi birokrasi; pencegahan dan pemberantasan korupsi; reformasi hukum dan perlindungan HAM; modernisasi sarana pertahanan dan sumber daya; serta pencegahan dan pemberantasan teroris.
Sinergi antara pemerintah-profesional-pengusaha dalam memetakan, membahas dan memecahkan persoalan bisa dianggap sebagai platform bersama untuk mengawal proses pembangunan nasional yang tertinggal jauh oleh negara lain.
Batu Loncatan
Untuk menciptakan proyek pembangunan nasional memang tidak bisa hanya dengan mengandalkan gagasan jangka pendek dan bersifat reaktif. Negara-negara yang penulis sebutkan di atas yang dikategorikan dalam kelompok BRICs menuai hasil pembangunan karena telah menanam fondasi jauh sebelum itu.
China misalnya, oleh banyak pengamat dibagi ke dalam dua periode, yaitu periode 30 tahun pertama dan periode 30 tahun kedua. Periode 30 tahun pertama merupakan periode ketika China masih dianggap sebagai negara terbelakang (ditandai dengan embargo Amerika dan sekutunya), sedangkan periode 30 tahun kedua setelah Deng Xiaoping menggantikan Mao Zedong (wafat tahun 1976). Atau Rusia, yang tadinya mewarisi keterpurukan Uni Soviet, di bawah kepemimpinan Vladimir Putin mampu melewati masa-masa sulit dengan menanam fondasi pembangunan dengan semangat kemandirian yang kini menuai sukses besar.
Dan, pada akhirnya konsepsi yang matang untuk sebuah proyek pembangunan nasional jangka panjang hanya bisa terlaksana manakala para pemangku kebijakan memiliki keinginan politik yang kuat dan menempatkan kepentingan rakyat di atas segala-galanya. (80)
—M Sya’roni Rofii, mahasiswa Pascasarjana Hubungan Internasional Fisipol UGM, Yogyakarta
Wacana Suara Merdeka 2 Oktober 2009