24 Juni 2010

» Home » Media Indonesia » Mobnas yang tidak Kunjung Terwujud

Mobnas yang tidak Kunjung Terwujud

Hari Senin tanggal 12 April 2010, Presiden menerima Menteri Perdagangan China Chen Deming di Jakarta. Berita itu tampil di sebuah media, esoknya. Fotonya berdampingan dengan foto kesibukan perakitan mobil asal China merek Geely, juga di Jakarta.

Sesungguhnya berita ini melengkapi mendaratnya para astronaut China (disebut taikonaut) beberapa waktu yang lalu. Tapi cerita ini bukan tentang penerbangan mereka ke ruang angkasa. Saya justru tertarik pada arak-arakan mereka di Beijing setelah mendarat ke Bumi. Itu pun hanya sebatas mobil yang mereka kendarai.


Ketiga pahlawan China itu diarak keliling kota di atas mobil buatan China. Mobil itu sama dengan yang dirakit di Jakarta, merek Geely, yang memang lagi dipasarkan ke berbagai negara, termasuk ke Indonesia. Pada pameran mobil di Jakarta beberapa waktu yang lalu, jenis mobil ini juga turut dipamerkan dan dipasarkan. Sebelumnya telah beredar QQ yang diproduksi Chery. Mobil ini mirip Matiz (buatan Daewoo) atau Spark (yang dibuat Chevrolet).

Bangga

Dalam berita itu, mereka begitu bangga atas semuanya. Hal yang sama juga saya lihat pada orang-orang Korea. Kalau kita berkunjung ke Korea Selatan, mobil-mobil yang beredar umumnya buatan mereka sendiri. Mobil-mobil buatan Hyundai, Kia, Daewoo (yang sudah dibeli asing), atau Ssangyong (yang sudah rontok). Susah kita menemukan merek-merek lain. Bahkan seorang guru besar yang saya temui mengatakan mereka malu menggunakan mobil asing, walau sesungguhnya banyak yang sanggup membelinya.

Jika daya beli di dalam negeri kuat, tentu industri itu akan kuat dan suatu saat tinggal mengusai negeri asing. Tak mengherankan bila di berbagai negara, mobil-mobil Korea Selatan kini mengimbangi mobil-mobil Jepang. Pada waktu haji, dapat kita lihat banyak bus buatan Korea Selatan yang digunakan sebagai angkutan haji. Hal itu saya tulis di buku Orang Batak Naik Haji. Demikian juga kalau Anda berkunjung ke Libia. Yang banyak beredar di jalan justru mobil-mobil Korea Selatan, yang bahkan mengalahkan mobil Jepang. Menyusul mobil China. Konon, tatkala embargo berlangsung untuk negeri itu, Korea Selatan justru menjalin hubungan dagang secara diam-diam. Pintar juga mereka. Di Uzbekistan, selain mobil-mobil Rusia, dapat dikatakan, yang beredar hanya mobil-mobil Korea Selatan, khususnya merek Daewoo. Bahkan Matiz yang kecil dan sesungguhnya city car, dijadikan sebagai taksi. Konon, pabrik Daewoo memang sudah didirikan di negeri itu. Saya teringat mobil Timor, yang di Amerika Serikat beredar sebagai Sephia, pabriknya sempat didirikan Indonesia. Entah bagaimana kabarnya kini.

Kijang

Kalau kita lihat di dalam negeri, membuat kita prihatin. Negara ini menjadi ajang industri otomotif berbagai negara. Termasuk para pemain baru. Mobil Jepang sudah jelas mapan. Mobil Eropa dan Amerika masih memiliki pangsa pasar tersendiri. Disusul mobil-mobil Korea Selatan yang sesungguhnya belum terlalu lama. Kini masuk pula Proton dari Malaysia. Menyusul mobil China. Sementara sepeda motor, setelah Jepang mapan, datang Korea. Kini, India menyerbu pula.

Entah apa yang dapat kita banggakan? Dulu, pada waktu Kijang pertama keluar, saya paling senang mengendarainya. Tahun 1978, saya sering memakai milik kantor. Mobilnya sederhana, mesinnya bandel. Lebih dari itu, Kijang pun sudah mulai diperkenalkan bakalan menjadi mobil nasional. Konon, local content-nya sekitar 40%. Tatkala pertama kali punya kemampuan membeli mobil baru pada tahun 1988, saya pun membeli Kijang LG. Begitu senang saya dengan mobil ini. Beberapa kali kami bawa pulang mudik ke Sumatra. Muatannya banyak dan mesinnya irit. Tatkala di DPR, saya beli lagi Kijang LGX. Itulah mobil yang saya bawa ke mana-mana sebagai anggota DPR. Kalau diundang ke Istana Presiden atau Wakil Presiden, harus saya parkir jauh-jauh. Termasuk di Gedung DPR. Tatkala ditanya wartawan, saya katakan Kijang masih saya anggap sebagai mobil nasional. Padahal sesuai perkembangan waktu, sesungguhnya banyak pihak atau kalangan yang ambisius melahirkan mobil nasional (mobnas). Sempat beredar Timor (yang pernah pula saya beli dan cicil karena murah), kemudian Perkasa (yang sempat digunakan sebagai truk tentara), dan masih banyak lagi. Beberapa lembaga seperti BPPT dan pengusaha nasional berusaha pula melahirkan mobil nasional.

Tapi, cuma sampai di situ saja. Tentu sudah cukup banyak dana dihabiskan untuk itu. Mungkin sudah triliunan rupiah. Impian saya untuk menggunakan mobil hasil karya bangsa sendiri pupus sudah. Kalaupun saya menggunakan Innova, semata-mata karena disediakan kantor. Pada mobil itu seolah tidak ada lagi kebanggaan saya. Tak ada yang melekat di situ kecuali nama Kijang yang memang seolah ditempelkan! Maaf saja. Toyota, jangan sampai marah.

Sementara itu, di antara kita banyak yang tidak peduli. Para pejabat, politikus, dan pemimpin bangsa justru sebaliknya menyenangi mobil-mobil mewah. Tidak usah jauh-jauh, di DPR saja dengan mudah kita lihat perilaku itu. Begitu juga di masyarakat.

Itulah yang saya lihat sebagai salah satu kelemahan kita. Terasa kurang komitmen kita sebagai bangsa. Tak ada konsistensi dalam bertindak. Tak perlu kerja keras, sehingga tak ada pula hasil kerja keras yang dapat dibanggakan. Akhirnya kita tetap sebagai pasar terbuka untuk negeri lain. Sedih melihatnya. Bisakah kita mengubah semuanya?

Oleh Baharuddin Aritonang Pengamat sosial
Opini Media Indonesia 24 Juni 2010