01 Oktober 2009

» Home » Republika » Gempa dan Inisiatif Relawan Nasional

Gempa dan Inisiatif Relawan Nasional

Bantuan bencana gempa di Sumatra Barat atau di Jawa Barat ini masih lebih dominan terfokus pada persoalan-persoalan teknis lapangan, seperti bagaimana mengevakuasi warga, upaya membuat rumah tahan gempa, atau mendeteksi situasi gejala alam serta samudra melalui jaringan satelit.

Upaya-upaya itu memang sangat diperlukan. Sehingga, ketika bencana kembali datang tak terduga, masyarakat dan pemerintah tak lagi kelinglungan menghadapi situasi itu. Namun, sesungguhnya, ada problem yang lebih fundamental, yaitu respons pemerintah terhadap upaya pencegahan itu. Masalah pembentukan relawan bertaraf nasional mestinya juga harus menjadi perhatian serius sebab masalah relawan, khususnya di negara-negara maju, tetap dipersiapkan dan disiagakan meskipun tidak ada bencana.
Artinya, persiapan dini bukan berarti mempersiapkan hanya sebatas ketika akan terjadi bencana atau mempersiapkan dalam tenggat waktu yang sifatnya temporer. Dalam tataran itu, ketika bencana sudah lama tidak datang, bukan berarti persiapan itu lantas ditiadakan. Seharusnya, yang dimaksud persiapan dini terus bersifat kontinu, bahkan mestinya distrukturkan menjadi sebentuk kelembagaan yang permanen.

Salah satu masalah fundamental dalam upaya pencegahan dini adalah bagaimana pemerintah membentuk struktur kelembagaan tentang relawan nasional.
Tugas relawan, seperti juga yang dikembangkan di negara-negara maju, tak hanya bertugas pada masalah-masalah praktis, seperti bertugas mengevakuasi di daerah yang terkena bencana atau merestrukturasi bangunan-bangunan yang hancur. Namun, tugasnya diperluas dalam bentuk memberi bantuan pada bidang pendidikan, masalah medis, informasi, keterampilan, dan sebagainya.

Di Australia, menurut laporan Peter Britton, seorang manajer senior di Australian Volunteer International, telah dikembangkan dunia relawan semenjak dekade 50-an. Saat ini, bidang volunteerism sudah sangat mapan dan bersifat permanen, bahkan go international. Lebih dari 5.000 relawan dari Australia pada tahun 80-90-an pernah disebarkan ke negara-negara, seperti Afrika, kepulauan di Pasifik, Amerika Latin, Timur Tengah, atau pada suku asli Australia, yang membutuhkan bantuan pertolongan dalam bidang medis dan kesehatan, pendidikan dan pengajaran, teknologi informasi, keterampilan sosial, serta pertanian.

Para relawan itu bekerja, baik untuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, untuk masyarakat sipil (LSM), maupun pihak-pihak swasta. Mereka diambil dari berbagai kalangan yang memiliki idealisme dan tanggung jawab serta memiliki kepekaan (sensitivitas) pada masalah-masalah sosial. Mereka dibekali kemampuan atau mendapat pelatihan-pelatihan khusus dari lembaga yang menyelenggarakan relawan itu. Di Australia, dunia relawan tak hanya bagi kepentingan negara bangsa, namun dunia relawan juga diperuntukkan bagi negara-negara bangsa yang membutuhkannya dan dieksekusi dalam sebuah jaringan internasional volunteerism (Peter Britton, International Volunteerism and Global Survival, 2002).

Satu hal penting lagi, para relawan memiliki latar belakang komitmen pada keinginan dan kecintaan mereka untuk perdamaian. Dedikasi mereka ditujukan tak hanya bagi kepentingan negara itu sendiri, tapi lebih karena kepedulian untuk menolong sesama, belajar membina sensitivitas sosial, serta membuka hubungan dengan beragam etnik, budaya, dan sebagainya. Para relawan memberi kontribusi bagi pengembangan sebuah komunitas yang terkena bencana atau sebuah 'komunitas terbelakang' yang dilandasi kesetaraan hubungan kemanusiaan.

Dalam soal-soal hubungan kemanusiaan itu, kebijakan pemerintah di Indonesia jarang sekali menyentuh aspek yang spesifik, seperti apa yang terjadi di Australia dalam pengembangan relawan internasional. Di Indonesia, langkah yang paling memungkinkan pada masalah hubungan kemanusiaan itu biasanya sering dilakukan oleh lembaga-lembaga nonpemerintahan. LSM dalam hal itu tidak bekerja sama dengan pemerintah. Mereka lebih banyak berhubungan dengan pihak-pihak luar, baik dengan pemerintahnya maupun antarsesama.

Bahkan, yang terjadi di Indonesia, peranan LSM dapat dibilang kurang begitu harmonis dengan pemerintah. LSM kebanyakan menjadi pihak oposisi pada kebijakan-kebijakan pemerintah atau malah selangkah lebih maju daripada peranan pemerintah, khusunya dalam hal pembangunan hubungan sosial kemanusiaan dan pemberdayaan masyarakat. Hal demikian berbeda dengan yang terjadi di negara-negara lain, pemerintah seharusnya mengakomodasi LSM-LSM itu, mengayominya, atau bahkan mendonor dalam rangka membantu menyelesaikan problem-problem kebangsaan.

Di India dan Pakistan, relawan nasional bentukan LSM yang mengampanyekan bahaya HIV/AIDS dan bagaimana harus menghindarinya didukung oleh pihak-pihak lokal, baik pemerintah maupun lembaga donor lokal. Seorang aktivis dari Asian Resources Foundation, Thailand, Lekha Paireepinath, menyebut betapa esensialnya dunia relawan atas kelangsungan hidup kemanusiaan: bagi wanita yang sering terkena dampak patriarki sosial, anak-anak telantar, pengungsi bencana, atau perang yang terjadi dalam sebuah komunitas negara atau local area (Lekha Paireepinath, Volunteerism and Human Survival, 2002).

Memang jauh dari memadai jika persoalan kemanusiaan ditimpakan hanya kepada pemerintah atau hanya pada pihak-pihak nonpemerintah. Semestinya, pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau LSM-LSM yang beroperasi, baik di pusat maupun di daerah, bergerak dalam satu visi kemanusiaan demi kesejahteraan dan kecintaan.

Dalam hal itu, sudah saatnya Indonesia sebagai negara bangsa memiliki sistem yang mapan dalam soal relawan sebagaimana di negara Thailand, India, Pakistan, Australia, Jepang, Amerika, dan di negara-negara Eropa.

Dunia relawan merupakan perimbangan atas terjadinya bencana dan disparitas sosial dalam masyarakat kurang beruntung dan daerah-daerah terpencil.

Indonesia bagaimanapun masih memiliki hampir semua problematik kemanusiaan, tak hanya bencana alam, tapi juga masih rentan konflik, problem sosial dari mulai anak-anak dan keluarga telantar, mewabahnya penyakit menular HIV/AIDS, dan sebagainya.

Semua itu menuntut upaya perbaikan lewat sebuah sistem yang terlembagakan dan diartikulasi oleh relawan-relawan kemanusiaan secara profesional, baik oleh pemerintah maupun nonpemerintah.

Dengan jaringan relawan nasional itu, ketika kita melihat tragedi kemanusiaan, kita tidak lagi berpikir mengapa dan apa yang harus diperbuat dengan sebuah tanda tanya yang membingungkan.

Namun, kita sudah selalu siap atas kemungkinan-kemungkinan terburuk akan semua fenomena baik yang sudah, sedang, dan belum terjadi.

Opini Republika 2 Oktober 2009
Ismatillah A Nu'ad
(Peminat Historiografi Indonesia Modern)